Semfak387Avatar border
TS
Semfak387
Yang ke lima....
“Eh, eh, apa apaan ini?” aku berusaha
'Penguasa raja raja jin 5'

mengangkat lengan Anggraini, tapi gadis itu menangis sesenggukan.

“Hu hu, mas Ian, kalau tak ada mas Ian apalah jadinya aku… hu… aku pasti tak sanggup membalas budi, dan pertolongan mas Ian… hu… aku siap mengabdikan diriku… hu…”

“Sudah-sudah ayo berdiri, tak baik dilihat orang, ayo berdiri.” kataku sambil menyalurkan tenaga prana lewat lengannya supaya dia tenang. Perlahan gadis itu berdiri, dan tegak di depanku.

“Jadi mas Ian mau menerima pengabdianku?” Aku yang tak mengerti, manggut aja. Dari pada masalah yang tak ada ujung pangkalnya berkepanjangan. Setelah aku manggut, gadis itu wajahnya kelihatan ceria, dan mengusap air matanya kemudian melangkah ke dalam.

Beberapa detik kemudian bu Lurah keluar dan mempersilahkan kami menikmati hidangan. Mujahidi kulihat mulutnya telah penuh makanan, bakwan, mendoan, tahu goreng, uh cabe yang di piring yang udah aku incer udah ludes. Mujahidi, enak aja mulutnya manyun kesana kemari, mengunyah makanan yang penuh di mulutnya sambil omong, “Hm…, semaleman bertarung, laper mas.., hm, hm, enak..” lalu setelah makan dia mengeluarkan sebatang Djisamsoe yang udah gepeng dan melengkung. Kemudian menyalakannya, asap mengepul dari bibirnya yang hitam kayak habis ditonjok orang, juga asap keluar dari lubang hidungnya yang lebar karena sering dikorek-korek dicari kotoran upilnya. Aku makin jengkel aja melihat tingkah Mujahidi, tanpa memandang sebelahnya yang jakunnya naik turun. Sebenarnya aku ngiler pada rokok yang diisepnya, tapi aku tak mau merengek-rengek, minta satu dua isepan, walau kalau dikasih, aku gak bakal menolak.

Karena melihat Mujahidi, kelihatannya rokoknya tak akan dibagi, aku segera pamitan kepada bu Lurah untuk pergi ke musholla, sekalian nunggu waktu sholat duhur, sambil selonjoran karena semalaman belum tidur, aku langsung tidur, jam menunjukkan jam sepuluh lewat lima menit.

Wah kalau ingat jam jelek yang selalu melingkar di tanganku ini, heran juga, yah walau jam tangan bermerek Casio ini menurut aku jelek, tapi awet banget, juga tahan air, aku malah mengira jam ini tak pakai batre untuk menopang jalan angkanya. Soalnya sampai tiga tahun kgak mati-mati, padahal semenjak kubeli, belum pernah aku melepasnya. Mandi, tidur, kemana aja jam ini kubawa. Sampai bentuknya buduk banget. Kaca mikanya jaret-jaret kesana sini. Penunjuk waktunya yang cuma angka-angka itu memudahkanku.

Apalagi kalau ingat waktu mendapatkannya, saat itu aku dari Serang Banten mau pulang ke Tuban nyampai terminal Pulo Gadung. Setelah membeli tiket bus malam jurusan Senori Tuban. Aku segera mencari tempat duduk, karena terlambat sedikit saja aku pasti tak akan dapat kursi, karena siapa cepat dapat. Untung aku masih kebagian kursi di tengah, walaupun bus yang kutumpangi jauh dari nyaman, aku berusaha menyamankan diri, bus masih menunggu penumpang penuh dan menunggu jam keberangkatan.

Para pedagang asongan berseliweran, sehingga menambah keadaan makin ribut. Tak jarang para pedagang itu menawarkan dagangannya disertai paksaan. Terdengar seorang pedagang jam tangan menawarkan dagangannya, sampai di depanku dia menawarkan dagangannya kepadaku, tapi aku menggeleng.

“Dilihat dulu mas, ngelihat kgak bayar kok.” kata pemuda penjual jamnya. Aku pun melihat, walau aku tak tau tentang jam tangan, tapi menurutku semua jam tangan yang dijualnya tak bagus. Maka ketika dia menawarkan kepadaku untuk membeli satu, aku menolak, lagian aku tak punya uang. Tapi dia maksa malah memakaikan jam tangannya ke pergelangan tanganku.

“Ayolah mas dibayar, cuma limapuluh ribu aja kok.” aku mau melepaskan jam tangan dari pergelangan tanganku, tapi pemuda itu menahan.

“Ayo dibayar,”

“Maaf, aku tak mau dan tak ingin punya jam tangan.” kataku, “Kamu jangan maksa.”

“Eh kamu udah ngelihat-lihat udah make jam tanganku tapi kgak mau bayar, kamu ngajak berantem?!” nadanya menantang. Sementara bus sudah jalan.

“Heh yang makekan kamu, kamu jangan memutar kata-kata ya, aku bilang aku tak punya uang.” aku juga mulai emosi.

Dia tersenyum mengejek, “Heh, oke aku akan ambil semua uang di sakumu, sebagai pengganti jam tanganku.”

Aku diam saja ketika dia merogoh uang di sakuku, karena memang aku tak punya uang. Sementara kondektur telah menyuruhnya turun. Dia tak menemukan apa-apa kecuali uang lima ribuan.

“Ah kere…!” katanya sambil bergegas turun, karena kondektur yang sudah membentaknya turun. Dan jam tangan ini sampai sekarang ada di tanganku. Aku berharap pemuda penjual jam itu insaf dan melakukan jual beli dengan wajar, dan aku juga berharap, jam tangan ini setiap ku pakai beribadah maka pemuda itu mendapatkan pahala.

Dalam tidur aku merasa ada banyak orang yang duduk berbisik-bisik di bawah kakiku. Aku pun membuka mata dan mengangkat sedikit kepala untuk meyakinkan prasangkaku. Ternyata benar, banyak sekali pemuda kampung Pasir Seketi. Dan yang aku kenal namanya ada yang namanya Jejen, Maman, Nono, Safi, Imam dan banyak lagi yang aku tak tau namanya, aku segera bangkit duduk.

“Eh, apa sudah saatnya sholat?” tanyaku karena menyangka, pemuda-pemuda ini mau sholat.

“Belum.” jawab mereka serempak.

“Lho, lalu kenapa kalian duduk di sini?” tanyaku heran, sambil membetulkan rambut panjangku yang ikatannya kendor, sehingga yang rambut pendek lepas, agak membuatku risih, kulihat Mujahidi tidur mendengkur di sebelah kananku, sekali waktu mulutnya berkriutan, mungkin makan emping atau daging yang agak liat, kulihat semua pemuda saling memberi isyarat untuk mewakili bicara. Akhirnya yang bicara pemuda bernama Jejen.

“Jadi, anu…,” pemuda itu rikuh, sehingga dia susah mengeluarkan kata-kata. Jejen, pemuda ini ku taksir umurnya duapuluh dua tahun, tubuhnya kecil, tapi berotot karena biasa kerja di kebun. Wajahnya juga kecil tapi kelihatan tua. Jejen pernah ke tempat Kyai, tapi disentil Kyai, supaya jangan sering nonton video porno, lalu malu sekali, sehingga tak berani datang lagi.

“Anu mas Ian, maaf kalau kami mengganggu tidur mas Ian, kami semua pemuda desa meminta dengan sangat supaya mas Ian bersedia membimbing kami, menjadi guru silat di desa Pasir Seketi ini.” seperti telah melepaskan beban di dadanya, Jejen menarik napas lega. Aku tak terkejut, biasa saja, sementara kulihat para pemuda yang kebanyakan umurnya di atasku itu, tegang menanti jawabanku.

“Aku mau-mau saja menjadi guru kalian, tapi apakah kalian sanggup untuk menjadi muridku?”

“Sanggup…!” terdengar suara serentak.

“Kami sanggup disuruh apa saja,” kata Jejen menambahi. Karena waktu itu sudah masuk waktu sholat maka aku mengajak mereka semua sholat berjamaah. Setelah selesai menjalankan sholat, para pemuda itu duduk melingkariku, mungkin semua sekitar tigapuluh orang.

“Saudaraku semuanya,” aku membuka pembicaraan.

“Perlu kalian ketahui, ilmu yang akan kuturunkan kepada kalian ini, dinamakan ilmu laduni, dasar amalannya adalah wirid. Sementara kalian harus menjalani puasa, untuk memiliki ilmu ini, kalian harus membeli ilmu ini dengan puasa, semakin banyak kalian puasa, maka akan semakin banyak ilmu yang kalian dapat….” aku menjelaskan panjang lebar tentang ilmu laduni, dan setiap pertanyaan aku jawab sampai mereka puas.

Setelah memberikan wirid yang harus jadi amalan, aku segera pamit meninggalkan pemuda-pemuda desa itu, karena pak Lurah telah datang memanggil untuk mengajakku makan. Kami makan dengan lahap, Mujahidi sampai nambah tiga piring, selesai makan kami duduk di beranda depan, sambil menikmati rokok Djisamsoe, pak Lurah membuka pembicaraan.

“Ah si Sanusi, kenapa dia bisa melakukan perbuatan sekeji itu?” tanpa tau arah pembicarannya aku menjawab,

“Yah itulah pak, nafsu kalau sudah mengalahkan akal budi, manusia lupa diri, dan perbuatan keji pun dilakukan.” lalu pak Lurah menceritakan, Sanusi sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan pak Lurah, meskipun jauh.

Sanusi muda adalah orang yang suka ilmu debus dan kanuragan. Dia suka mengembara mencari guru. Bertahun-tahun Sanusi mengembara sampai akhirnya dia pulang dengan berbagai ilmu kesaktian. Dia menunjukkan ilmu kesaktiannya pada pemuda-pemuda sehingga para pemuda desa merasa takut padanya. Sanusi sering memperlihatkan ilmu kebalnya, sehingga para pemuda tertarik untuk belajar ilmu silat kepadanya, maka Sanusi pun menjadi guru silat. Tapi karena belajar silat di tempat Sanusi dipungut iuran yang tinggi, maka banyak pemuda yang mengundurkan diri, karena tak mampu membayar. Akhirnya perkumpulan silatnya pun berhenti.

Ketika terjadi pemilihan lurah, Sanusi pun mencalonkan diri, dan lawannya adalah pak Lurah yang sekarang, tapi ternyata Sanusi yang kalah dan pak Lurah pun menduduki jabatan lurah. Tak ada apa-apa setelah itu, tapi suatu hari Sanusi yang telah diangkat jadi carik, datang ke rumah pak Lurah untuk melamar Anggraini, tentu saja ditolak walau secara halus, karena Sanusi umurnya lebih tua dari pada pak Lurah, yang pantasnya menjadi ayah Anggraini. Juga Sanusi adalah seorang duda, cerai dengan istrinya, sering cekcok dan kalau sudah cekcok istrinya sering dipukul.

Pak Lurah menghela napas berat, “Tak menyangka, Sanusi yang pendiam mampu melakukan kekejian seperti itu.”

Aku hanya manggut-manggut, lalu mau pamitan pulang ke pondok Pacung. Tapi pak Lurah mencegah, kemudian mengajakku ke dalam, katanya ingin bicara empat mata, dan kami berdua masuk meninggalkan Mujahidi yang masih duduk mengebulkan rokok djisamsoe. Sampai di dalam kami segera duduk di sofa, sebentar kemudian bu Lurah pun menyusul ikut duduk. Aku bertanya-tanya dalam hati sebenarnya ada apa? Keheningan sebentar terasa karena pak Lurah tak segera bicara, nampak bu Lurah menjawil suaminya, seakan memberi isyarat supaya lekas bicara.

“Anu…nakmas Ian, apakah nak mas tidak berkeinginan untuk menjadi orang desa Pasir seketi?”

“Apa maksud Pak Lurah?” tanyaku, seperti orang bodoh.

“Maksud kami, kami ingin menjodohkan Anggraini, dengan nak Ian.” walau aku telah menyangka sebelumnya, secuek-cueknya aku, tetap terkejut juga. Bagaimana tidak, menikah adalah kehidupan suami istri yang berwatak berlainan, kalau bisa sekali untuk seumur hidup, jadi tak bisa asal comot, tanpa memikirkan resikonya, tidak asal pilih kayak memilih jajanan pasar. Atau kalau tidak akan menyesal selamanya.

“Menurut saya, Anggraini itu gadis yang cantik, setiap pemuda yang melihatnya pasti akan tertarik, termasuk saya.”

“Kalau begitu tunggu apa lagi?” tanya pak Lurah bersemangat.

“Tapi pak Lurah, saya ini masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan, saya masih ingin menuntut ilmu.” kataku dengan nada rendah karena takut kata-kataku menyinggung.

“Ah pondok Pacung kan dekat dari sini nak mas? Kalau mau mengaji nakmas kan bisa berangkat dari sini kalau sudah jadi istrinya Anggraini,” suara pak Lurah nyerocos suaranya seperti mengemplangku dari kanan kiri.

Bu Lurah pun menambahi, “Iya nak jadilah mantu kami, kami sudah sediakan semua, dari rumah, kebun, pokoknya nak mas tinggal menjalani.”

“Bu, pak, sekali lagi saya tidak menolak, tapi untuk saat ini saya benar-benar belum berani menikah, nanti saja kalau Anggraini memang jodoh saya, pasti saya akan menjadikan dia istri saya.” kataku panjang lebar tapi masih dengan nada sehalus mungkin, karena takut menyinggung.

Setelah membujukku sekian lama tak berhasil, pak Lurah dan istrinya pun menyerah juga. Wajah mereka tertunduk mengguratkan kekecewaan. Sementara dari dalam kamar Anggraini, terdengar suara tangis gadis itu. Tapi memang itulah hidup, kadang kita harus berani mengambil keputusan awal, terluka pun tak terlalu dalam, dari pada akar telah dalam tertanam lalu baru kita cabut pasti luka akan teramat dalam dan susah disembuhkan.

Setelah kurasa cukup aku pun mohon diri, tapi pak Lurah memaksa mengantar dengan mobil kijangnya. Di luar banyak sekali pemuda kampung mau mengantar kepergianku, bergantian menyalamiku. Dan beraneka macam pemberian kuterima, aku tak menolak sampai mobil pak Lurah tak muat lagi. Akhirnya aku dan Mujahidi pergi meninggalkan desa Pasir Seketi. Kulihat mata-mata berlinang dan melambaikan tangan. Orang-orang desa yang baik, gumamku. Setengah jam kemudian aku tiba di pesantren Pacung. Suasana pesantren sangat sepi, tak ada mobil tamu di tempat parkir, kulihat Kholil berlari-lari kecil mendekatiku.

“Kenapa sepi sekali Lil?” tanyaku setelah Kholil ada di depanku.

“Kyai lagi sakit.” jawabnya dengan mimik muka serius. Ku suruh Kholil menurunkan barang-barang yang ada di mobil.

“Sakit apa?”

“Kena santet, dan muntah darah.” aku tak begitu kaget, karena memang sudah tak terhitung lagi, Kyai terkena santet yang dikirim seseorang, karena Kyai menolong orang yang disantet, jadi Kyai jadi sasaran.

“Parah?” tanyaku menyelidik.

“Sekarang ini parah mas, soalnya tubuh Kyai sampai memerah, dan mengeluh kepanasan.” karena penjelasan Kholil itu, aku segera bergegas ke tempat Kyai berada setelah ditunjukkan Kholil.

Bergegas aku melangkah masuk rumah Kyai, suasana hening, nampak Kyai duduk memejamkan mata, sementara semua santri duduk melingkar, tangan mereka tak henti memutar tasbih di tangan, sedang Kyai duduk kedua tangannya di pangkuan, baju putihnya yang di dada belepotan darah muntahannya sendiri, sementara di depannya nampak bak plastik juga banyak darah di dalamnya.

“Kau mas Ian sudah datang,” kata Kyai datar, masih dengan mata terpejam.

“Sini duduk di sampingku.” Aku segera beranjak melangkah dan duduk bersila di samping kanan Kyai, dari dekat memang benar kata Kholil semua tubuh Kyai memerah di dalam, setelah aku duduk tangan kiri Kyai memegang pergelangan tangan kananku, uh panas sekali, lalu tanganku diangkat ke arah pahanya.

“Baca haukolah tiga kali, tahan napas.” kata Kyai masih dengan mata terpejam, suaranya datar namun tenang, aku pun segera membaca lahaulawalaquata illa billa hil aliyil adhim dalam hati tanpa napas, terasa ada aliran hawa sakti teramat dingin dari pusarku, mengalir bergulung-gulung di barengi sentakan-sentakan seperti setrum listrik, ke arah tanganku yang ada di pangkuan Kyai, sehingga kurasakan dengan pasti, aliran itu masuk ke tubuh Kyai, dan kurasakan perlahan tubuh Kyai mulai tak panas lagi, tiba-tiba Kyai terbatuk-batuk dua kali lalu memuntahkan darah, ke bak plastik, nampak darah yang ada di bak plastik itu sebentar bergolak, lalu diam, dan ada sesuatu yang bergerak-gerak, ternyata tiga kelabang sebesar ibu jari tangan, dan seekor kala jengking sebesar ibu jari kaki, yang warnanya hitam kebiru-biruan. Kyai segera memutar jari telunjuknya di atas bak plastik, maka aneh kelabang dan kala jengking itu berjalan-jalan mengitari bak plastik itu tanpa bisa keluar. Terpagar gaib.
0
704
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan