BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menanti putusan MK tentang presidential threshold

Ilustrasi: MK diharapkan segera memutuskan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden
Tak sampai genap sebulan ke depan, masa pendaftaran bakal pasangan calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden akan dimulai. Dalam lampiran Peraturan Komisi Pemilahan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2017, masa pendaftaran itu disebutkan berlangsung 7 hari, sejak 4 Agustus sampai 10 Agustus 2018.

Sejauh ini, baru ada dua nama calon presiden (Capres) yang secara resmi diusung oleh partai politik (Parpol). Yaitu Joko Widodo yang diusung sebagai Capres oleh Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, PDIP, PSI, serta Perindo; dan Prabowo Subianto yang resmi dicalonkan oleh Partai Gerindra pada pertengahan April lalu.

Dari dua nama itu, baru Joko Widodo yang hampir bisa dipastikan memiliki tiket untuk didaftarkan sebagai calon presiden. Hal itu terkait dengan Pasal 222 Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mensyaratkan dukungan 20 persen kursi DPR sebagai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Parpol peserta Pemilu 2014 yang mendeklarasikan Joko Widodo sebagai Capres saat ini mempunyai 52,21 persen kursi di DPR. Sedangkan Partai Gerindra, satu-satu Parpol yang sejauh ini mencalonkan Prabowo Subianto, hanya mempunyai 11,81 persen kursi di DPR.

Namun situasi ini bisa berubah sebab ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu itu sekarang sedang dalam proses gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu adalah untuk kedua kalinya gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden diajukan ke MK.

Sejak pembahasan UU Pemilu, ambang batas pencalonan presiden telah menjadi isu panas di DPR. Isu panas itu pula yang membuat pengesahan Undang-undang Pemilu pada Juli 2017 dilakukan dengan cara pemungutan suara.

Dalam pemungutan suara itu empat fraksi melakukan walkout karena tidak ingin terlibat dalam pemungutan suara itu adalah Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Tak terlalu menunggu lama sejak UU Pemilu disahkan, ketentuan tentang ambang batas pencalonan presiden dalam undang-undang tersebut digugat lewat MK. Pada Januari lalu MK menolak gugatan itu. Ambang batas pencalonan presiden tetap berlaku.

Pasal tentang ambang batas pencalonan presiden itu sekarang kembali digugat. Apa bedanya gugatan kali ini dengan gugatan yang pernah ditolak oleh MK sebelumnya? Pertanyaan serupa juga muncul dalam sidang perdana gugatan tersebut.

"Ini kan sebelumnya sudah diputus. Jadi kalau perkara yang sudah diputus itu kan, kalau anda ingin ajukan, ini harus ada alasan berbeda. Mestinya, sebelum kita diskusikan ke anggota lain, jauh lebih sederhana kalau para pemohon bisa membuat matriks. Kira-kira, apa yang sebelumnya sudah ada dan apa bedanya dengan alasan yang diajukan sekarang? Supaya ini bisa dikontraskan," kata hakim MK Saldi Isra Selasa (3/7/2018) kemarin.

Dalam gugatan terdahulu, yang diajukan oleh Partai Idaman, Pasal 22 UU Pemilu dianggap kedaluwarsa karena menggunakan hasil Pileg 2014 sebagai ambang batas Pilpres 2019. Pasal terebut juga dipandang tidak relevan karena Pileg dan Pilpres 2019 digelar bersamaan; bahkan pasal tersebut juga dinilai diskriminatif karena menghalangi partai politik baru untuk mengajukan calon presiden.

Gugatan tersebut ditolak oleh MK. MK memandang, pasal tersebut tidaklah kedaluwarsa karena undang-undangnya baru saja disahkan oleh DPR tahun lalu, masih relevan untuk memperkuat sistem presidensial, serta dianggap tidak diskriminatif karena tidak ada kaitannya dengan masalah suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA).

Berbeda dengan gugatan terdahulu yang sudah ditolak oleh MK itu, gugatan baru yang diajukan oleh 11 pemohon menyadarkan kepada 9 argumen baru. Salah satu perbedaan mendasar dengan gugatan terdahulu adalah menguji pasal 222 UU Pemilu dengan Pasal 6a ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.

Pasal 222 UU Pemilu berisi penambahan syarat pencalonan presiden. Padahal Pasal 6a ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 itu berisikan perintah terkait dengan tata cara pencalonan presiden; bukan syarat. Itu sebabnya para pemohon memandang Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi.

Kita tentu berharap putusan atas uji materi tersebut bisa dihasilkan dengan segera karena masa pendaftaran paslon presiden dan wakil presiden. Putusan MK atas uji materi tersebut akan sangat memengaruhi kalkulasi partai politik dalam mengusung Capres dalam Pilpres nanti.

Terlebih jika ambang batas pencalonan presiden itu diputuskan nol persen, peta politik Pilpres 2019 bisa berubah dari kondisi sekarang. Terbuka kemungkinan jumlah Capres akan bertambah cukup signifikan. Jika ambang batas pencalonan presiden itu ditiadakan, seluruh Parpol peserta Pemilu 2019 –yang berjumlah 16 itu- bisa mengajukan Capresnya masing-masing.

Kita tahu, di luar nama Joko Widodo Dan Prabowo Subianto, sejumlah Parpol sudah mengangkat wacana untuk mengusung calonnya masing-masing –baik berasal dari kadernya sendiri maupun perseorangan di luar partainya. Agus Harimurti Yudhoyono, Ahmad Heryawan, Anies Baswedan, Amien Rais, Gatot Nurmantyo, Zulkifli Hasan adalah beberapa nama yang muncul dalam wacana Capres.

Meski begitu, penghapusan ambang batas pencalonan presiden memang tidak serta akan membuat jumlah Capres menjadi sangat banyak. Ada sejumlah faktor yang bisa membuat tidak semua semua Parpol mau mengajukan Capresnya masing-masing.

Bukan rahasia, pencalonan presiden tak sekadar adanya calon dan dukungan politik, tapi juga logistik alias biaya yang tidak kecil. Untuk urusan logistik ini, belum tentu semua parpol sanggup.

Apapun putusan MK atas uji materi ambang batas pencalonan presiden nanti, tantangannya ada di tangan Parpol. Para pemilih tentu akan berharap Capres dalam Pilpres nanti bukan semata-mata hadir mewakili Parpol, melainkan pemimpin yang siap menghadapi tantangan dan memiliki visi besar untuk membangun bangsa dan negara ini.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...tial-threshold

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Segera berlakukan larangan koruptor menjadi caleg

- Kritik terhadap DPR tak lagi terancam pidana

- Ketika tersangka korupsi menang Pilkada 2018

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan