LordFariesAvatar border
TS
LordFaries
Peringatan 20 tahun pemerkosaan massal perempuan tahun 98

Tanggal 25 November mejadi hari awal peringatan hari anti-kekerasan terhadap perempuan, yang diperingati selama dua minggu ke depan. Pada tahun 2018 ini, kita juga akan sekaligus memperingati 20 tahun peringatan kekerasan massal terhadap perempuan pada kerusuhan Mei 1998. Kekerasan seks dua dekade lalu ini selain menelan banyak korban jiwa, juga menimbulkan trauma kepada mereka yang menyaksikan maupun mendengarnya.

Menurut data para pemberi kesaksian kepada TGPF, terdapat 85 kasus kekerasan seksual dengan 52 di antaranya merupakan pemerkosaan dalam bentuk pemerkosaan masal atau gang rape. Data Tim Relawan untuk Kemanusiaan Divisi Kekerasan Perempuan menyebutkan bahwa pemerkosaan pada Mei 1998 menimpa 152 orang dengan 20 orang di antaranya meninggal dunia.

Mantan Koordinator Divisi Kekerasan terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, mengatakan bahwa data versi TGPF belum mencerminkan jumlah pemerkosaan dan kekerasan seksual sesungguhnya yang terjadi selama Mei 1998, artinya masih banyak kemungkinan korban-korban yang tidak terdata pada laporan ini.

Aktivis perempuan Andy Yentriyani mengatakan, alih-alih mengungkapkan apa yang terjadi, para korban yang sebagian besar etnis Tionghoa memilih menyelamatkan diri ke luar negeri, membentuk keluarga baru, dan melupakan peristiwa yang terjadi

Dari perspektif beberapa saksi mata, dapat dilihat kebiadaban rudapaksaan terhadap perempuan sudah jauh diluar batas kemanusiaan. Seorang saksi mata di Muara Angke mengungkapkan bahwa pada 14 Mei 1998 ia melihat mayat-mayat perempuan korban pemerkosaan di depan matanya sampai ia memutuskan untuk meninggalkan ibukota

Sebagian korban lebih memilih bungkam karena beratnya penderitaan yang telah mereka alami. Sebagian korban bahkan ada yang memilih mengubah identitas dan pergi ke luar negeri.

Salah satu korban memilih tinggal di Amerika Serikat. Korban itu bersama kawannya mengalami penganiayaan. Payudaranya dipotong oleh segerombolan orang di Jembatan Semanggi pada Mei 1998.

Pemerkosaan terhadap perempuan bahkan memiliki dampak psikologis yang berat bagi yang menyaksikan. Seorang saksi yang mengaku melihat seorang perempuan Tionghoa dirudapaksa ramai-ramai.

Ia menjadi sangsi apakah ia menyaksikan pemerkosaan atau mengalami pemerkosaan. Batas antara “mengalami” dan “menyaksikan” menjadi sangat tipis, perbedaan antara “diri” dan “korban” pun menjadi kabur.

Pemerkosaan massal juga telah menerobos dalam benak sekelompok orang (pria) menjadi nilai-nilai yang jauh dari perikemanusiaan.

Pada 23 Juni 1998 seorang saksi mata mengungkapkan bahwa didalam sebuah angkutan umum di Jakarta barat, ia mendengar 3 orang pria berusia antara 23-35 tahun berpakaian bersih sedang memperbincangkan isi Koran tentang rudapaksaan terhadap anak kecil dan mayat yang dimutilasi

Ketiganya melemparkan komentar yang tidak pantas dengan mengatakan bahwa seharusnya pelaku memotong alat kelamin untuk kenang-kenangan dan dimasukan ke air keras, ketiganya pun mengolok-olok kondisi fisik alat kelamin korban tersebut dan tertawa bersama-sama.

Dari hasil pengamatan Tim Gabungan Pencari Fakta, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, diantaranya adalah:

1) pemerkosaan dan pelecehan seksual masal terjadi di titik-titik peristiwa kerusuhan yang mengakibatkan pengerusakan, pembakaran, penganiayaan dan kematian masal.

2) pola lokasi rudapaksaan massal secara jelas menunjukan bahwa target pemerkosaan dan pelecehan seksual masal terkonsentrasi dan menargetkan para perempuan keturunan Tionghoa.

Peristiwa kekerasan seks massal tahun 1998 adalah satu dari sekian banyak catatan kelam kekerasan terhadap perempuan di dunia. Dalam sejarah, perempuan kerap menjadi sasaran ketika terjadi peperangan maupun penaklukan antara suatu entitas kepada entitas lain. Hal ini seperti terjadi pada pemerkosaan para perempuan Armenia oleh pasukan Jerman,Jughun Ianfu di Asia oleh militer Jepang, bahkan pramuriaan seks perempuan-perempuan Vietnam yang segaja difasilitasi markas militer AS, Pentagon.

Di dalam barak yang dihuni 4000 pasukan, Pentagon memfasilitasi 120 perempuan Vietnam untuk memuaskan nafsu pasukan. Seorang perempuan sebanyak-banyaknya harus melayani 34 laki-laki setiap harinya. Memakai analisis Simone De Beauvoir, mengenai relasi laki-laki perempuan, Perempuan kerap menjadi korban dan dijadikan objek karena diposisikan sebagai “seks kedua” atau ”the second sex”.

Dengan ini, perempuan dipandang sebagai objek yang Liyan. Perempuan sebagai “the other” dalam wacana dunia yang dibuat oleh laki-laki. Laki-laki dalam hal ini adalah “self”. Pasca terjadinya kerusuhan 1998, Presiden Republik Indonesia B.J. Habibie mengungkapkan penyesalan yang mendalam atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan tersebut dan menyatakan bahwa tindakan semacam itu tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Presiden juga menegaskan bahwa pemerintah akan bersikap proaktif memberikan perlindungan bagi setiap lapisan masyarakat. Presiden mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap perempuan..Lebih lanjut TGPF menyatakan bahwa ada cukup indikasi bahwa rentetan peristiwa tersebut adalah bagian dari politik pertarungan kekuasaan elit yang terjadi di hari-hari seputar peristiwa kerusuhan Mei ini.

Hingga saat ini, pengusutan pelaku di balik pemerkosaan massal tahun 1998 belum juga terungkap. Upaya pemerintah pasca Habibie juga terlihat tidak maksimal mengungkapkan kasus ini. Dengan membiarkan kasus ini tidak tertangani dengan tuntas, sama saja Negara enggan untuk mengakhiri budaya kekerasan seksual semacam ini demi kepentingan segelintir elit

http://rimanews.com/ideas/politics/read/20181126/330309/Peringatan-20-tahun-pemerkosaan-massal-perempuan-tahun-98/

Hemm..
-1
7.3K
111
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan