venomwolfAvatar border
TS
venomwolf
Empat Dampak Melemahnya Rupiah, Bisa Picu PHK Massal
"Kalau menaikkan harga jual barang, khawatir persentase pembelinya turun. Akhirnya perusahaan memangkas biaya produksi."


Reza Gunadha | Achmad Fauzi
Selasa, 11 September 2018 | 18:44 WIB

Gerai penukaran mata uang asing di ITC Kuningan, Jakarta, Jumat (29/6) .


Suara.com - Rupiah masih belum digdaya di hadapan Dolar Amerika Serikat. Walau beberapa hari terakhir nilai tukar Rupiah mulai bergeliat naik, posisi nominalnya masih tinggi terhadap Dolar AS.

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, perdagangan Rupiah pada 10 September 2018 berada pada level Rp 14.835 per 1 dolar AS.

Baca Juga : WN Korsel dan PRTnya Jadi Korban Ledakan Apartemen Essence

Level itu meningkat dibandingkan pada perdagangan 7 September 2018, saat setiap 1 Dolar AS seharga Rp 14.884.

Lantas, apa saja dampak dari pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut? Menjawab hal itu, pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, terdapat empat dampak yang dirasakan.

Pertama, jelas dia, pelemahan Rupiah ini akan berpengaruh pada harga bahan pangan yang merangkak naik, terutama barang impor.

Sebab, nilai tukar Rupiah yang lemah menyebabkan biaya impor barang-barang pangan tersebut meningkat, sehingga memengaruhi harga jual di tingkat eceran.

Baca Juga : Intip Stoking Rp 17 Juta Milik Selena Gomez yang Jadi Sorotan

"Meskipun Agustus mengalami deflasi, dilihat per komponen, inflasi volatile food (inflasi komponen bergejolak) sejak Januari - Agustus 2018 secara akumulatif mencapai 3,3 persen lebih tinggi dibanding Januari - Desember tahun 2017 yang hanya 0,71 persen. Ini berarti inflasi pangan harus jadi perhatian serius," kata dia saat dihubungi Suara.com, Selasa (11/9/2018).

Kedua, Bhima menuturkan, pelemahan Rupiah juga berdampak pada harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi.

Dia menjelaskan, kenaikan harga minyak mentah dunia di kisaran USD 75 per barel membuat terjadi penyesuaian harga BBM nonsubsidi.

"Ketiga, bunga kredit akan semakin mahal seiring Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan untuk meredam gejolak Rupiah. Bunga kredit yang naik akan memberatkan masyarakat," tutur Bhima.

Baca Juga : Persipura Taklukkan Sriwijaya FC di Pekan 21 Liga 1

Terakhir, Bhima mengatakan, sisi manufaktur juga akan terdampak. Menurut dia, pelemahan Rupiah ini membuat biaya produksi dan beban utang luar negeri semakin meningkat.

Apalagi, tambah dia, banyak industri yang bergantung pada bahan baku impor. Misalnya, kelompok industri farmasi yang 90 persen bahan bakunya hasil impor.

"Kalau menaikkan harga jual barang, khawatir persentase pembelinya turun. Akhirnya perusahaan memangkas biaya produksi. Ini bisa mepicu PHK," tandasnya.

https://m.suara.com/bisnis/2018/09/11/184446/empat-dampak-melemahnya-rupiah-bisa-picu-phk-massal


Apakah Investor Harus Mengkhawatirkan Perekonomian Indonesia?

Jakarta, CNBC Indonesia -- Ketidakpastian ekonomi global tidak hanya dipicu oleh tindak tanduk Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Krisis mata uang yang menimpa Turki dan Argentina tak pelak telah menimbulkan guncangan.

Di Asia, salah satu negara yang jadi sorotan, adalah Indonesia. Indonesia memiliki masalah dari sisi defisit perdagangan yang terus meningkat dan tumpukan utang luar negeri.

Di atas kertas, pemangku kepentingan Indonesia telah melakukan berbagai langkah tepat untuk meyakinkan pasar. Mulai dari menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga penaikan tarif pajak barang impor.


Lalu, apakah langkah-langkah itu sudah menjawab keinginan pasar? 



"Investor masih belum yakin," tulis Nathaniel Taplin dalam kolomnya di Wall Street Journal edisi 11 September 2018.

Sebagai catatan, rupiah telah anjlok sekitar 10 persen terhadap US$ pada tahun ini. Nilai itu terakhir kali tampak saat krisis keuangan Asia melanda akhir 1990an.

PILIHAN REDAKSI
Awas! Indonesia Dihantui Krisis 2030
Beda Dolar AS Pada 1998 dan Sekarang Menurut DGS BI
Tenang! Pekan Ini Rupiah Tak Akan Sentuh Rp 15.000/US$
Beberapa mengaitkan fakta itu laiknya penyakit menular. Namun, menurut Taplin, ada alasan konkret untuk menahan diri, walau yield obligasi Pemerintah Indonesia terlihat menarik di kisaran 8%.

Di permukaan, ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dari pada Argentina. Utang pemerintah masih aman, yaitu sekitar 29% terhadap PDB.

Selain itu, Indonesia masih memperoleh dana dari ekspor dan itu membantu melunasi utang ke kreditur asing. Utang luar negeri jangka pendek setara 27% dari nilai ekspor per Juli lalu.

Nilai itu, menurut Nomura, jauh lebih rendah ketimbang Argentina (141%) dan Turki (76%).

Taplin menilai Indonesia serupa dengan China dari aspek ketergantungan terhadap BUMN untuk investasi. Namun, keuangan perusahaan pelat merah tidak dalam kondisi baik.

Indonesia, lanjut Taplin, juga terlihat rentan karena merupakan eksportir besar batu bara dan pengimpor besar minyak. Faktor yang pertama amat rentan terhadap perlambatan ekonomi China.

Harga batu bara Indonesia untuk kalori rendah telah jatuh sejak Juni. Sementara harga minyak masih tetap tinggi. Defisit perdagangan Juli 2018 yang tercatat terbesar sejak 2013 sebagian besar dipicu impor minyak, komoditas energi, yang masif.

Menutup kolomnya, Taplin menyampaikan peringatan kepada para investor.

"Indonesia bukan Turki maupun Argentina, tetapi investor berhak untuk khawatir," tulis Taplin. (miq/miq)

https://www.cnbcindonesia.com/market/20180911173712-17-32617/apakah-investor-harus-mengkhawatirkan-perekonomian-indonesia


#2019pulangkankesolo emoticon-Traveller



http://www.siagaindonesia.com/193407/fundamental-ekonomi-lemah-pemerintah-bohong.html
0
1.4K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan