codename.isalAvatar border
TS
codename.isal
Film Indonesia (Masih) Belum Bisa Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri?


Sudah bukan rahasia umum lagi, tingkat antusias para penonton di Indonesia untuk menonton film-film nasional masih kalah dibandingkan ketika menonton film-film impor, contohnya film-film Hollywood (apalagi kalo filmnya termasuk Box Office).

Walaupun di tahun-tahun belakangan geliat perfilman nasional sudah mulai menunjukkan taringnya di kancah internasional, tapi menurut ane film-film yang bisa mencapai kesuksesan seperti itu hanya sebagian kecil saja (sorry to say it).



Kalo dilihat lagi jauh kebelakang, dunia perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika banyak film-film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Bintang-bintang muda yang tenar pada masa itu, diantaranya Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Paramitha Rusady dan lain-lain (angkatan emak gue semua tuh).

Tetapi karena beberapa hal perfilman Indonesia justru semakin "terpuruk," hingga pada puncaknya di tahun 90-an dimana hampir semua film Indonesia yang diproduksi pada masa itu hanya berkutat pada tema-tema khusus orang dewasa (17+). Lalu di masa-masa itulah film-film dari Hollywood dan Cina masuk dan merebut hati masyarakat. Dan film-film Indonesia sudah tidak lagi menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.



Sampai akhirnya di era awal tahun 2000-an, muncul film "Petualangan Sherina" yang diperankan oleh Sherina Munaf, film tersebut sukses besar dan sekaligus menjadikan Sherina sebagai "icon" anak-anak Indonesia pada masa itu. Film ini juga menjadi tonggak kebangkitan perfilman Indonesia dan membuat bioskop-bioskop kala itu kembali ramai.

Setelah itu muncul film-film lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film "Jelangkung" yang merupakan tren film horor remaja saat itu, dengan tagline yang terkenal, "Datang tak dijemput, pulang tak diantar." Ada juga film "Ada Apa dengan Cinta?" yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra di kancah perfilman nasional (duh, jadi inget jaman SD).



Meski sempat mengalami pasang-surut, tapi bisa dikatakan sekarang dunia perfilman Indonesia sudah terlihat menuju ke arah yang lebih baik. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood.

Jelas itu saja belum cukup, walaupun beberapa film Indonesia sudah diakui dan mejeng di festival-festival film internasional, tetap saja film Indonesia (masih) belum bisa jadi pilihan utama bagi para penonton Indonesia.

Apa masalahnya? Kenapa sih film Indonesia (masih) belum bisa jadi tuan rumah di negerinya sendiri?


Kualitas belum bisa bersaing?



Kalo ngomongin kualitas sih relatif yah... Tergantung dibandinginnya dari segi apa. Menurut ane Indonesia itu bagus kalo bikin film-film ber-genre horor (bukan horor esek-esek loh yah). Banyak film horor lokal yang bagus, contohnya "Pengabdi Setan," "Pintu Terlarang," "Rumah Dara," "Kuntilanak," dan lain sebagainya, bahkan kita punya "icon" film horor Indonesia, Suzanna. Film horor lokal terkadang malah lebih bagus dari bikinan Hollywood.

Genre action juga mulai "keangkat" derajatnya karena aktor-aktor seperti Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Joe Taslim berkat film "Merantau" & "The Raid". Kita gak perlu bandingin kualitas film lokal sama film Hollywood. Untuk regional ASEAN aja kita masih kalah sama Thailand, liat kualitas film-film Thailand udah setara film-film dari Jepang atau Korea. Bahkan aktor/aktris Thailand udah ada yang terkenal disini.


Teknologi tertinggal?



Yah jelas aja teknologi kita tertinggal, kan Indonesia juga masih negara berkembang. Jangan bandingin teknologi film lokal sama film Hollywood atau produksi film dari negara maju lainnya. Lagian menurut ane walaupun pakai teknologi canggih sekalipun bukan jadi jaminan film itu bakal bagus atau laku.

Ane jadi inget film "Rafathar," konon kabarnya film itu adalah film dengan teknologi CGI paling canggih yang pernah dibuat Indonesia, dan denger-denger tuh film juga ngabisin 15 miliar... Lalu hasilnya apa? (gak perlu ane bahas lah yah...) Teknologi kalo gak diimbangin cerita yang matang dan kualitas akting aktor/aktris-nya juga sama aja bo'ong.

Sudah terima saja... Kalo urusan teknologi, Hollywood juaranya, bahkan negara-negara lain mengakuinya. Teknologi tertinggal bisa ditutupi dengan "kreatifitas" para kreator film. Banyak kok film-film Indonesia yang bagus tanpa perlu pakai "special-effect" berlebihan.


Promosi kurang maksimal?



"Ibarat kalo lu punya produk bagus, tapi lu gak tau cara jualnya... Yah tetap saja pasti produk lu gak akan laku." Terkadang ada film Indonesia yang bagus, tapi karena promosinya gak maksimal, akhirnya tuh film cuma bertahan 1 minggu di bioskop (bahkan cuma beberapa hari) lalu hilang di telan film-film Hollywood. Ada juga film yang biasa-biasa aja tapi karena marketing-nya bagus dan jadi viral di sos-med, akhirnya laku dan bisa bertahan.

Mau ngadu ke pemerintah buat batasin atau mengontrol film-film Hollywood yang masuk ke Indonesia? Hahaha... Realistis aja, film-film Hollywood masih jadi lumbung emas utama bagi para vendor-vendor disini. Kalo film-film luar dibatasin justru mereka-mereka lah yang bakal "kebakaran jenggot."

Fokus aja bikin film-film berkualitas dan jangan lupa jualannya juga harus bagus. Kalo film dah bagus, promosi dah maksimal, tapi masih gak laku? Mungkin para penonton masih trauma sama kualitas film-film terdahulu. Balik lagi, disinilah "kreatifitas" para kreator film diuji untuk menggaet penonton.


Cari aman?



Miskin ide... Teknologi tertinggal... Gak mau ngeluarin budget lebih... Males promosi... Yah udah akhirnya "main aman" aja deh. Biasanya cuma remake/reboot film-film terkenal dimasa lalu, atau buat sekuel film yang laris. Bisa juga pakai aktor/aktris yang punya fanbase besar, supaya para fans-nya ikutan nonton ramein bioskop. Sebenernya cara ini gak cuma dilakukan di Indonesia, di Hollywood juga sama aja. Kalo cara ini terus dilakukan, jangan salahin penonton kalo filmnya gak laku.


Membosankan?



Melengkapi poin diatas, karena film yang ditawarkan cuma itu-itu saja. Kalo gak horor, komedi, yah drama (paling ditambahin bumbu sejarah atau religi), dan akhirnya penonton jenuh juga.

Harga tiket reguler di kota ane antara Rp.35.000-70.000, rasanya sayang kalo harus ngeluarin uang segitu untuk nonton film yang kita sudah tau kualitasnya bakal kayak apa. Apalagi aktor/aktris yang main "lo lagi, lo lagi." Akhirnya penonton lebih milih nonton film Hollywood aja sekalian, biar gak rugi-rugi amat.


Penutup



Yah... Walaupun begitu keadaannya, ane masih tetap suka nonton film-film Indonesia, terutama genre horor (bukan horor esek-esek). Karena genre ini yang menurut ane paling punya potensi. Yang terakhir kita lihat aja "Pengabdi Setan" sampai diputar di banyak negara di dunia (walaupun film remake). Kalo untuk genre drama ane gak terlalu suka, mungkin ada juga sih beberapa film yang bagus.



So, sebenernya Indonesia bisa membuat film-film berkualitas, buktinya banyak film-film lokal yang bisa diputar di festival-festival internasional. Cuma karena ada beberapa hal saja yang bikin industri film disini jadi sulit/lambat berkembang. Kalo poin-poin diatas sudah teratasi, ane yakin film-film Indonesia pasti akan jadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Gimana menurut kalian?
Siapa sih yang gak pengen industri perfilman Indonesia maju?
Pasti semua rakyat Indonesia pengen kan?

emoticon-I Love Indonesia
Akhir kata dari ane...
"Maju terus perfilman Indonesia."




Referensi: Kompasiana & Wikipedia
Gambar pendukung: Google
Diubah oleh codename.isal 21-03-2018 04:17
0
10.7K
63
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan