dheabestyAvatar border
TS
dheabesty
Kenapa Para Milenial Enggan Dikategorikan Sebagai Milenial?
Secara definisi, sesungguhnya milenial (disebut juga generasi Y) adalah generasi yang lahir pada tahun 1981-1996. Generasi yang lahir sebelum itu disebut generasi X, sedangkan generasi yang lahir sesudah periode itu disebut generasi Z. Artinya, orang-orang yang per 2018 berumur 22-37 tahun digolongkan sebagai generasi milenial. Mamah muda, sugar daddy, bahkan dosen atau presiden juga bisa disebut milenial, selama mereka lahir di antara periode awal ’80-an dan pertengahan ’90-an. Jadi, kembali lagi ke pertanyaan semula: kenapa para milenial enggan dikategorikan sebagai milenial?



MISINFORMASI

Dari pandangan pribadiku, ketidaktahuan adalah alasan paling genuine kenapa mereka nggak mau mengakui identitas ke-milenial-annya. Sesederhana karena mereka memang nggak tahu kalau mereka termasuk generasi milenial. Mungkin informasi yang mereka dapat perkara milenial ini hanya setengah-setengah, mungkin juga informasi yang didapat keliru. Coba, sebelum ini, berapa banyak dari kalian yang tahu kalau periode kelahiran generasi Y berada di antara tahun 1981-1996? Berapa banyak juga dari kalian yang mengira generasi milenial adalah generasi Tik Tok, generasi yang saat ini masih duduk di bangku SMP, SMA, dan awal kuliah (walaupun yang demikian sebenarnya terhitung sebagai generasi Z)?

Yang kuamati, seringkali milenial dikaitkan dengan stereotip sebagai generasi anak muda yang bobrok. Anak muda yang semuda apa? Nggak jelas. Pokoknya anak muda. Bobrok yang bagaimana? Seperti yang banyak ditulis oleh media barat (yang kemudian dikutip, disadur, atau dijiplak oleh media lokal); bobrok yang minat bacanya rendah akibat serbuan gawai dan era digital yang aduhai. Bobrok yang egosentris, yang kurang etis tapi doyan narsis. Bobrok yang lebih konsumtif ketimbang produktif, dan banyak bobrok lainnya.

Secara nggak sadar, media membentuk persepsi kita–para milenial–bahwa definisi milenial ya anak muda yang perilakunya menyebalkan. Kalau kita, anak muda, masih mengontrol sikap dan nggak melakukan hal-hal buruk, maka kita bukan bagian dari milenial. Persepsi inilah yang akhirnya tertanam di benak kita, bahwa generasi milenial bukan soal umur, tapi perilaku.

Aku suka sebal kalau menemukan pernyataan dari seorang milenial yang menyalahkan milenial lain dan menggeneralisasi kelakuan jeleknya. Dalam hati ingin teriak, “Heiiii halooooo! Ya, Anda yang di sana! Cek lagi akta kelahirannya ya, Anda ini termasuk milenial atau bukan??!!!!” Yep, tanda serunya dibanyakin sebagai bukti betapa kesalnya aku.

Inilah salah satu bentuk misinformasi yang menyebabkan para milenial menolak disebut sebagai milenial. Tapi, ada yang menarik dari survei yang kusebar di Instagram Story. Sebelum menjawab pertanyaanku, seorang teman bertanya. “Kalau tidak mau mengakui, pilih yang mana ya?”

Pernyataannya menarik karena dia sadar betul bahwa ia tergolong milenial, tetapi secara terus terang tidak mau mengakui. Ketika kutanya kenapa, temanku ini menjawab kalau dia nggak ingin dikelompokkan hanya berdasarkan hal yang nggak teratur dan nggak bisa dikontrol seperti umur dan tahun kelahiran. Dari alasan yang dipaparkan temanku, aku mendapat pandangan baru bahwa penolakan label milenial nggak hanya berdasarkan misinformasi dan stereotip buruk yang bikin bete. Tapi juga karena ketidaknyamanan adanya pengkotak-kotakkan kategori.

APA BAGUSNYA MILENIAL?



Mayoritas media yang banyak membahas persoalan milenial adalah media luar. Beberapa media lokal mungkin ada, tapi survei yang dicatutkan pada artikel mereka berdasarkan survei yang dilakukan di luar negeri sana. Akibatnya? Generalisasi berujung stereotip negatif (yang hanya berkiblat pada kebiasaan milenial luar). Katanya, milenial lebih senang menghabiskan uang untuk ngopi cantik dibanding menabung. Katanya, tren traveling meningkat dan retail gulung tikar karena milenial lebih senang membeli pengalaman dibanding membeli barang. Katanya, milenial adalah generasi yang seru untuk dicaci karena tingkah lakunya yang problematis.

Aku sejujurnya nggak setuju dengan media-media yang hanya fokus pada keburukan milenial. Bagiku, milenial ini generasi yang unik. Mereka menikmati pergantian peradaban. Mereka merasakan serunya menggunakan telepon umum koin dan gawai. Mereka mengerti rasanya menunggu surat dari pak pos dan notifikasi dari gebetan. Pergeseran teknologi yang dialami milenial membuat mereka lebih banyak terpapar inovasi baru. Dengan demikian, pengetahuan yang didapat juga lebih banyak. Nggak menampik kenyataan juga, milenial yang mengamini stereotip negatif itu ada. Banyak. Tapi milenial yang oke dan bisa jadi panutan pun nggak kalah banyak. What I’m trying to say is, millennial is not that bad. It’s just that people tend to focus on bad stuff rather than the good one.

Jadi, kalau ditanya, “Kamu termasuk milenial apa bukan?” jawab jujur aja (aku berasumsi pembaca tulisan ini milenial semua). Jangan mengerdilkan milenial seolah-olah kita bukan bagian dari generasi tersebut. Harusnya kita bisa berusaha lebih baik lagi untuk mengubah stereotip buruk yang terlanjur melekat pada generasi milenial, apalagi saat ini jumlah milenial udah lebih dari seperempat jumlah penduduk dunia. Artinya, generasi kita punya andil cukup besar bagi keberlangsungan hidup manusia di tahun-tahun berikutnya. So instead of being bitter about anything, why don’t we all just embrace our millennial status and turn the tables on people’s doubts. Positivism like this might seem like a boring action but, well, this world is already full of negativity. Daripada ikut mengambil peran dalam mengutuk dunia, mending turut berkontribusi dalam memperbaikinya. Seperti apa yang pernah diungkapkan Mahatma Gandhi,

“Be the change you wish to see in the world.”
anasabilaAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan anasabila memberi reputasi
2
11.7K
95
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan