Semfak387Avatar border
TS
Semfak387
Langkah tujuh terahir..
“Ayo lub, mayat adikmu kamu buang kemana lub… kok kebangeten kuwe to lub. huhuuu…”

“Sudahlah bu… Munsorif tak mati, sekarang dia di rumah sakit…, kalau ibu mau kesana ayo saya antar…” kata Gimo. “Itu becaknya masih ku suruh nunggu di luar.”

Gimo pun membawa ibunya naik becak, dan mengantarkan kerumah sakit, menunggui Munsorif.

Gimo lelah dia tiduran di atas bangku panjang di depan kamar tempat merawat adiknya, dia berpikir, satu malam, berapa tangan yang jadi korban tangannya, ah ini pasti karena keris dan batu akik yang semalem di terimanya, ah dia harus mengembalikan kedua benda itu, maka ketika setelah subuh itulah dia bertemu denganku.

Memang aku sendiri merasakan perbawa yang jahad, pada kedua benda ini, ketika memegang keris dan batu akik itu, seakan-akan dada terasa tersumbat, suntuk, sumpeg, dan berbagai perasaan yang seakan ingin marah.

Setelah pulang, aku segera masuk kamar, dan kedua benda itu ku taruh di depanku lalu kututup bantal, aku mulai wirid, membaca fatehah kepada Nabi, dan membaca fatihah kepada ketiga hadam surat ikhlas, membaca wirid tiga kali, menyalami kepada hadam yang mendiami kedua benda tersebut, dan “Demi kekuasaan Alloh yang mutlak, kembalilah kalian ke asal kalian, dengan izin Alloh… Allohu akbar,” lalu ketepuk bantal, dan kubuka, kedua benda itu telah tak ada, dan itulah pengalamanku pertama kali aku mendapatkan wesi aji, dan batu akik, setelah kejadian itu, telah tak terhitung aku didatangi, khadam-khadam, keris, batu akik, dan aneka macam pusaka, minta dirawat, tapi aku tak pernah mau menerima.

Akan aku ceritakan sedikit pengalamanku tentang aku didatangi khadam pusaka.

Waktu itu aku sedang mencari udara segar, dan sedikit hiburan, aku memutuskan pergi ke Nglirip, yaitu tempat wisata air terjun, di daerah Jojogan Singgahan, Tuban. Sampai di Nglirip setelah membeli makanan kecil dan minuman ringan aku naik ke atas bukit kecil, yang ada pemakamannya.

Aku duduk di tepi jurang, sambil makan kacang dan menikmati pemandangan.

Sungguh pemandangan yang elok, jauh di bawah sana persawahan terhampar seperti permadani beludru, rumah-rumah kecil yang cuma terlihat gentengnya saja, betapa kecilnya kita di tangan kekuasaan ALLOH Taala, pohon-pohon seperti gerumbul kecil saja, lalu kalau mata menghadap ke timur, nampak bukit kecil, dengan persawahan tumpanp sari, seperti anak tangga raksasa, suara lenguh sapi yang dibuat membajak oleh petani, seperti suara panggilan lugu alam desa. Jalan tikus para petani yang akan pergi ke sawah, seperti ular kecil yang memanjang,

Tepat di bawah kakiku, sekitar sepuluh meter, nampak jalan raya, mengitari bukit, di bawahnya lagi sungai yang mengalir terus sampai ke kampung-kampung dan sawah-sawah, menjadi tumpuan hidup para petani, satu meter ke bawah ada taman, tempat muda mudi berpacaran, sambil menikmati alam, saling bercengkrama, atau menghayalkan masa depan. Lalu di bawah lagi ada penjual makanan kecil. Dan warung minuman juga jalan kampung menurun, nampak anak kecil dan beberapa perempuan memanggul kayu bakar di punggung, berjalan. Menuruni jalan kampung.

Di belakang warung, sebuah jurang menganga, dan tempat air terjun tercurah, saat begini kemarau baru mulai, air di bawah kulihat berwarna hijau.

Air yang jatuh dan percikannya tertiup angin, menjadi uap tersedot mentari, ketika cahaya mentari menyentuhnya, terciptalah bias pelangi, melengkung. Sungguh lukisan alam yang sempurna.

Keindahan yang tumpang tindih, menjadikan mata orang menatap kagum, dan hati berperan, penilaian mengembalikan pada Sang Khalik bagi yang ada iman di dadanya, dan bagi orang yang kosong iman, menganggap ini kejadian biasa.

Aku memutuskan ziarah sebentar ke syaih Abdul Jabar. Makam orang yang ada di situ, yang menurut orang tuaku masih ada hubungan nasab kepadaku, dan sampai kepada Jaka Tingkir, mas Karebet.

Tapi aku mau berziarah saja, mengingat dia Ulama zaman dahulu, yang memperjuangkan Islam, karena hari telah sore aku memutuskan untuk bermalam di mushola, sebelah pemakaman, di mana banyak juga para musafir yang bermalam.

Usai sholat magrib dan isyak berjamaah, aku meneruskan membaca dzikir harianku, sampai malam kemudian tidur. Dalam mimpi aku merasa ditemui oleh orang tua berikat kepala putih, dan wajahnya menatap lembut kepadaku.
Kumis dan jenggotnya putih dan tak terlalu banyak, bajunya hitam legam dia berkata.

“Ngger..! Besok tunggulah warisan yang menjadi hakmu, di pertigaan Anjlog..” Cuma itu yang diucapkan lalu dia menghilang.

Aku terbangun, dan kulihat semua orang tertidur di sana-sini, aku pun melanjutkan tidur lagi.

Paginya setelah sholat subuh, aku mandi di sungai, yang airnya teramat dingin, kabut yang turun membuat pendek jarak pandang. Hanya sejauh dua meter.

Embun di rumput pun terlihat amat tebal seperti permadani putih tipis terbentang, setelah mandi, dingin tak begitu terasa lagi menggigit tulang. Karena kabut yang turun teramat tebalnya pohon-pohon besar seperti bayangan raksasa.

Tapi perempuan-perempuan desa kulihat keluar dari kabut, suara mereka bercanda seakan tak ada kesulitan hidup yang dihadapi, BBM yang harganya melambung, bahan-bahan pokok yang ikut melonjak naik, seakan bukan masalah bagi mereka, setiap wajah dihiasi keceriaan, padahal aku yakin para perempuan itu bukanlah orang-orang kaya.

Mereka hanya orang yang teramat sederhana, masak dengan kayu bakar yang diambil di hutan, yang mereka masak adalah padi yang mereka tanam dan mereka panen, lalu dibawa ke penggilingan, lauk mereka juga mereka tanam sendiri, jadi apa yang perlu dikawatirkan lagi, mungkin pergi naik mobil, belum tentu dua atau tiga tahun mereka naik mobil, jadi walau bensin oleh pemerintah dinaikkan seliter satu juta, juga tak mempengaruhi mereka, sebab naik mobil bagi para orang gunung ini adalah siksaan tersendiri, yaitu siksaan mabuk perjalanan. Mereka seperti punya negara sendiri, yang bernama Republik bersahaja. Hidup tak neko-neko, seadanya saja.

Perempuan-perempuan itu menyapaku ketika lewat di depanku.

“Nderek punten gus…!”

“Manggo… ngatos-atos…” jawabku.

Aku melangkah meninggalkan Nglirip, dan segala keindahannya.

Aku penasaran dengan mimpiku semalam, hanya bunga tidurkah. Pertigaan Anjlog sekitar dua kilo, jalan menurun, kalau ditempuh dengan sepeda mungkin tak sampai sepuluh menit tanpa dikayuh, karena jalanan menurun, malah berbahaya kalau tak punya rem.

Aku tempuh jalan itu dengan jalan kaki, disamping hari masih pagi, dan kabut tebal sekali, jalan kaki tentu menyehatkan.

Sampai di pertigaan Anjlog, matahari telah meninggi, dan kabut tinggal tipis, menyisakan butiran air di pucuk daun dan rumput, bercahaya berkilauan seperti manik-manik mutiara.

Beberapa anak sekolah bergerombol menunggu bus, ada yang berseragam biru tua, berarti anak SMP, ada juga remaja berseragam abu-abu, berarti anak SMA, kalau ada SMA di sini ya sekolah Bukit Tinggi, itu adalah nama sekolah lanjutan yang ada di bukit jadi dinamakan Sekolah Bukit Tinggi, aku sebenarnya sekalian mau cari sarapan, tapi setiap warung pinggir jalan yang kutanya, selalu menjawab belum matang, kulihat juga ada gerobak bakso, ah bakso juga tak apa-apa kalau ada lontongnya, jadi kalau kepedesan ngrokok juga lebih enak, kulihat tukang bakso menata mangkok, aku dekati.

“Baksonya sudah ada bang?” tanyaku.

“Bentar lagi gus…., silahkan duduk dulu…!” katanya hormat.

“Lontongnya ada bang…?”

“Oh ada-ada, banyak…”

Aku masuk ke dalam rumah-rumahan bambu, yang dibuat serampangan dan seadanya, hanya untuk melindungi para pemesan bakso agar bisa menikmati bakso pesanannya dengan nyaman. Saos, kecap, sambal, berjejer di depanku.

“Nak mas…, anak ini kan yang namanya Febrian…?” kudengar suara lembut di belakangku, aku menoleh, nampak orang tua yang kurus sedang, duduk di belakangku, aneh kenapa aku tak merasakan kedatangannya.

Kakek ini ku taksir umurnya tujuh puluh tahunan, badannya kurus namun tegap. Wajahnya penuh kerutan ketuaan tapi bersih, alis matanya sebagian memutih, ikat kepalanya bercorak lurik batik. Kumisnya dan jenggotnya sedikit, matanya teduh dan bersahabat.

“Kakek ini siapa, kok tau nama saya?” tanyaku heran.

“Itu tak penting nak mas, aku hanya mau menyerahkan warisan nak mas yang selama ini dititipkan pada saya…” kata kakek itu.

“Warisan apa kek…?” aku teringat dengan mimpiku tadi malam, kakek di depanku ini mengarahkan kedua tangannya ke balik baju di punggung, lalu mengeluarkan dua buah keris dari balik baju, keris ditunjukkan di depanku.

Satu keris dan warangkanya panjang kurang lebih empat puluh cm, dan yang satu pendek kurang lebih tigapuluh cm. Lalu kakek misterius di depanku ini melolos keris yang panjang dari warangkanya, aku tak tau keris, tapi melihat bentuknya keris ini indah, ada ukiran di pangkal keris, berwarna seperti emas, keris ini berluk banyak.

“Ini namanya kyai sapto paningal,” katanya sambil mengulurkan keris kepadaku. Kurasakan ada getaran aneh menjalari tanganku ketika menerima keris itu.

Kemudian kakek itu mencabut keris yang kedua, “Ini namanya kyai condong pamelang.” katanya sambil mengulurkan keris kepadaku.

Aku mengamat-amati kedua keris di depanku, sekedar menyenangkan pada kakek ini, tapi aku benar-benar buta dan tak tertarik dengan aneka macam wesi aji. Aku menyerahkan kedua keris itu kepadanya.

“Karena nak mas sudah ada di sini, maka keris ini kuserahkan padamu…” kata kakek ini, mengulurkan kedua tangannya terbuka ke hadapanku, dan kedua keris ada di atas tangan itu.

“Nanti dulu kek…” kataku dengan isyarat tangan menahan.

“Kenapa nak mas?”

“Aku ini sama sekali tak tau, seluk beluk tentang keris, dan aku tak tau bagaimana merawatnya, ah alangkah baiknya kalau keris ini tetap di tangan kakek, mungkin akan lebih baik keris ini tetap di tangan kakek, aku takut kalau di tanganku akan rusak…” kataku berdalih dengan alasan setepat mungkin.

“Tapi nak mas, keris ini nak maslah pewarisnya…”

“Begini lo kek, aku ini punya keyakinan, bagiku Allohlah sebaik-baiknya dzat tempatku bergantung dan tempatku meminta menyelesaikan segala urusanku, aku tak mau menomer duakan Alloh karena mempunyai kedua keris ini..”

Kakek tua itu manggut-manggut, ”Baiklah aku mengerti, tapi aku tak mau disalahkan oleh orang yang telah mempercayakan amanahnya kepadaku, maka sudilah nakmas menerima keris ini dan nanti menyerahkan padaku lagi…?”

“Oh aku mengerti kek, baiklah aku terima keris ini, dengan kelapangan hati…” kataku, sambil menerima kedua keris. Lalu ku lanjutkan berkata setelah keris ada di tanganku.

“Dan keris ini ku serahkan padamu untuk menjaga dan merawatnya…”

Kataku sambil mengulurkan keris kepada kakek ini, sebagai tanda penyerahan. Kemudian kakek itu pun menerima lagi keris. Dan menempelkan ke jidatnya, “Akan ku jaga dengan sebaik-baiknya.” Setelah itupun kakek itu mohon diri.

Aku menarik napas lega, tukang bakso mengulurkan bakso ke depan mejaku, matanya menatapku heran.

“Ada apa bang, kenapa menatapku begitu?” tanyaku pada tukang bakso.

“Tak apa-apa gus.., saya hanya heran saja..”

“Heran kenapa?”

“Yah saya lihat dari tadi, agus ini ngomong sendiri, jadi saya mau memberikan bakso, saya urungkan, karena melihat agus ngomong sendiri.”

“Maksud abang tadi saya ngomong sendiri, jadi abang tak lihat saya tadi ngomong sama kakek-kakek.”

“Kakek-kakek yang mana to gus, wong dari tadi agus di sini sendirian…”

Aku segera turun dari kursi, dan melihat ke arah mana tadi kakek itu pergi, maunya menunjukkan pada tukang bakso tentang kakek yang ku ajak ngomong, tapi walau jalan raya itu lurus, aku tak melihat bayangan kakek yang ngomong denganku. Ah pupus harapanku, aku dianggap gila dah.

Cepat-cepat aku kembali ke tempat duduk, menghabiskan bakso, dan dua lontong, lalu cepat-cepat beranjak pergi, dengan tatapan aneh dari penjual bakso.

“Aku sering Can, mau dikasih segala macam wesi aji, batu akik, tapi selalu aku tolak, apa pula perlunya…?” kataku pada Macan.

“Ah kamu ini gimana sih Ian, kalau ada yang ngasih mbok ya diterima, kalau kamu tak mau biar aku yang mengkoleksinya, aku aja udah mengkoleksi banyak sekali,”

“Wah hebat Can…”

“Ayo aku tunjukkan..” katanya kemudian mendahuluiku berdiri dan masuk rumah, akupun mengikuti dari belakang.

Kulihat ia menurunkan tiga dus sarimi dari atas lemari bifet. Dah uh banyak sekali, satu dus berisi aneka macam keris panjang penuh, satu dus berisi berbagai batu akik, setengah, dan satu dus berisi aneka macam keris kecil, berbagai bentuk dan macam.

“Dari mana semua barang begini Can?”

“Ya ada yang ngasih, kadang juga ketemukan sendiri, macam-macamlah kejadiannya.”

“Wah kamu ini mungkin cocoknya ngumpulin barang seperti ini,”

“Yah semoga saja ini bermanfaat Can.” kataku.

“Ian…, aku ini sebenarnya punya masalah..!” kata Macan menatapku serius.

“Masalah apa?”

“Gini Ian, aku punya anak buah, dari anak-anak nakal yang aku insyafkan, dan aku membuatkan mereka warung tenda masakan Lamongan, tapi aku menemui kendala, warung yang ku buka itu sepi pengunjung, nah kalau begitu, aku takut anak-anak muda itu patah arang, melihat warung sepi begini, mereka akan kembali menjadi pemabuk lagi, bagaimana menurutmu Ian?”.

Aku merenung sejenak.

“Coba Can, kamu bel mereka, sekarang ini warung sepi apa enggak?”

“Maksudmu..?”

“Iya kamu bel aja, tanyakan warungnya sepi apa enggak? Dan bilang nanti kalau warungnya rame, mereka suruh ngebel kemari, biar aku wirid sebentar.”

“Aku segera duduk menghadap kiblat, berdoa pada Alloh supaya warungnya Macan ramai pengunjung dan melakukan wirid, baru aku melakukan wirid setengah jam, hpnya macan berdering, dan terdengar olehku Macan berbicara, aku tetap konsentrasi dengan wiridku.

“Sudah ramai Ian, warungnya, katanya sampai antri, dan terpaksa digelarkan tikar, karena tempat sudah tak muat.”

“Syukur Alhamdulillah… semoga bermanfaat, dan bisa menjadikan keimanan mereka menjadi kuat.” kataku mengakhiri wirid.

Malam itu aku tidur di sofa, karena memang rumah Macan sempit, dan cuma ada satu kamar dan ruang tamu, jadi aku tidur di sofa ruang tamu.

Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, aku mau pamit pada Macan. Dan ternyata Macan telah menungguku.

“Aku balik ke pesantren dulu ya Can…” kataku sambil meletakkan tasku di dekat pintu.

“Nanti dulu Ian… duduk dulu sini, aku ada masalah serius nih.., nanti aja pulangnya setelah sarapan…” kata Macan, dengan mimik muka serius.

“Ada masalah apa lagi Can..?”

“Saudara perempuanku ada yang kena musibah…”

“Musibah apa? Apa kecelakaan…”

“Bukan, tapi sakit usus buntu, dan mau dioperasi, wah bagaimana nih ibuku minta kiriman untuk biaya operasi, tapi aku tak punya uang… Apa kamu punya uang Ian..?”

“Wah aku juga tak punya, ini ada juga paling tiga ratus, dari kyai dua ratus, dan uangku sendiri seratus, nih pakailah…” kataku mengeluarkan dompet budukku, dan mengambil uang tiga ratusan ribu. Dan menyerahkan pada Macan.

Kami terdiam sebentar, aku menyeruput kopi yang disediakan Ida istri Macan, lalu kunyalakan rokok djisamsoe filter, tiba-tiba ada ide kuat terlintas di benakku.

“Ah kenapa kita tak coba obati sendiri Can? Kita mintakan kesembuhan pada Allah, bagaimana?”

Kataku seketika mendapatkan ide, karena aku pernah mendengar kyai mengatakan padaku, jika ilmu yang ku miliki dan ilmunya Macan digabung, kekuatannya akan teramat dahsyat, karena Macan diberi ilmu yang bersifat dingin, sebab Macan yang sifatnya gampang emosi, sementara aku diberi ilmu yang bersifat panas, karena sifatku yang lembek, Macan aja sering mengolokku, kalau aku ini ditipu orang, maka yang nipu itu akan kesenengan sampai mati karena terlampau seneng.

“Ah kalau mengobati dari dekat biasa, tapi dari jauh itu apa bisa? Masak obat ditransfer?” katanya ragu.

“Ee kamu lupa, selama ini kita mengobati, hanya dengan doa, doa kepada Alloh, dan Alloh itu kuasanya tak ada batas, kalau dia bisa menyembuhkan orang yang di dekat kita, tentu tak sulit bagi Alloh menyembuhkan orang yang jauh dari kita, sebab, Alloh tak dibatasi jauh dan dekat kuasanya,”

“Tapi caranya gimana Ian, aku tak ngerti?”

“Wah kalau itu aku juga tak mengerti, selama ini, kita kan memang tak diajar apa-apa sama kyai, tapi jangan takut aku ini kan tukang ngayal, moga-moga Alloh melimpahkan rahmatnya, dan memberikan kesembuhan yang mutlak.”

“Lalu bagaimana Ian?”

“Begini, kamu telfon ortumu, saudarimu yang sakit siapa namanya?”

“Nafisah..”

Sambung ke part: 8....》》
0
1.1K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan