mangyudi79Avatar border
TS
mangyudi79
Dia Hijrah




Aku bukanlah wanita yang mudah berpindah-pindah hati. butuh waktu lama untukku move on jika sudah kehilangan sesuatu. Aku juga bukan wanita yang mudah melepaskan sesuatu begitu saja dengan ikhlas. Aku bukan wanita religius yang selalu taat pada agamanya, Aku juga bukan wanita yang memutuskan kekasihnya untuk hijrah pada penampilanku dengan mejadi ukhti-ukhti masa kini. Menggunakan hijab longgar atau cadar, menghapus semua foto beraurat dan menggantinya dengan foto penampilanya setelah hijrah kemudian meposting hal-hal bertema dakwah untuk menasehati orang lain melalui akunnya. Aku hanya wanita biasa dengan hijab yang biasa-biasa, dan aku memiliki seseorang yang disebut dengan pacar.

pria itu bernama Indra. Dua tahun lebih tua dariku dia juga teman masa kecilku ketika aku masih SD. Cinta yang pertama bersemi ketika putih biru masih menjadi statusku. Kemudia cinta itu berbuah ketika aku memasuki tahun kedua di putih abu.
Malam itu hawanya dingin, kami juga berkeringat dingin. Peluh berbulir-bulir mulai berkejaran dari atas. Meleleh dari dahi berujung di pipi. Berdebar, dalam dada bahana. gejolak cinta masa muda diberanda rumahku.


“Nurma, Maaf ya sebelumnya tiba-tiba aku mengirimi sms menyuruhmu untuk keluar rumah, ada yang ingin aku bicarakan”
Aku hanya terdiam gemetar. Tidak biasanya dia seserius ini ketika mengajakku bicara. Setahuku dia adalah orang yang humoris dan jauh dari kata serius. Tak ada kecurigaan berlebihan dari orang tuaku, karena mereka sudah mengenal Indra dari kecil. Terlebih lagi ibuku sudah tahu bagaimana perasaanku yang sesungguhnya pada Indra. Tak ada penolakan dari nya ketika aku meminta izin untuk bicara dengan Indra di teras rumah meski sesekali kurasakan ibu mengintip dari balik tirai ruang tamu di belakangku.

Tanpa menungguku bicara Indra melanjutkan. “Kemarin Dita bilang sama aku kalo kamu sebenernya sudah lama menyukai aku. Benar nggak?”


Keringat dingin semakin deras berpeluh di dahiku. Rasa malu, takut, gelisah dan kesal pada si Dita temanku bercampur dalam dada sampai aku tak mampu untuk berkata apapun. Sejenak suasana menjadi hening tanpa ada sepatah katapun dari ku maupun indra.

“Nur,” tanpa menunggguku menjawab indra melanjutkan “kalo itu benar bagaimana kalo kita membuat sebuah komitmen? Soalnya aku juga punya perasaan yang sama. Hanya saja aku belum mempunyai nyali untuk bicara. Aku takut di tolak. Tapi setelah mendengar ucapan Dita kemarin aku memberanikan diri. Apapun jawaban kamu aku sudah siap menerimanya” Malam itu, kami resmi menjalin sebuah status yang namanya pacaran. Betapa rasanya seperti mimpi. Cinta yang ku pendam selama beberapa tahun ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

Peraturan orang tuaku tak terlalu ketat terhadap hubungan kami. Tak banyak larangan untuk kami jika kami ingin keluar bersama asal tahu batas. Kami sendiri bukanlah orang yang bisa memanfaatkan hal tersebut. Kami memilih untuk bertemu di teras rumahku, dengan sekedar ngobrol dan nge-teh bersama setiap malam minggu. Atau malam-malam lainya. Karena jarak rumah kami yang dekat apel pun tak mesti malam minggu saja. Lepas dari semua itu hubungan kami jauh dari kata bersentuhan fisik. Pernah sekali disuatu malam dia bilang “kamu jangan takut, aku akan selalu menjaga dan menghormati kamu aku tidak akan sedikitpun menyentuhmu sampai saatnya nanti tiba.”
Kata-kata itu yang membuatku selalu mengingatnya. Aku merasa bahwa aku sangat dihargai dan dihormati sebagai perempuan, meski saat itu aku bukan wanita berhijab.

Hampir tiga tahun hubungan kami berjalan dengan segala kenangan indah dan berharga. Helai-demi helai benang sudah kami rajut dan kini sudah menjadi sebuah kain berenda yang nampak indah. Namun keindahan itu tak bertahan lama. Ketika seminggu sebelum lebaran selepas magrib. Pria tinggi dan kurus yang sangat ku cinta itu mengirim pesan dan memintaku keluar rumah untuk berbicara denganya. Di ufuk barat, langit memerah. Matahari hampir sempurna bersembunyi, malam semakin pekat, dan, sesekali hanya angin yang menggesek ranting-ranting lemah di atas bayangan kami yang memanjang.

Didepan pagar tampak sosoknya dengan baju koko berwarna biru muda dan masih menggunakan kain sarung. “Nur maaf ya tiba-tiba menyuruhmu keluar” .

Aku mempersilahkanya duduk kemudian mengambilkan air dan beberapa jenis camilan untuknya. Aku sangat gelisah. Ada apa ketika tak seperti biasanya dia apel dengan cara seperti ini. Biasanya dia langsung masuk dan mengetuk pintu rumahku. bahkan sekali-kali dia memberi kejutan dengan datang tanpa memberi tahuku sebelumnya. Apapun dibawanya. Kadang dia membawa mangga dari pohon di depan rumahnya, atau dia membawa serenteng kwaci untuk camilan, bahkan dia juga pernah membawa tugas kuliahnya ketika apel. Tapi malam itu, mengapa seperti ada yang lain. Terlebih lagi beberapa hari sebelumnya aku merasa bahwa Indra sedang mengindariku. Aku hanya memandang dingin ke pelupuk mata Indra.

“Aku ingin hijrah” ujarnya.

Sungguh aku tak mengerti apa maksud dibalik kata-kata itu. Hijrah? Hijrah apa? Pindah rumah? Atau apa? Aku bertanya-tanya dengan segala keheranan yang mendidih di dadaku.

“hijrah?” kataku. Dan ia mengangguk.

Kemudian ia menarik nafas dan melanjutkan “Aku hijrah, aku sadar apa yang kita jalani selama ini adalah hal yang salah. Maafkan aku. Aku harus mengakhiri hubungan ini”

“Apa yang salah? Toh selama ini kita pacaran dengan sehat. Bukanya sama saja dengan ta’aruf bersentuhan fisikpun kita tidak pernah bukan?” aku membantah berusaha menyanggah argumennya.

“ta’aruf? Nur seharusnya kita malu sama Allah mengatasnama kan hubungan kita dengan kata ta’aruf. Kita ngobrol berduaan, kita saling berpandangan, saling mengagumi, kita saling berkirim pesan dengan kata-kata romantis, kita telefonan dengan kata-kata rindu. Itu kamu samakan dengan ta’aruf?” kata-katanya gemetar.

“hubungan kita lagi hangat-hangatnya. Masa mau di akhiri seperti ini? Pasti ada jalan lain Kak. Aku sangat menyayangimu” mataku mulai berkaca-kaca. Sungguh aku tidak bisa menerima alasanya memutuskan hubungan denganku.

“Aku juga sama. Aku begitu menyayangimu. Tapi aku juga harus melindungimu. Aku tidak bisa menjalani hubungan seperti ini lagi. sementara aku belum siap untuk segera menikahimu mengingat tanggung jawabku masih banyak dan sekolahmu juga yang belum selesai”.

“bohong. Pasti ada wanita lain. Dan hijrah kakak jadikan alasan untuk memutuskan hubungan denganku” Air mataku mengajukan pertanyaan.

“Tidak. Sungguh percayalah padaku. Ini semua demi kebaikan kita. Percayalah jika Allah menghendaki, kita akan dipersatukan dengan caranya yang lebih indah, kita tidak pernah tahu apa yang akan kita alami di masa depan bukan? Percaya padaku”

Aku tak berdaya lagi menghadapi segala argumennya. Aku mengalah dan menerima semua keputusanya. Setelah mengobrol dan berpamitan dengan orang tuaku, dia meminta maaf dan beranjak pulang. Kulihat ia semakin menjauh dan perlahan punggungnya semakin hilang ditelan gelap malam. Tak ada lagi tenaga bagiku untuk sekedar mencegahnya pergi. Hati kecilku berharap agar dia datang kembali dan menarik semua ucapanya. Berharap itu hanyalah candaan seperti kebiasanya berkelakar sebelumnya. Tapi semakin kutunggu tak ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Aku menangis sedemikian hebat.


Spoiler for for nurma:
Diubah oleh mangyudi79 01-06-2018 17:36
anasabilaAvatar border
fat_bastard85Avatar border
fat_bastard85 dan anasabila memberi reputasi
1
16.3K
127
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan