mukamukaosAvatar border
TS
mukamukaos
#CerpenReligi : Ramadan Yang Terlupakan



 




“Ibu mau kemana? Tarawih lagi? Puasanya, kan, udah kelar, Bu,” tegurku melihat Ibu mengenakan mukena, siap keluar rumah.
Ibu mengangguk. “Iman, sekarang kan baru 15 hari puasa. Kamu lupa, Nak? Yuk, tarawih! Kita berangkat sama-sama.”
“Ibu,” panggilku lembut, “mendingan Ibu sini, deh. Duduk. Kita nonton tv bareng-bareng aja, ya?”
Ibu terdiam sebentar. Beberapa detik kemudian, beliau tersenyum, mengiyakan.


Namaku Iman. Laki-laki. 25 tahun. Lulusan sebuah universitas negeri ternama di Yogyakarta, jurusan seni. Jarang nonton acara tv. Pekerjaanku melukis. Dari hasil penjualan karya-karyaku, alhamdulillah aku dapat mencukupi kebutuhanku bersama Ibu dan adikku. Menggantikan posisi Abah yang telah lama tiada. Abah meninggal saat aku SD. Otomatis, tak banyak kenangan yang bisa kuingat bersama beliau. Namun masih ada satu hal yang selalu kuingat darinya: Abah sedikit pelupa. Sama sepertiku. Adikku, Amin, sekarang kelas 3 di sebuah SMA negeri favorit di Semarang.

Sedangkan Ibu… Ijinkan aku menghela napas berat dulu. Sudah hampir setahun terakhir Ibu mengidap amnesia anterograde. Jenis amnesia dimana penderitanya tidak dapat mengingat kejadian setelah terjadi kecelakaan. Dan satu tahun yang lalu, Ibu mengalami kecelakaan, tepat di hari terakhir bulan Ramadhan, ketika malam takbir. Semenjak itu, bagi Ibu, setiap hari adalah Ramadan. Yang tak akan pernah berujung.

“Bu, ngapain bangun jam segini?” tanyaku di lain hari.
“Wah, kamu sudah bangun? Ibu lagi siapin sarapan buat kita makan sahur.”
“Bu, puasanya udah lewat. Gak ada lagi yang namanya sahur.”
“Koe ki piye tho, Nang? Masih ngantuk? Sana cuci muka! Sekarang itu masih puasa. Orang lebarannya aja tinggal empat hari lagi. Itu artinya sekarang masih sahur.”
“Terserah Ibu, deh! Iman hari ini ndak puasa dulu,” jawabku ketus.
“Iman, kamu harus puasa! Mau sampai kapan kamu ndak puasa? Nunggu adikmu pulang dari tempat nongkrongnya?”
“Ibu… Amin itu sedang nginap di rumahnya Pakdhe. Besok atau lusa dia juga balik. Atau jangan-jangan Ibu lupa ya kalau Amin sedang liburan di sana?”
“Halah, tapi itu bukan berarti kamu bisa absen puasa, ‘kan? Ayok sini makan sahur bareng Ibu!” balasnya kalem sambil mengelap piring.
Aku menghela napas panjang, menggeleng, lantas meninggalkan Ibu yang tengah asyik menata menu santap sahur di ruang makan.


Jangan berpikir aku jengah dengan kelakuan Ibu atau apa, ya? Justru aku prihatin melihat kondisinya. Ibu bertingkah seolah-olah setiap hari betulan bulan Ramadan. Bukannya aku tidak menyukai bulan tersebut. Aku hanya tidak mau Ibu jatuh sakit karena keseringan puasa. Akhir-akhir ini Ibu sering sakit-sakitan, semakin lemah. Rambutnya mulai banyak ubannya. Meski baru 50 tahun, tapi fisiknya terlihat lebih tua daripada usianya.

Beruntung kami memiliki tetangga yang pengertian. Mereka tak pernah menganggap tingkah Ibu ‘berbeda’. Mereka selalu ramah, senang menolong, bahkan tiada bosan mengajak Ibu ‘pergi tarawih’ di masjid.

Ya, setidaknya, masih ada yang peduli dengannya.

“Ibu ngapain bikin ketupat lagi? Di dapur masih banyak, loh,” keluhku melihat Ibu menganyam helai daun kelapa, sedang membuat bungkus ketupat di teras depan.
“Ora opo-opo, Nang. Lebaran, kan, tinggal dua hari lagi. Kita mesti siap-siap. Ibu sengaja bikin ketupat lebih banyak, biar bisa dibagikan ke tetangga-tetangga dan orang-orang yang kurang beruntung.”
Aku terdiam.


Kadang yang dilakukan Ibu ada benarnya. Tapi tidak jarang aku tersulut emosi dibuatnya. Seperti kejadian di siang harinya.

“Bu! Ibu, kok, tega sih buang makanan Iman?! Iman, kan, mau makan siang, Bu!” seruku mendapati satu porsi bakso yang kubeli dibuang Ibu di depan mataku.
“Iman dengerin Ibu! Sekarang bulan puasa. Umat muslim yang mampu WAJIB berpuasa. Dan Ibu sebagai orangtuamu, ndak kepingin berdosa gara-gara kelakukan kamu!” tegasnya.
“Kelakuan Iman yang bagaimana sih, Bu?” balasku. “Lagian Ramadan itu udah lewat! Selesai! END! Rampung! Kelar! Justru Ibu yang berdosa gara-gara bikin Iman kelaperan, ditambah buang-buang makanan!” Suaraku meninggi.
“Astaghfirullah, Iman! Mbok ya ingat, sekarang masih bulan Ramadan dan lebaran tinggal dua hari lagi!”
“Ibu yang seharusnya ingat! Apa, sih, susahnya mengingat? Emangnya Ibu udah mulai pikun?! Andai Amin di rumah, dia pasti juga bakal ngeluh sama kaya aku!”
Ibu tidak membalas argumenku. Dia hanya mengelus dada sambil menggumam astaghfirullahal’adzim.


Aku tidak menampik. Mengurus Ibu yang menderita amnesia itu gampang-gampang susah. Gampang, karena Ibu masih bisa berkomunikasi dengan baik. Namun susahnya kalau dia mulai ngotot. Posisiku sebagai anak serba salah. Mau melawan salah, tapi kalau dibenarkan juga rasa-rasanya kurang tepat. Aku pun tidak pernah bermaksud membentak atau meninggikan suaraku padanya. Hanya saja, kadang emosi membuatku buta.

Aku putuskan makan di luar. Membiarkan Ibu bercengkerama dengan Bu Hilda, tetangga, yang kebetulan berkunjung ke rumah.

****

“Ibu yang harusnya ingat! Apa, sih, susahnya mengingat? Emangnya Ibu udah mulai pikun?! Andai Amin di rumah, dia pasti juga bakal ngeluh sama kaya aku!” bentak Iman.
Saya terdiam. Tidak membalas. Hanya mengelus dada, menahan rasa sakit dalam dada yang menghujam akibat kata-kata putraku.


Nama saya Ratna. Ibunya Iman. Barangkali Iman sempat menceritakan sedikit tentang dirinya dan keluarga kecilnya. Benar. Semua itu benar. Abahnya meninggal saat Iman kelas 5 SD, dan kami pernah mengalami kecelakaan. Kami: saya, Iman dan Amin.

Kejadiannya begini. Dua hari setelah Idul Fitri, kami berencana mengunjungi rumah Pakdhe di Solo. Karena Iman satu-satunya yang dapat menyetir, maka dia yang saya pasrahkan untuk menjadi supir.

Perjalanan dari Semarang ke Solo tidaklah lama, kalau tidak macet. Paling lama 4 jam. Saya maunya berangkat siang hari. Di samping hari masih cerah, tubuh juga dalam kondisi yang baik. Tetapi rupanya Iman kepingin berangkat malam hari. “Biar cepat sampai,” jelasnya.

Sempat terjadi perdebatan gara-gara hal ini. Namun melihatnya ngambek membuat naluri saya sebagai seorang ibu, luluh. Dengan berat hati saya iyakan keinginannya.

“Bu Ratna, tadi kenapa Iman teriak-teriak? Ada masalah?” tanya Bu Hilda, sesaat setelah Iman keluar rumah.
“Ndak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa dibentak-bentak.”
“Yang sabar, ya, Bu?”
“Iya.”


Siang ini kebetulan Bu Hilda, tetangga, berkunjung ke rumah. Beliau ingin diajari caranya membuat bungkus ketupat. Lebaran tinggal dua hari lagi, dan saya ndak pernah mau ketinggalan momen ini. Dua hari lalu saya pun sudah belanja kebutuhan lebaran. Dan di hari itu juga, saya dimarahi Iman karena menurutnya hal itu ndak dibutuhkan lagi.

“Ngapain sih Ibu beli beginian? Lebaran udah lewat, Bu!”
“Ndak apa-apa. Lebaran, kan, tinggal beberapa hari lagi. Kita harus menyambut hari itu dengan suka cita.”
“Bu, harus berapa kali Iman bilang, puasanya udah kelar! Lebaran juga udah lewat! Ibu sudah pikun, ya?” bentaknya.
Saya terkejut. Urung membalas. Hanya mengelus dada, coba meredam rasa sakit akibat kata-kata kasar putraku.


Saya dan Bu Hilda asyik menganyam helai daun kelapa di teras depan. Sesekali kami bertukar cerita tentang semuanya. Bu Hilda ini terkenal jago masak. Sedikit-sedikit saya juga belajar darinya. Bu Hilda orangnya humoris. Paling tidak, bersama beliau membuat rasa sakit yang sempat saya dera bisa teralihkan.

“Kata dokter, bagaimana kondisinya sekarang, Bu? Ada kemajuan?” tanya Bu Hilda.
Saya menghela napas panjang. Menggeleng. “Belum ada kemajuan yang berarti.”
“Tidak terasa sudah sepuluh tahun sejak kejadian itu, ya, Bu?”
Saya mengangguk lemah.
“Kasihan Iman. Ingatannya harus terhenti gara-gara kecelakaan itu. Bu Ratna yang sabar, ya?”
“Terima kasih, Bu. Doakan saja semoga Iman cepat sembuh dan ingat semuanya.”


Kecelakaan sepuluh tahun itu masih jelas terbayang. Saya masih ingat rasa sakitnya. Bahkan, ndak jarang saya menangis menyesali kebodohan saya karena merestui keinginan Iman berangkat malam hari. Ah, andai waktu dapat diulang.

Saya juga masih bisa mengingat detail kejadian. Malam itu hujan rintik-rintik. Jalanan sedikit lengang karena arus mudik mulai menurun. Iman asyik mengemudi sambil bersenandung, Amin yang duduk di kursi sebelahnya terlelap, sedangkan saya duduk di kursi tengah.

Waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Hujan masih mengguyur. Mobil memasuki tol. Suasana kian sepi. Hanya terlihat beberapa mobil dan truk yang melintas. Di luar sana, cahaya yang berasal dari rumah-rumah warga bak ribuan kunang-kunang yang menemani perjalanan kami.
Malam kian larut. Akhirnya kami tiba di pintu keluar tol. Setelah membayar, Iman melajukan pelan mobil milik Abah menuju perempatan di depan.

“Sepi banget, ya, Bu?” katanya.
“Iya, tumben.”


Lampu lalu lintas menyalakan warna hijau, itu artinya jalur kami diperbolehkan bergerak setelah hampir satu menit terhenti. Entah darimana datangnya, ketika mobil sedang melaju, sebuah truk tiba-tiba meluncur dan menghantam mobil kami dengan keras. Mobil yang kami tumpangi terpental hebat dan terguling jauh. Tubuh kami seperti dikocok. Tak henti-hentinya saya mengucap, “Allahu Akbar!”.

Saya masih sadar sewaktu mobil berhenti berguling. Saya histeris melihat kondisi Amin yang tubuhnya penuh darah, kepalanya hancur. Sedangkan Iman tak sadarkan diri dengan posisi menggantung terbalik karena sabuk pengamannya tak terlepas. Rasa sakit di sekujur tubuh tidak mengurungkan usaha saya mengeluarkan anak-anak. Detik berikutnya, terdengar suara-suara teriakan. Beberapa warga datang menolong kami. Saya dan Iman berhasil dikeluarkan dan menepi. Tepat di saat itu, mobil kami meledak, bersama jasad Amin yang terjebak di dalamnya.

Iman mengalami koma beberapa hari di rumah sakit. Ketika sadar, yang diingatnya adalah hari sebelum terjadinya kecelakaan. Dokter menyebutnya amnesia anterograde. Sudah sepuluh tahun Iman menderita penyakitnya. Dan selama sepuluh tahun, yang ia ingat hanya lebaran, adiknya yang sedang berlibur di rumah Pakdhe, juga usianya yang ia pikir masih 25 tahun.

“Wah, terima kasih Bu Ratna. Sekarang saya jadi bisa membuatnya. Ternyata gampang, ya?” kata Bu Hilda sembari memamerkan bungkus ketupat hasil karyanya.
“Iya, sama-sama, Bu. Senang bisa berbagi.”
“Kalau begitu, saya pamit pulang dulu, ya, Bu? Nanti kalau saya lupa, saya datang ke sini lagi. Hehe.”
“Iya, Bu.”
“Ya sudah.” Bu Hilda bangkit. “Saya selalu berdoa semoga Iman cepat sembuh dari penyakitnya. Supaya Ibunya tidak dibentak-bentak melulu.”
“Amin. Terima kasih, Bu.”
“Penyakit apa?!” Tak disangka, Iman tiba-tiba muncul dengan ekspresi penuh tanya.
****


Sialan! batinku kesal gara-gara Ibu. Padahal akhir-akhir ini susah sekali cari makan siang, eh, sekalinya dapat malah dibuang! Ngehe! Aku menarik napas dalam-dalam. Sabar, Man. Punya Ibu yang pikirannya berhenti emang cobaan.

Aku melangkah menuju warteg baru di dekat rumah. Sesampainya di sana, terlihat seorang pelanggan yang tengah menikmati santap siangnya. Menu yang tersedia pun cuma sedikit. Ah, positif saja. Mungkin sudah habis terjual.
Dengan segera aku memesan satu porsi nasi rames beserta es teh manis. Tiba-tiba,

“Om, kok, gak puasa, sih?” Seorang anak kecil menyapaku.
“Puasa?” tanyaku tak mengerti.
“Iya, Om. P-u-a-s-a. Gak boleh makan sama minum.”
Kemudian seorang pria muncul dan langsung menegur anak tersebut. “Etra! Jangan gangguin Om-nya! Aduh maaf, Mas. Anak saya emang suka ceplas-ceplos.”
“Iya, ndak apa-apa, Mas.”
Hening sejenak.
“Eh, kamu Iman, kan? Iman Mahardika?”
Aku mengangguk. Siapa ya?
“Ini aku, Rama, temen kuliah kamu!”
“Oh… Rama? Iya, aku ingat! Piye kabare?”
“Apik! Kamu sendiri?”
“Alhamdulillah,” balasku. “Ini siapa, Ma? Saudara?”
“Saudara? Ini anakku, Man. Kenalin, Etra, sekarang kelas 4, loh.”
Keningku spontan mengerut. “Tunggu sebentar. Kelas 4? Berarti dia… umur 10 tahunan, dong?”
Rama mengangguk. “Kenapa, Man?”
Aku tergelak. “Walah, kamu nikah umur berapa? Lima belas? Kok, aku gak pernah dikasih tahu, sih?”
Rama terkesiap. “Maksudnya?”
Aku mendecak. “Jiah, berlagak gak ngerti segala. Sekarang, kan, kita 25 tahun. Terus kamu bilang anakmu 10 tahun. Berarti kamu nikah umur 15, kan?”
“Kamu gila apa gimana sih, Man? Kita ini udah 35 tahun kali. Haha. Aku tahu, nih. Kamu pasti belum siap tua, kan? Makanya ngaku-ngaku 25. Hahaha.”
Aku terkejut, tapi urung membalas. Masa sih?
“Wuih! Hp kamu bagus banget! Pasti mahal, ya?” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Ah, gak juga, kok. Omong-omong, aku minta nomor WA-mu, Man. Biar kita bisa kontek-kontek lagi.”
“WA? Apa itu?”
Dapat kulihat rona perubahan di wajah Rama. “WA – whatsapp. Masa kamu gak tahu?”
Aku menggeleng. Makanan apa itu?
Tahu-tahu sang pemilik warteg menceletuk, “Percuma ngomong sama dia, Mas. Orang dia kena amnesia.”
“Siapa, Bu?” tanyaku.
“Situ, lah! Emang siapa lagi?”
Tak bisa kugambarkan betapa terkejutnya aku.


Melihat ketidakpercayaanku, Pemilik Warung lantas menceritakan semuanya. Sebelumnya aku tidak mengenal beliau, sampai akhirnya dia mengaku sebagai tetangga. Dia pindah tepat setelah – yang katanya – keluarga kami mengalami kecelakaan.

Berulang kali aku berusaha mengelak. Tetapi berulang kali pula dia meyakinkan. Semakin banyak cerita yang beliau sampaikan, kepalaku perlahan terasa berat. Lalu pusing yang teramat sangat mulai menjalar. Tak ingin lama-lama, aku bergegas berlari pulang. Bertanya pada Ibu.

Ini tidak mungkin!


Sepanjang jalan, sekeras apapun aku mengeyahkan cerita tadi, sakit di kepalaku malah kian menyiksa. Aneh memang. Karena setahuku hanya Ibu yang mengalami kecelakaan dan Amin sedang liburan di rumah Pakdhe, bukannya meninggal!

Sakit di kepalaku semakin tak terelakkan. Tubuhku limbung dan kepalaku tidak sengaja terantuk tembok gapura. Aku jatuh terduduk sambil mengerang menahan sakit.

Di saat itulah, sekelebat bayangan muncul dalam kepalaku; suasana malam, di dalam mobil, dan sebuah truk. Semakin lama, bayangan-bayangan tersebut membentuk rangkaian cerita. Makin lama makin jelas. Allahu Akbar!

Aku ingat!


“Ibu,” ucapku lirih dan berlari pulang. Di depan rumah, aku melihat Ibu masih bersama Bu Hilda. Sayup-sayup aku mendengar percakapan mereka. Cerita demi cerita keluar dari Ibu. Tentang kecelakaan, tentang Amin yang telah tiada, hingga kelakuan bejatku padanya. Kedua mataku terasa panas ketika Bu Hilda yang hendak pamit berkata,

“Saya selalu berdoa semoga Iman cepat sembuh dari penyakitnya. Supaya Ibunya tidak dibentak-bentak melulu.”
“Amin. Terima kasih, Bu,” jawab Ibu.
Aku yang tak sanggup lagi menahan seluruh rasa, mendekati mereka.
“Penyakit apa?!” tanyaku.
Ibu dan Bu Hilda saling berpandangan. Mereka sepertinya terkejut dengan kehadiranku. Sebelum Ibu sempat menjawab, aku bergerak, bersujud di kaki beliau. Menangis tersedu. Meminta maaf atas kekhilafan yang selama ini anaknya perbuat.
Ibu, sambil menangis memintaku bangun. Namun aku kekeuh meminta maaf.
“Maafin, Iman, Bu. Selama ini Iman sudah menyakiti hati Ibu. Iman minta maaf, Bu.”
“Ndak perlu minta maaf. Kamu tidak salah, Nak. Kamu tidak pernah salah,” kata Ibu di sela tangis.
“Tapi Iman sering bentak-bentak Ibu, sering marahin Ibu, sering berbuat yang enggak-enggak. Iman minta maaf, Bu. Iman merasa durhaka.”
“Iman,” Ibu mengangkat tubuhku, dihapusnya air mataku, “Sebelum kamu minta maaf, Ibu sudah memaafkan kamu.”
Tidak ada kata tepat yang mampu keluar dari bibirku selain, “Terima kasih,” dan memeluk beliau erat.

*****


Quote:





Story & Photoshop by Mukamukaos
Referensi Amnesia Anterograde

Diubah oleh mukamukaos 11-06-2018 09:12
doctorkelinciAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan doctorkelinci memberi reputasi
2
1.3K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan