bononx
TS
bononx
Psikolog Ungkap Tipe Orang yang Gampang Percaya Hoaks
Belum lama ini muncul berita bohong alias hoaks mengenai kasus penculikan anak yang beredar di media sosial dan membuat resah banyak orang. Beruntung, enam pelaku penyebar hoaks itu sudah ditangkap pada akhir Oktober dan awal November 2018 lalu.

Meski kabar penculikan anak itu sudah dikonfirmasi hoaks dan pelaku penyebarnya sudah ditangkap, tapi masih ada beberapa orang mempercayai hoaks tersebut.

Mereka yang percaya informasi bohong ini dinilai tidak memiliki pemikiran terbuka dan tidak menggunakan kemampuan berpikir analitik, menurut hasil riset psikologi terbaru.

Riset baru dari sekelompok psikolog di berbagai universitas di AS dan Kanada ini mempelajari orang macam apa yang lebih mudah percaya hoaks. Hasil riset ini telah dipublikasikan di Journal of Applied Research in Memory and Cognition.

Dalam riset ini, ilmuwan mendefinisikan hoaks sebagai berita yang dikarang dan disajikan seolah-olah berasal dari sumber yang sah di media sosial. Tujuannya untuk menipu publik demi keuntungan ideologis atau finansial.

Dalam riset ini para peneliti merekrut lebih dari 900 orang dewasa yang tinggal di AS dan berusia 18 tahun ke atas. Mereka diberi tugas serta memberi peringkat keakuratan berita, dengan beberapa kabar tersebut ada informasi yang bersifat 'hoaks' dan ‘sah’.

Untuk mengukur tingkat delusi pada para peserta, para peneliti mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden, salah satunya seperti: "Apakah Anda pernah merasa seolah-olah ada konspirasi melawan Anda?"

Hasil riset menunjukkan, orang-orang yang tidak memiliki pemikirian terbuka dan tidak menggunakan kemampuan berpikir analitik lebih mungkin mempercayai hoaks.

Riset ini juga menjelaskan mengapa orang-orang yang dogmatis, fundamentalis agama, dan orang yang berdelusi (mereka yang percaya pada teori konspirasi dan fenomena gaib) lebih rentan percaya pada berita hoaks. Ya, tipe orang dengan ciri-ciri seperti inilah, yang menurut hasil riset, sangat rentan untuk percaya hoaks.

Meski begitu, penelitian ini belum dapat menjelaskan hubungan kasualitas (sebab-akibat) antara proses dalam berpikir dan mempercayai berita hoaks.

“Salah satu tantangan dalam mengonsumsi berita dari media sosial adalah ada terlalu banyak informasi. Terlalu banyak informasi yang beredar sehingga sulit untuk memikirkannya secara aktif, terbuka, dan analitik,” kata Michael Bronstein dari Fakultas Psikologi Yale University, penulis riset ini, seperti dikutip dari Newsweek.

Oleh karena itu, untuk mencegah berita palsu, Bronstein menyarankan pembaca untuk terlebih dahulu menganalisis berita yang dibagikan di media sosial, contohnya dengan cara mencari bukti yang mendukung atau berlawanan dengan berita tersebut.

https://m.kumparan.com/@kumparansain...08539644840373

Pantesan pada demen aja diboongin emoticon-Stick Out Tongue
4
5K
107
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan