BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Garuda minta tarif batas bawah dikaji ulang

Seorang teknisi sedang memperbaiki sayap pesawat milik maskapai Garuda Indonesia di Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Oktober 2017.
Kenaikan harga bahan bakar pesawat (avtur) dan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) belakangan ini membebani neraca keuangan Garuda Indonesia.

Direktur Utama Garuda Indonesia, Pahala Mansury, memohon kepada Kementerian Perhubungan untuk mengkaji kenaikan tarif batas bawah tiket kembali menjadi 40 persen dari tarif batas atas untuk menekan dua dampak tadi.

Menurutnya, tarif batas bawah minimal 40 persen itu bisa menutup biaya pengeluaran perseroan sehingga bisa dialokasikan untuk hal lain seperti peningkatan pelayanan dan pemeliharaan pesawat.

Mengacu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Biaya Penerbangan dan Tarif Penumpang, penentuan tarif batas bawah yang berlaku saat ini adalah sebesar 30 persen dari tarif batas atas.

Aturan tersebut menggantikan Peraturan Menteri Perhubungan (Permen) Nomor 126 Tahun 2015 yang mengatur tarif batas bawah sebesar 40 persen dari tarif batas atas.

Pahala mengaku, Garuda telah menggelontorkan anggaran hingga US $1 miliar (sekitar Rp13,9 triliun) khusus untuk avtur. Anggaran itu setara dengan 33-35 persen dari total biaya operasional Garuda Indonesia.

Pasalnya, harga avtur terpantau tak kunjung turun sejak 2017. Pada periode tahun yang disebut itu, kenaikan avtur tercatat mencapai 29 persen, sementara hingga Mei 2018, harga avtur masih melonjak hingga 11 persen.

Di sisi lain, melemahnya nilai tukar Rupiah telah mengakibatkan pendapatan perseroan turun hingga 4 persen--sayang, Pahala tidak memerinci angkanya lebih jauh.

Sebagai catatan, perseroan dengan kode emiten GMFI mencatat pendapatan operasional pada kuartal I/2018 senilai US $983 juta atau meningkat 7,9 persen year-on year (YoY) dibandingkan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya sebesar US $910,8 juta.

"Kami sudah melakukan hedging (lindung nilai) hingga 35 persen dari total konsumsi bahan bakar kami," sebut Mantan Direktur Strategi dan Keuangan Bank Mandiri itu dalam KOMPAS.com, Senin (11/6/2018).

Perhitungan berbeda diungkapkan Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, Maria Kristi Endah Murni.

Pekan lalu, Maria berujar kenaikan biaya operasional maskapai udara hanya naik 6,67 persen. Sehingga, Kementerian Perhubungan tidak memiliki rencana untuk menaikkan tarif batas bawah angkutan udara.

Sebaliknya, rencana ini akan dipertimbangkan jika biaya operasional maskapai naik di atas 10 persen dalam periode tiga bulan.

Mengutip data Pertamina Aviation, harga avtur di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, per Mei 2018 telah mencapai US $0,60 (sekitar Rp8.740) per liter. Harga itu sudah termasuk biaya pengiriman ke pesawat, namun belum termasuk PPN 10 persen dan PPB 0,3 persen.

Tiga bulan sebelumnya, harga avtur masih di kisaran US $0,56 (sekitar Rp7.580) per liter.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, di sisi lain, mengaku akan mempertimbangkan permintaan kenaikan tarif batas bawah dan atas usai perayaan Lebaran.

"Yang namanya tarif batas bawah itu adalah perhitungan dari sejumlah biaya-biaya yang dijumlahkan menjadi batas bawah dan batas atas. Jadi, perhitungan kembali memang sedang kami lakukan supaya nanti batas bawahnya naik, batas atasnya juga naik," sebut Budi dalam rilisnya, Senin (11/6/2018).
Harga tiket nakal
Sementara itu, selama musim Lebaran 2018 ini, Kemenhub juga akan memantau maskapai penerbangan yang menjual tiket melebihi batas atas yang ditentukan. Hal ini juga berlaku untuk vendor atau paket-paket wisata yang menjual tiket dengan cara menambah biaya-biaya tertentu.

"Kami akan mengklarifikasi uang itu diambil oleh maskapai atau tidak. Kalau diambil, kami akan menutup rute terbang mereka," tegas Budi.

Beberapa hal yang perlu diteliti dalam penentuan harga tiket pesawat adalah jenis-jenis biaya yang dibebankan. Hal ini mengacu pada PM No 14 Tahun 2016 yang sudah disinggung di atas.

Namun, ada pengertian berbeda antara tarif dan harga tiket. Sebab, komponen harga tiket berasal dari tarif yang masih ditambah dengan pajak dan asuransi. Selain itu, tarif juga harus bergantung dengan layanan yang disediakan maskapai.

Untuk maskapai layanan penuh (full service), seperti Garuda dan Batik Air, diperkenankan menjual tarif hingga 100 persen. Maskapai layanan menengah (medium service), seperti Sriwijaya Air dan NAM air diperbolehkan menjual maksimal 90 persen.

Sedangkan untuk maskapai berbiaya rendah (low cost carrier), seperti Lion Air, Citilink, dan AirAsia Indonesia, hanya boleh menjual hingga maksimal 85 persen.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...h-dikaji-ulang

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Manisnya kurma Israel tak terpaut sikap diplomatik

- MRT Jakarta mulai uji integrasi sistem pada Agustus

- PDIP tuding kasus Blitar dan Tulungagung politis

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.1K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan