BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Mengeksploitasi percekcokan online adalah tidak beradab

Ilustrasi: Percekcokan di media sosial bisa berujung di kasus pembunugan
Percekcokan di media sosial memakan korban lagi. Bukan saja kehilangan tali pertemanan dan persaudaraan, kali ini percekcokan di media sosial berujung pada kematian. Sayang sekali, tidak ada gelagat pihak manapun melihat kejadian itu sebagai persoalan genting dalam kehidupan sosial kita.

Kasus percekcokan di media sosial yang berujung maut itu terjadi di Sampang, Madura pada Rabu (21/11/2018). Meskipun polisi membantahnya sebagai motif utama dalam kasus itu, percekcokan dan perkelahian yang memakan korban jiwa itu terkait dengan sentimen yang muncul dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Percekcokan bermula ketika sebuah akun di Facebook memajang tantangan bagi pendukung salah satu calon presiden. Tantangan itu bersambut oleh akun Facebook lain, yang diidentifikasi dimiliki oleh lelaki bernama Idris.

Ketika rumahnya didatangi, Idris mengaku bukanlah dirinya yang menuliskan kesiapan menghadapi tantangan itu. Akun itu, menurut Idris, sudah di luar kendalinya karena telepon selulernya sudah ia jual.

Rekaman suasana ketika Idris didatangi itu dipajang di akun Facebook milik Subaidi, dibumbui dengan ancaman dan ejekan. Merasa tersinggung dengan video itu, Idris mencari Subaidi.

Dalam suatu kesempatan keduanya bertemu. Perkelahian pun tak terelakan. Subaidi menyerang dengan pisau, Idris meletuskan tembakan pistol ketika terdesak. Subaidi tewas, dan Idris menjadi tersangka.

Itu bukanlah kasus pertama terkait percekcokan di media sosial yang berlanjut ke gesekan fisik. Kita pasti belum lupa, sejumlah kasus perkusi yang mewarnai Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta setahun lalu.

Perkelahian satu lawan satu yang dipicu percekcokan di media sosial juga terjadi pada 2015. Perang kicauan di Twitter –yang berlatar belakang perbedaan preferensi politik- berlanjut dengan duel yang disaksikan oleh masing-masing kawannya. Tak ada korban jiwa dalam perkelahian itu.

Kasus-kasus sejenis ini seolah bergulir begitu saja, tanpa mendapat perhatian yang cukup untuk menghindarkan kejadian serupa terulang. Selama ditemukan motifnya, kejadian semacam itu seolah kasus kriminal biasa yang dianggap lumrah terjadi.

Penegakan hukum atas kasus-kasus tersebut memang dilakukan. Tentu saja, langkah itu perlu dilakukan, namun tidaklah cukup memadai sebagai respons untuk menghindarkan kasus serupa. Setidaknya, dalam bentuk lain, kasus penyebaran hoax di media sosial tetap terjadi –dan masih saja ada orang yang mempercayai isi kabar bohong itu- meski beberapa penyebar hoax ditangkap dan diadili.

Media sosial memang menghadapkan kita kepada kultur baru, yang belum pernah kita alami sebelumnya. Tidak sedikit warga masyarakat kita gagap menghadapi kultur baru itu.

Para penganjur media sosial selalu memperlihatkan keuntungan kultur "sharing” yang hidup di dalamnya untuk menarik pengguna-pengguna baru media sosial. Kata “sharing” yang diterjemahkan menjadi “berbagi” dalam menjelaskan kultur baru itu, membuat media sosial tampak sangat mulia karena bernada positif: bersedekah, tidak menguasai sendiri aset pengetahuan secara egois, memberi kepada yang membutuhkan.

Hal yang jarang sekali dibuka oleh para penganjurnya adalah bahwa kultur “berbagi” yang ada di dalam media sosial juga bisa berarti: menyodorkan atau menyorongkan sesuatu kepada siapapun –yang dikenal maupun tidak, yang menyukai maupun tidak. Hal yang disodorkan itu pun tidak selalu suatu hidangan yang bisa dinikmati, melainkan bisa juga merupakan ekspresi dari yang menyampaikannya.

Kendurnya katup sensor diri –sebagai konsekuensi logis dari anonimitas yang dimungkinkan oleh Internet, perbedaan preferensi politik, dan dorongan untuk mengintip pengguna lain membuat ekspresi yang disampaikan di media sosial akan sangat mudah tergelincir menjadi bibit percekcokan; bahkan untuk perkara-perkara sepele.

Sayangnya, sangat terasa, titik-titik lemah kultur media sosial itu seolah dibiarkan untuk dieksploitasi dalam kerangka politik. Publik belum pernah mendapati mereka yang disebut-sebut sebagai pemimpin masyarakat maupun pemimpin politik menganggap keadaan ini sebagai sesuatu yang genting dan memerlukan langkah strategis.

Dalam kondisi seperti ini, publik merindukan sosok-sosok negarawan –bukan politisi yang melulu memburu kekuasaan. Mereka yang disebut sebagai pemimpin harus segera turut ambil bagian dalam merespons kecenderungan gesekan yang semakin keras antar masing-masing pendukungnya di tengah masyarakat.

Membiarkan situasi menjadi semakin panas sama saja dengan mengorbankan kepentingan khalayak banyak. Dan jelas, itu bukanlah pilihan yang beradab.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...-tidak-beradab

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Lemahnya integritas di pemerintahan

- Rakyat mencatat janji Kepala Staf TNI Angkatan Darat

- Mencari jalan meringankan beban utang korban bencana

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
159
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan