iorveth
TS
iorveth
Beda Nasib Wiranto dan Prabowo Usai Soeharto Tumbang

Wiranto (kiri) dipertahankan oleh Presiden BJ Habibie, sementara Prabowo (kanan) dipecat sebagai Pangkostrad. (REUTERS)

Jakarta, CNN Indonesia -- Sehari pascapenembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, Rabu pada 13 Mei 1998, Jakarta mulai membara. Penjarahan dan pembakaran toko-toko meluas di sudut-sudut kota.

Masuk ke Jakarta adalah hal yang sukar. Sebab, kerumunan massa tumpah ke jalan dan tentara memblokade jalan-jalan utama ibu kota.

Dewan Pakar The Habibie Center Indria Samego mengatakan pagi itu ia bersama sejumlah rekannya memenuhi undangan diskusi di Mabes ABRI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (14/5/1998). Kabar meletusnya kerusuhan di Jakarta didapat Indria saat diskusi tersebut tengah berlangsung.

Hadir dalam diskusi di Mabes TNI Cilangkap itu sejumlah akademisi, tokoh masyarakat, dan sejumlah jenderal. Yakni, Salim Said, Nurcholis Madjid, Ryaas Rasyid, Eep Saifullah, Letnan Jenderal Hari Sabarno, dan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Diskusi kami di Cilangkap itu berhenti, Jakarta membara. Saya enggak jadi ke tempatnya Fadli Zon di Jalan Suwiryo, karena Jakarta tertutup oleh massa. Tentara juga menutup," kenang Indriya, saat ditemui CNNIndonesia.com, pada Maret.

Salah satu pembicaraan yang ia ingat dalam diskusi itu adalah pernyataan SBY yang menyatakan bahwa Presiden Soeharto mempercayakan kewenangan tertentu kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal Wiranto sesuai prosedur yang ada.

"Jadi ada kompromi tentara tidak mengambil tindakan represif kalau gerakan mahasiswa tidak menuju istana, kalau di DPR saja enggak apa-apa, Kalau masuk [jalan] Sudirman-Thamrin akan bahaya," kata dia.

Kerusuhan kala itu sudah tak terbendung. Di saat yang bersamaan, Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, untuk pertemuan KTT G-15, 13-14 Mei. Tak diketahui secara pasti keberadaan Jenderal Wiranto kala itu.




Sore harinya, sejumlah tokoh menyambangi Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Makostrad), Gambir, Jakarta Pusat.

Para tokoh yang hadir di antaranya (almarhum) Adnan Buyung Nasution, (almarhum) WS Rendra, Setiawan Djodi, Bambang Widjojanto yang saat itu menjabat Direktur YLBHI, dan tokoh lainnya. Kehadiran mereka untuk menanyakan situasi Ibu Kota yang dilanda kerusuhan.

"Ternyata di Makostrad itu sudah ada tokoh-tokoh, berkumpul di situ mau mendiskusikan bagaimana keadaan. Nah saya hadir di dalam pertemuan sore hari itu," ungkap Fadli Zon. Ketika itu, ia merupakan Direktur Eksekutif Center for Policy and Development Studies (CPDS).

Fadli mengatakan pada hari itu dirinya berencana membuat diskusi yang membahas agenda reformasi. Ia mengaku mengundang Indria. Namun, diskusi batal digelar lantaran kerusuhan terus meluas. Menurut Fadli, tokoh Reformasi Amien Rais saat itu sempat datang ke kantornya.



Fadli memutuskan berangkat ke Makostrad menemui Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad. Ia mengaku bahkan harus menumpang panser lantaran kendaraan yang dirinya tumpangi turut terkena imbas kerusuhan di Cawang. Prabowo sendiri datang belakangan ke Makostrad.

Menurut dia, Prabowo saat itu tengah bersama Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin dan Fahmi Idris serta Mari Elgadri tengah berkeliling Jakarta meninjau titik kerusuhan. Fadli menyebut pertemuan baru digelar selepas Magrib.

Tak ada hasil dalam pertemuan itu. Menurut Fadli, pertemuan itu hanya ingin mengonfirmasi soal kerusuhan yang pecah di Jakarta kepada Prabawo, yang dianggap para tokoh sebagai figur sentral di militer.



"Mereka yang datang itu enggak ada janjian, tidak diundang. Mereka mau nanya ini keadaan gimana. Enggak ada hasil, itu kayak nerima tamu aja, ngobrol biasa. Itu bukan pertemuan yang diagendakan, yang menginisasi ini bang Buyung," ujarnya.

Bambang Widjojanto membenarkan adanya pertemuan dengan Prabowo di Makostrad saat kerusuhan ketika itu. Pria yang disapa BW itu mengatakan pertemuan dengan Prabowo untuk menanyakan kerusuhan yang melanda Ibu Kota dan menyampaikan harus ada yang bertanggung jawab.



Salah satunya masyarakat sipil minta supaya ini situasi kaos ini tidak bisa terlalu lama terjadi. Kedua harus ada orang pimpinan siapa pun yang mulai memimpin, memberi arah. Jadi itu saja sebenarnya," katanya, kepada CNNIndonesia.com akhir April.

BW mengaku saat itu diminta mendampingi mendiang Adnan Buyung. Apalagi, posisinya saat itu adalah pimpinan YLBHI yang menjadi salah satu kantong pergerakan mahasiswa.

"Saya diminta ngawal bang Buyung karena posisi saya kan ketua dewan pengurus YLBHI. Pada saat itu gerakan mahasiswa bertumpu di situ. Jadi saya ingin tahu dong situasi mutakhir saat itu," ujarnya.

Jumat (15/5/1998), Soeharto baru kembali dari Mesir.

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyampaikan kepada pers bahwa sedikitnya 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil pribadi hangus terbakar, 66 unit angkutan umum dan 821 sepeda motor hangus, serta 1.026 rumah penduduk ikut terlalap api.



Tak ketinggalan, 64 kantor bank dirusak, di antaranya 313 kantor cabang, 179 kantor cabang pembantu, dan 26 kantor kas. Total kerugian fisik dari kerusuhan Mei 1998 diperkirakan mencapai sekitar Rp2,5 triliun.

Puncaknya terjadi pada Senin (18/5/1998). Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR. Tuntuan mereka satu: Soeharto harus mundur sebagai presiden. Ribuan mahasiswa itu pun bermalam di gedung dewan Senayan.

Soeharto bergeming. Ia memilih bertahan dengan sisa-sisa kekuatannya. Di sisi lain, 14 menterinya telah menyatakan mengundurkan diri dan menolak bergabung dalam Kabinet Reformasi yang rencananya dibentuk untuk mengatasi krisis ekonomi, politik, sosial yang melanda Indonesia.



Malam Krusial

Keadaan semakin genting. Pada Rabu (20/5/1998), Wiranto menggelar rapat di Gedung Urip Sumahardjio kompleks Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Hadir sejumlah ahli hukum tata negara di antaranya, tim dari Universitas Indonesia (UI) Harun Al Rasyid, Zen Umar Purba, Ryaas Rasyid, Letjen Hari Sabarno, SBY, dan Salim Said.

Salim ketika itu hadir atas undangan SBY. Ia menggambarkan bahwa suasana di sekitar Monas "sangat sepi dan jalan-jalan lengang malam itu". Yang bergerak hanya kendaraan-kendaraan militer.

Mereka memasang barikade di semua jalan menuju lapangan Monas dengan cara mengerahkan tank, panser, berbagai kendaraan militer, serta kawat berduri. Ia malam itu hanya bisa menggunakan kendaraannya sampai kawasan Tugu Tani.

Hal ini mengingatkan dirinya pada pengalaman menyeberang dari Berlin Barat ke Berlin Timur pada musim semi 1970. Bukan tanpa alasan pengaman superketat di sekitar Istana Negara itu. Sebab, salah satu tokoh reformasi Amien Rais menyerukan agar rakyat berkumpul di Monas pada 20 Mei.

"Ketika Panglima ABRI itu datang, rapat lantas dimulai. Susilo Bambang Yudhoyono lantas bertindak sebagai pimpinan rapat. Kalau Soeharto mundur, bagaimana sebaiknya cara mundurnya? Itulah agenda rapat," tutur Salim dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian.



ABRI, menurutnya, sebagai salah satu kekuatan penyokong Orde Baru ingin memikirkan juga cara sang pemimpin turun secara konstitusional. Terlebih, gelombang penolakan terhadap Soeharto terus meluas.

Pasal 8 UUD 1945 mengemuka dalam pembahasan rapat itu. Di tengah rapat, tiba-tiba Wiranto pergi meninggalkan ruangan. Belakangan Salim baru mengetahui bila Wiranto malam itu dipanggil Soeharto untuk datang ke Cendana, Jakarta.

Saat itu, Wiranto ditemani Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo HS, dan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Mayjen Endiartono Sutarto.

Wiranto mengaku diberitahu ajudan bahwa Wakil Presiden BJ Habibie baru saja bertemu Soeharto. Soeharto, kata Wiranto, menyampaikan dua hal kepadanya.

"Pertama, beliau menyatakan akan mundur besok pagi [21 Mei]. Kedua, menyerahkan dokumen yang juga dikenal Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998 yang berisi pengangkatan saya menjadi Panglima Komando Kewaspadaan dan Keselamatan," tutur Wiranto dalam wawancara dengan Salim Said, 12 Januari 2012.



"Instruksi ini saya berikan, kamu boleh pakai, boleh tidak," imbuh Wiranto, menirukan Soeharto saat menyerahkan Inpres tersebut.

Wiranto lantas kembali ke kantornya. Malam itu juga Wiranto berencana menemui BJ Habibie, namun ditolak. Habibie, yang malam itu menerima kabar tentang rencana pengunduran diri Soeharto lewat Menteri Sekretaris Negera Saadilah Mursyid, ingin merenung mengenai kondisi negara.

Pada Kamis (21/5/1998) pagi, Habibie menerima Wiranto dan langsung menyampaikan perkembangan yang terjadi di lapangan.

Kepada Habibie, Wiranto, yang kini menjabat Menkopolhukam, mengaku mendapat Inpres dari Soeharto untuk bertindak demi keamanan dan stabilitas negara. Wiranto kemudian meminta pendapat Habibie soal Inpers itu.

"Saya menjawab pertanyaan Pangab [Wiranto] dengan singkat, 'simpanlah Inpers tersebut, mungkin Jenderal akan butuhkan'," tutur Habibie dalam bukunya Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Hari itu proses penyerahan jabatan dari Soeharto ke Habibie berjalan lancar. Habibie resmi menjadi presiden ke-3 RI menggantikan 'gurunya' yang sudah berkuasa tiga dekade lebih. Pada periode ketujuh itu, Soeharto hanya memimpin sekitar dua bulan saat dipilih kembali pada 11 Maret 1998.



Nasib Wiranto dan Prabowo

Setelah resmi menjabat, Habibie langsung bergerak menyusun Kabinet Reformasi Pembangungan untuk merespons tuntutan massa. Nama-nama lama tetap dipertahankan Habibie.

Salah satunya, Wiranto, yang tetap menjabat sebagai Menhankam/Pangab. Hal itu diberitahukan Habibie kepada Wiranto pada Jumat (22/5/1998) pagi.

Saat bertemu Habibie di ruang kerja Presiden itu, Wiranto menyampaikan laporan di lapangan. Bahwa, pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta. Selain itu, ada konsentrasi pasukan di kediaman Habibie di Kuningan, Jakarta, dan Istana Merdeka.

Wiranto kemudian memohon petunjuk kepada Habibie. Nama terakhir memerintahkan Wiranto untuk mengganti Prabowo selaku Pangkostrad sebelum matahari terbenam.

"Saya tegaskan kepada Pangab, sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus segera diganti, dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing," ujar Habibie.



Wiranto mengusullkan nama Pangdam Siliwangi Mayor Jenderal Djamari Chaniago sebagai pengganti Prabowo. Namun, karena masalah teknis pelantikan, untuk sementara posisi Pangkostrad diisi Letnan Jenderal Johny Lumintang, yang saat itu menjabat Asisten Operasi Pangab.

Tak beberapa lama setelah itu, Habibie mendapat informasi dari ajudannya bahwa Prabowo ingin bertemu. Habibie tak langsung mengiyakan permintaan itu. Ia sempat berpikir beberapa saat sebelum mempersilakan ajudannya mengatur pertemuan dengan Prabowo selepas makan siang dengan keluarga.

Prabowo kala itu baru menjabat sebagai Pangkostrad selama dua bulan. Ia diangkat menjadi Pangkostrad pada 20 Maret 1998, beberapa hari setelah mertuanya, Soeharto, terpilih kembali menjadi Presiden.

Prabowo kemudian berdebat dengan Habibie terkait pencopoton dirinya itu. "Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto. Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad," kata Prabowo.

"Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti," timpal Habibie.



Prabowo menanyakan alasan pemecatan dirinya. Habibie lalu menyampaikan apa yang dilaporkan Wiranto, bahwa ada pergerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta. Prabowo beralasan pergerakan pasukan itu untuk mengamankan presiden. Namun, hal itu langsung disanggah Habibie.

"Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Pangab," cetus Habibie.

Prabowo meminta tenggat waktu tiga bulan untuk tetap menjabat Pangkostrad. Habibie berkukuh. Prabowo, yang kini menjabat Ketua Umum Gerindra ini, tetap ngotot dan kali ini meminta waktu sampai tiga minggu atau tiga hari untuk tetap bisa menguasai pasukannya.

"Yang saya kehendaki adalah pasukan saya," kata Prabowo. Habibie tetap tak menuruti permintaan putra Prof. Soemitro Djojohadikusumo itu.



Sintong Panjaitan, Penasihat Bidang Militer untuk Habibie, lantas meminta Prabowo meninggalkan ruangan. Namun, Habibie masih ingin bicara dengan Prabowo.

Kemudian Prabowo meminta kepada Habibie untuk bisa berbicara dengan Pangab. Namun, ketika itu Wiranto tak bisa dihubungi. Untuk kedua kalinya, Sintong mempersilakan Prabowo keluar.

"Saya masih sempat memeluk Prabowo dan menyampaikan salam hormat saya untuk ayah kandung dan ayah mertua Prabowo," kata Habibie.

Kini, Wiranto dan Prabowo masih sama-sama berada di panggung politik nasional. Kedua pensiunan jenderal itu juga membidani lahirnya partai politik, Wiranto mendirikan Hanura, sementara Prabowo mendirikan Gerindra. Namun, keduanya berada di dua kubu berbeda. Wiranto berada di jantung kekuasaan, sementara Prabowo jadi 'oposisi'. (arh/asa)



https://m.cnnindonesia.com/nasional/...eharto-tumbang

Katanya sekarang ada yg menyesal dulu gak kudeta? Apa jadinya klo beneran terlaksana kudetanya? emoticon-Big Grin
Diubah oleh iorveth 22-05-2018 10:00
ssxun91smogal
smogal dan ssxun91 memberi reputasi
0
17.1K
142
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan