esportsnesiaAvatar border
TS
esportsnesia
Seksisme Dalam Industri Video Game

Seksisme dalam Industri Video Game via ghostwoodgames.com


Kisah seksisme di industri video game mungkin tak lagi dibahas seheboh dulu namun bukan berarti isu tersebut sudah habis dibahas. Di tengah pergerakan aktivis yang sedang gencar memperjuangkan hak-hak perempuan, kritikan mereka terhadap budaya objektifikasi perempuan yang kerap dianggap normal dalam game bukanlah suatu hal yang baru. Namun, banyak juga kalangan yang beranggapan bahwa kritikan terhadap isu seksisme dalam industri video game adalah hal yang berlebihan.

Well, it’s just a game anyway.

Layaknya lukisan, game juga dapat dipandang sebagai sebuah karya seni yang idealnya dinilai berdasarkan kualitas karya itu sendiri. Dalam hal ini, desain, animasi serta visualisasi merupakan atribut penilaiannya, tanpa perlu dicampuri dengan bumbu-bumbu penilaian subjektivitas terhadap gender.

Namun, tidak salah bila para kritik mulai menyoroti isu seksisme yang nyata terjadi dalam komunitas gamer.

Sejatinya, budaya terbentuk dari kebiasaan. Suatu pemikiran atau perilaku dapat ternormalisasi apabila dilakukan atau dirasakan secara terus menerus. Misalnya, Cinderella Syndrome, sebuah fenomena dimana perempuan menganggap dirinya sebagai makhluk lemah yang membutuhkan pangeran tampan berkuda putih untuk menyelamatkannya, seperti dalam dongeng yang biasa dibacakan dan ditonton sejak kecil.



Berlandaskan fenomena tersebut, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa sebagian gamer laki-laki akan memiliki pandangan yang merendahkan terhadap gamer perempuan atau bahkan perempuan secara umum apabila terbiasa melihat peran wanita dalam game yang hanya menjadi aksesoris atau piala yang perlu diselamatkan; ataupun sidekick seksi yang membantu memerangi musuh.

Seksisme di Korea Selatan

Pada tahun 2016, game publisher Nexon, secara sepihak mengganti pengisi suara wanita untuk seorang karakter video game Closers, demi memenuhi permintaan penggemar yang berang ketika sang pengisi suara mengunggah foto dirinya menggunakan kaos kontroversial bertuliskan “girls do not need a prince”. Kaos yang dijual di situs Megalian04 tersebut diduga berafiliasi dengan sebuah organisasi feminis radikal di Korea Selatan, Megalian. Padahal situs tersebut sudah menyatakan bahwa mereka tidak memiliki hubungan apapun dengan organisasi feminis tersebut.



Kasus serupa juga terulang di tahun 2018, dimana Kim Hakkyu, seorang CEO dan juga pendiri IMC Games, melakukan penyidikan terhadap seorang karyawan wanita karena aktivitas pribadinya di Twitter yang me-retweet cuitan yang memiliki kata ‘hannam’ (istilah dalam bahasa Korea yang memiliki arti ‘disgusting man’) dan mem-follow akun feminis. Hal tersebut dianggap sebagai tindakan ‘ber-ideologi anti sosial’ oleh para gamer. Atas penyidikan tersebut, sang karyawan wanita harus membuat pernyataan maaf serta meng-unfollow akun feminis yang diikutinya. Kim menyatakan bahwa ia akan terus waspada terhadap kasus serupa.

Apa yang dilakukan oleh Kim memberi pesan yang mendukung seksisme dimana tindakan opresi terhadap perempuan yang memiliki ideologi berbeda adalah hal yang benar. Pesan seksis tersebut, didukung dengan profil institusi yang tinggi di masyarakat, akan semakin menjadi legitimasi bagi para gamer untuk semakin gencar memonitor aktivitas para perempuan dalam industri game yang merupakan kelompok minoritas. Alhasil banyak perempuan dalam industri game Korea Selatan yang menjadi takut untuk menyuarakan pendapatnya, karena bahkan para petinggi di industri yang mereka geluti tidak berpihak kepada hak-hak mereka.

Apakah seksisme hanya terjadi di Korea Selatan?


Apa yang terjadi di Korea Selatan hanyalah secuil dari berbagai perlakuan seksisme terhadap perempuan dalam industri game di dunia. Seorang kepala editor dari publikasi game IGN dipecat setelah terbongkarnya perlakuan tidak senonohnya terhadap salah seorang karyawan perempuan. Investigasi terhadap kasus pelecehan tersebut dilakukan setelah beberapa karyawan mogok kerja karena IGN tidak merespon secara resmi pengaduan yang dilaporkan oleh mantan karyawannya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila para karyawan tidak memaksa dilakukannya investigasi terhadap aduan yang sempat diabaikan tersebut. Kejadian tersebut mungkin hanya akan dianggap sebagai angin lalu.

Tidak heran pula bila para perempuan dalam industri game bungkam di tengah maraknya gerakan #MeToo yang ditujukan untuk mendukung perempuan menyuarakan kejadian diskriminasi, pelecehan ataupun kekerasan seksual yang dialaminya, baik di dalam ataupun di luar lingkup esports.



Pada akhirnya, mengkritik game yang menggambarkan wanita sebagai objek seksual bukanlah suatu hal yang berlebihan. Walaupun game adalah karya seni yang memiliki penilaian tersendiri, kita tidak boleh menutup mata bahwa, sama halnya dengan film dan media, game dapat memberi paparan terhadap suatu pandangan seksisme, yang jika dibiarkan secara terus menerus dapat menormalisasi pandangan dan perlakuan seksisme tersebut.

Selain itu, peran petinggi di industri video game juga patut mendapat sorotan terkait keputusan-keputusan mereka yang cenderung seksis demi memenuhi keinginan sebagian besar konsumer mereka yang juga seksis.

Sudah saatnya para game developer di dunia peduli dengan isu seksisme yang ada di sekitar mereka. Kepedulian tersebut dapat dimulai dari langkah sederhana yakni dengan tidak menyajikan elemen-elemen yang merendahkan perempuan dalam game, sehingga paparan terhadap pemikiran yang melihat perempuan sebagai objek pelengkap laki-laki tidak terus menerus terjadi.

Tindakan yang juga tidak kalah penting untuk menghilangkan ketidakadilan berbasis gender ini juga terletak pada pembangunan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi para karyawan untuk dapat menyuarakan isu-isu diskriminasi, kekerasan serta pelecehan yang mereka alami. Perusahaan juga sudah seharusnya memikirkan kesejahteraan psikis karyawannya, dengan turut mendengarkan apa yang dirasakan oleh karyawannya, bukan hanya mendengarkan permintaan penggemarnya.

Perilaku seksisme yang ternormalisasi dan (tak jarang) mendapat dukungan dari petinggi industri game dalam komunitas gamer dapat menjadi citra buruk di mata masyarakat awam, khususnya, perempuan yang mungkin memiliki passion dalam game namun pada akhirnya memadamkan passion tersebut karena dihadapkan dengan komunitas yang tidak bersahabat dengan keberadaannya.

Hal ini tentu saja akan menghambat game developer itu sendiri untuk melebarkan sasaran pasar game yang mereka kembangkan. Well, mungkin sebagian besar game developer belum menyadari bahwa mereka telah kehilangan sasaran konsumer bahkan sebelum sempat berpikir untuk membidiknya.

Sumber :esportsnesia.com

Baca Juga Hot Thread lainnya seperti :
1. 3 Pelajaran Kehidupan dari PUBG
2. 5 Atlet Esports Indonesia yang Go International
3. 4 Alasan Mengapa Esports Adalah Olahraga
4. 4 Aksi Kemanusiaan di Esports
5. Perspektif: Esports dan Hak Kekayaan Intelektual
6. Melirik Kesuksesan Game Battle Royale
7. Apakah Kita Butuh Kompetisi Esports Khusus Perempuan?
8. Kesehatan: Kunci Karir Jangka Panjang Atlet Esports
9. [URL="https://esportsnesia.com/profil/komunitas/mengenal-vainglory-bekasiS E N S O Rmunity/"]Cerita Manis Vainglory Bekasi Community, Komunitas Esports Muda di Tanah Jawa[/URL]
10. [URL="https://www.kaskus.co.id/thread/5b8f2dfdd44f9faa4d8b456e/keramahtamahan-aov-surabayaS E N S O Rmunity"]Keramahtamahan AOV Surabaya Community[/URL]
11. Pantaskah Esports Menjadi Cabang Olahraga di Olimpiade?
12. 3 Alasan Mengapa Mobile Esports Menjadi Tren
13. Ada Apa dengan Genre Real-Time Strategy?
1
10.1K
57
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan