ba4425vtAvatar border
TS
ba4425vt
Ringgit dan Baht Perkasa Terhadap Dolar AS, Kok Rupiah Loyo?
https://www.cnbcindonesia.com/market/20180518123931-17-15514/ringgit-dan-baht-perkasa-terhadap-dolar-as-kok-rupiah-loyo


Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini bergerak melemah. Sepanjang tahun pun rupiah tidak bertaring di hadapan greenback

Hari ini, Jumat (18/5/2018), US$ 1 di pasar spot pada pukul 12:00 WIB berada di Rp 14.145. Rupiah melemah 0,7% dibandingkan penutupan hari sebelumnya. 

Sepanjang tahun ini, rupiah sudah melemah 3,7% terhadap dolar AS. Di antara mata uang negara-negara ASEAN, kinerja rupiah jadi salah satu yang paling parah. Rupiah hanya lebih baik ketimbang peso Filipina. 





Reuters






Untuk membendung depresiasi lebih dalam Bank Indonesia (BI) kemarin menaikkan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%. Diharapkan kebijakan ini bisa memancing aliran modal untuk masuk ke Indonesia dan memperkuat rupiah. 



Namun kebijakan tersebut belum mampu menolong rupiah, setidaknya sampai saat ini. Rupiah justru melemah, karena sentimen negatif eksternal ternyata lebih dominan. 



Mata uang global memang cenderung tertekan tahun ini. Hanya sedikit yang bisa selamat dari amukan dolar AS, yang memang garang. Ini terlihat dari Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia, naik 1,43% sejak awal tahun. 



Reuters






Menjadi menarik ada negara ASEAN bisa mengirimkan wakilnya ke jajaran mata uang yang bisa menguat terhadap dolar AS. Mereka adalah ringgit Malaysia dan baht Thailand yang masing-masing terapresiasi 2% dan 1,6% sejak awal tahun. 


Mengapa kedua mata uang ini bisa menguat, sementara rupiah lesu?


Transaksi Berjalan Adalah Kunci

Untuk menjawab pertanyaan ini, paling dekat adalah melihat transaksi berjalan yang menggambarkan penerimaan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor perdagangan ini lebih bertahan lama (sustainable) sehingga bisa diandalkan dalam menyokong nilai tukar ketimbang arus modal portofolio di pasar keuangan, yang sering disebut dengan hot money.

Pada kuartal I-2018, transaksi berjalan Indonesia masih defisit sebesar US$ 3,9 miliar. Ini merupakan defisit terburuk sejak 2013.

Penyebab anjloknya transaksi berjalan adalah kinerja ekspor yang kurang mengesankan. Net ekspor turun lebih dari 50% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini karena ekspor Indonesia masih sangat mengandalkan komoditas, utamanya batu bara dan minyak sawit mentah (CPO).


Tahun ini, harga CPO sudah turun 3,22% sementara harga batu bara anjlok 8,39%. Ditambah lagi India menerapkan bea masuk untuk CPO yang semakin menekan permintaan komoditas ini.

Pelemahan kurs tidak banyak membantu ekspor, karena ekspor masih didominasi oleh komoditas. Ekspor komoditas lebih dipengaruhi oleh harga dan permintaan internasional, bukan perkembangan kurs.

Sementara Malaysia pada kuartal I-2018 menikmati surplus transaksi berjalan sebesar US$ 3,7 miliar. Berbeda dengan Indonesia, ekspor Malaysia banyak berupa produk manufaktur sehingga memiliki keunggulan kompetitif.

Ekspor Malaysia didominasi oleh perangkat dan produk elektronik, dengan pangsa 37,1%. Ekspor produk ini naik 1,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Jadi dalam kasus Malaysia, fundamental dalam negeri yang kuat menjadi penyokong apresiasi ringgit. Transaksi berjalan Malaysia mampu mendukung ringgit, sehingga bisa bertahan terhadap gejolak eksternal.

Thailand sebenarnya lebih oke lagi, karena bisa membukukan surplus transaksi berjalan hingga US$ 5,7 miliar. Seperti halnya Malaysia, Thailand pun mengandalkan manufaktur sebagai penopang ekspor meski punya komoditas yang melimpah seperti beras atau holtikultura.

Contohnya pada Maret 2018. Total ekspor Thailand tercatat US$ 22,06 miliar. Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah produk-produk elektronik yang menyumbang 15,82%. Kemudian disusul produk otomotif dengan kontribusi 15,37%.

Menilik apa yang terjadi di Malaysia dan Thailand, Indonesia perlu meningkatkan kualitas ekspor ke arah manufaktur. Ekspor manufaktur lebih punya daya saing, dan nilai tambahnya dinikmati di dalam negeri. Ekspor manufaktur juga lebih diuntungkan kala nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, karena punya keunggulan kompetitif.

Oleh karena itu, kuncinya adalah industrialisasi. Dalam era digital seperti sekarang, industrialisasi mungkin terkesan kuno. Namun Indonesia masih membutuhkannya. Harus diakui industrialisasi Indonesia belum tuntas sehingga perlu digenjot lagi.

Kala industri nasional bangkit, maka ekspor Indonesia akan naik kelas tidak lagi mengandalkan komoditas. Dengan begitu, ekspor lebih berkualitas dan nilainya pun naik. Ketika nilai ekspor naik, maka defisit transaksi berjalan diharapkan berkurang atau bahkan bisa surplus. Saat transaksi berjalan Indonesia membaik, maka rupiah yang stabil sepertinya tinggal menunggu waktu




YANG SALAH PASTI ASENG INI, MAU JATUHAKN CITRA JOKUI AJA LO
0
9.8K
129
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan