BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Kenaikan harga BBM hantam popularitas Macron

Pengunjuk rasa berpenutup muka dengan rompi kuning, simbol aksi protes pengemudi atas kenaikan harga bahan bakar, berdemo di Champs-Elysees di Paris, Prancis, Sabtu (24/11/2018).
Jantung kota Paris membara. Kepulan api dan gas air mata beradu dengan teriakan “Turunkan Macron” di sekitar Champs-Elysees, kawasan belanja kelas atas, Paris, Perancis, Minggu (25/11/2018) malam.

Malam mendekat, emosi ribuan pengunjuk rasa berompi kuning atau “gilets jaunes” semakin tak terbendung. Mereka sengaja memancing perhatian dengan melemparkan batu ke jendela pertokoan dan merusak lampu-lampu lalu lintas.

Aparat kepolisian terpancing. Demi membubarkan massa, semburan gas air mata juga diperkuat dengan tembakan meriam air (water cannon). Upaya itu berhasil. Sekitar 130 pengunjuk rasa diamankan, meski sekitar 24 di antaranya—termasuk lima polisi—terluka akibat bentrokan.

Bentrokan merupakan akumulasi kekesalan massa. Sepekan sebelumnya, sekitar 280.000 gilets jaunes menggelar unjuk rasa serupa di 2.000 titik di Perancis. Unjuk rasa memakan korban. Dua orang meninggal dunia dan lebih dari 600 terluka.

Abainya pemerintah Perancis atas korban jiwa itu yang diduga menambah kekesalan massa.

Unjuk rasa kemarin menjadi yang termasif dalam sejarah pemerintahan Presiden Emmanuel Macron. Kumpulan pemrotes bukan hanya berasal dari pusat kota melainkan juga dari pelosok. Internet memberi kontribusi besar dalam penyebaran ajakan ini.

Protes gilets jaunes berpangkal pada keputusan Macron menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sepanjang tahun ini, harga BBM, khususnya diesel, sudah naik 16 persen, dari rerata 1,41 Euro (setara Rp20 ribu) menjadi 1,53 Euro (Rp25 ribu) per Oktober 2018.

Diesel adalah bahan bakar yang paling banyak digunakan di Perancis. Sekitar 62 persen kendaraan di sana menggantungkan bahan bakar kendaraannya pada diesel.

Di sisi lain, kenaikan BBM memang disokong oleh kenaikan harga minyak mentah Brent sebanyak 20 persen pada paruh pertama 2018 dari sekitar $60 AS menjadi $86,07 AS. Namun, kebijakan kenaikan harga BBM di Perancis juga diikuti dengan kenaikan pajak BBM.

International Energy Agency mencatat harga BBM, khususnya diesel, di Perancis pada Oktober 2018 sebesar 1,51 Euro per liter, melonjak 21,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya (yoy). Sementara untuk harga bensin dipatok 1,56 Euro per liter, meningkat 14,7 persen dibandingkan pada Oktober 2017.

Alih-alih menyalahkan OPEC karena membatasi produksi minyak global, para pengunjuk rasa menuntut perbaikan upah minimum yang bertengger di rerata 1.160 Euro (sekitar Rp19,07 juta) sejak lama.

“Sudah cukup. Selalu ada pihak sama yang harus membayar lebih atas kegilaan yang dibuat orang lain. Kita bekerja untuk membayar, bekerja ekstra untuk membayar ekstra, selalu begitu dari tahun ke tahun, presiden ke presiden. Kanan, kiri, semuanya sama saja,” sebut Joel Mouilleseaux (24) kepada The Guardian.

Bruni Binelli (66), seorang pensiunan Lyon yang ikut dalam aksi protes menambahkan, jika pemerintah Perancis terus bersikap seperti ini, maka jangan heran saat pemilihan yang akan datang kelompok ekstrem kanan yang akan menang.

“Mereka tidak mendengar suara kita. Macron tidak mendengar sama sekali. Dia tiba-tiba peduli dengan ekologi, tapi itu semua bohong. Ia melakukan itu supaya kita mau terus-terusan membayar pajak,” tutur Bruni.

Macron jadi sasaran. Namun bukan tanpa sebab. Kehadirannya dalam perpolitikan Perancis awalnya dianggap sebagai pembawa perubahan. Macron adalah independen-sosialis. Ketika terpilih, Mei 2017, ia dianggap sebagai pemersatu kelompok kanan-jauh maupun kiri-jauh.

Macron menjanjikan revolusi abad-21 di Perancis. Program-programnya ambisius; reformasi politik, ekonomi, hingga sosial. Sejumlah deregulasi kebijakan diterapkan, pelaku bisnis diminta bertindak lebih rasional.

Sebaliknya, mengutip CNN International, Macron tak mampu meredam ketakutan kelas pekerja yang hidupnya merasa terancam. Ketimpangan serta ketegangan muncul di antara kaum metropolitan dengan fakir.

Popularitas Macron pun tergerus—menjadi sekitar 26 persen, jauh berada di bawah dua mantan presiden sebelumnya, Francois Hollande (48 persen) dan Nicolas Sarkozy (29 persen).

Pengunjuk rasa sengaja mengenakan rompi kuning sebagai simbol dari pengemudi di Perancis. Pengemudi menjadi kelompok yang disebut paling terbebani akibat kebijakan kenaikan harga BBM.
Macron dan jajarannya menuding kelompok ekstrem kanan berada di balik aksi protes ini. “Masyarakat sedang mengalami krisis. Ada yang menghasut sehingga rakyat emosi. Aku tidak ingin menanggapinya dengan cara seperti ini,” sebut Macron, dikutip dari laporan The New York Times.

BBC menyebut gerakan gilets jaunes berbeda dari aksi serupa yang kerap terjadi di negara yang demokrasinya kerap disetir partai politik dan atau serikat buruh.

Dalam aksi ini, tidak ada sosok pemimpin nasional yang muncul. Bahkan, beberapa kelompok pendukung Macron dilaporkan ikut dalam unjuk rasa. “Penggalangan massa ini adalah sinyal bahwa Macron gagal mengembalikan kepercayaan publik terhadap politikus,” sebut Lucy Williamson, BBC News di Paris.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...laritas-macron

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Cekcok Pilpres berujung pembunuhan, peringatan buat elite politik

- Jangan terkecoh petugas gadungan KPK

- Pemberlakuan E-TLE tekan nego pelanggar dan polisi

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
241
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan