BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Risiko terjadinya krisis mata uang di Indonesia dinilai kecil

Sejumlah mahasiswa KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Banten melakukan aksi "Save Rupiah" di Alun-alun Serang, Jumat (7/9).
Riset terbaru dari Nomura Holdings Inc menyatakan Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara berkembang yang mempunyai risiko kecil akan terjadinya krisis mata uang.

Pada Rabu (12/9/2018), lembaga keuangan asal Jepang tersebut merilis analisis tentang negara lain yang juga mempunyai risiko rendah terhadap krisis mata uang antara lain Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.

Laporan ini menyatakan berbagai langkah yang sudah dilakukan otoritas moneter maupun pemerintah Indonesia untuk menjaga pergerakan nilai tukar telah berjalan dengan efektif.

“Ini adalah sebuah hasil yang penting. Karena investor lebih fokus pada risiko, penting untuk tidak menyamaratakan risiko krisis pada negara-negara berkembang,” bunyi kesimpulan analisis Nomura tersebut.

Indonesia juga dinilai memiliki cadangan devisa yang cukup untuk menahan depresiasi rupiah serta berbagai upaya untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan dan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kredibel.

Di sisi lain, Nomura juga memberikan sinyal bahwa tujuh negara berkembang mengalami risiko krisis nilai tukar yang tinggi yaitu Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki, dan Ukraina.

Sebanyak lima dari tujuh negara tersebut telah jatuh ke dalam krisis mata uang atau menjadi sasaran dari program penyelamatan Dana Moneter Internasional (IMF).

Riset Nomura ini didasarkan pada model peringatan dini yang bernama Damocles, yang mengacu pada salah satu tokoh dalam mitologi Yunani.

Damocles dibangun untuk mengidentifikasi potensi krisis mata uang di 30 negara berkembang dengan mempelajari beberapa indikator, termasuk cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, aliran dana dan impor.

Semakin tinggi skor Damocles di suatu negara, maka semakin rentan negara tersebut mengalami krisis, seperti yang saat ini dialami Sri Lanka dengan nilai 150, atau yang tertinggi di antara negara berkembang lainnya.

Damocles tidak melihat negara berkembang sebagai satu kesatuan yang homogen, karena terdapat negara-negara yang mempunyai indikator risiko krisis mata uang rendah.

Model ini dengan tepat telah memprediksikan sekitar 67 persen dari krisis mata uang di 54 negara berkembang sejak 1996, sekitar 12 bulan sebelum krisis terjadi.

Beberapa diantaranya seperti krisis finansial Asia pada 1997, krisis keuangan Rusia pada 1998 serta guncangan ekonomi yang baru-baru ini terjadi di Argentina, Turki, Afrika Selatan, dan Pakistan.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani di sela-sela kegiatan Forum Ekonomi Dunia (WEF) untuk Asean di Hanoi, Vietnam, mengatakan pelemahan mata uang rupiah yang terjadi kemarin berimbas besar bukan pada utang, tapi pada defisit neraca transaksi berjalan.

"Yang membedakan setiap negara adalah kerentanan terhadap faktor eksternal. Indonesia bukan pada utangnya, namun pada defisit transaksi berjalan," katanya seperti dikutip dari website Sekretariat Kabinet, Rabu (12/9).

Sri Mulyani mengatakan, undang-undang di Indonesia telah mengatur defisit transaksi berjalan tak boleh melebihi tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka defisit yang terjadi belakangan ini menurutnya masih bisa dikendalikan.

Menurutnya ketika Amerika Serikat memiliki sentimen terhadap negara berkembang di belahan dunia lain maka hal tersebut menciptakan dinamika.

Melihat tantangan tersebut, lanjutnya, pemerintah akan berupaya menurunkan defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan. Adapun cara yang ditempuh yakni dengan membatasi impor secara selektif.

Laporan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dirilis oleh Bank Indonesia per Agustus 2018 menyebutkan hingga akhir semester satu tahun ini total utang luar negeri mencapai 355,7 miliar dolar AS, setara dengan Rp5.199 triliun dengan kurs Rp 14.620 per dolar.

Angka itu terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral 179,73 miliar dolar atau sekitar Rp2.628 triliun dan utang swasta 176 miliar dolar atau sekitar Rp2.573 triliun. Secara umum, utang luar negeri di kuartal kedua di 2018 ini tumbuh 5,5 persen atau melambat dibanding kuartal sebelumnya yang tumbuh 8,9 persen.

Salah satu penyebab turunnya cadangan devisa Bank Indonesia sepanjang tahun ini adalah pembayaran utang luar negeri dan pembiayaan impor. Namun, yang terbesar digunakan untuk menjaga rupiah agar tidak jatuh terlalu dalam.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...-dinilai-kecil

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Ancaman bui 15 tahun untuk pembunuh dalam tawuran pelajar

- LPS kerek suku bunga pinjaman, bunga kredit bakal ikut naik

- Dimas Kanjeng batal pamerkan soto dan rawon dari balik jubah

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
350
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan