greetelAvatar border
TS
greetel
Di Era Gubernur Anies, Trotoar di Jakarta Makin Semrawut


Jauh sebelum ada kendaraan, baik sistem kayuh atau motor, cara manusia melakukan mobilisasi adalah berjalan kaki. Hingga saat ini, aktivitas berpindah tersebut masih diakui secara umum.

Berjalan kaki sebenarnya sangat menyenangkan. Selain hemat, sehat, juga tidak menimbulkan polusi apapun. Namun, berjalan kaki itu tidak selamanya menyenangkan manakala berada di kota besar, seperti Jakarta saat ini.

Pasalnya, trotoar yang menjadi tempat para pejalan kaki itu terus dirampas seenaknya oleh mereka yang secara sengaja menggunakan fasilitas itu untuk kepentingan pribadinya.

Trotoar yang diperuntukkan bagi para pejalan kaki sudah sering dijadikan alternatif bagi pengendara motor untuk menghindar dari kemacetan lalu lintas. Bukan hanya itu, trotoar juga kerap kali dipergunakan bagi pedagang kaki lima untuk berdagang. Bahkan mereka berani menempatkan meja dan kursi di atas trotoar tersebut.

Parahnya, pemerintah pun tidak mampu melakukan pengawasan dan penegakkan peraturan atas pelanggaran hukum di atas. Mereka terlihat membiarkan, sekaligus memberikan ruang kepada para PKL untuk menggunakan fasilitas publik itu.

Pemandangan seperti itu yang sekarang terjadi di Ibukota Jakarta. Lemahnya pengawasan dan legalisasi pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Jati Baru, Tanah Abang memicu semakin maraknya PKL yang menjajakan dagangan di trotoar. Akibatnya, trotoar di Ibu Kota semakin semrawut.

Sejak adanya peralihan kekuasaan dari Ahok ke Anies Baswedan di DKI Jakarta, kebijakan mengenai PKL dan penggunaan trotoar pun berubah drastis. Gubernur Anies tampaknya mengambil kebijakan yang dinilai lebih kompromis dengan para PKL dan membiarkan trotoar digunakan untuk aktivitas selain untuk berjalan kaki.

Akibatnya, PKL kini tak khawatir dirazia oleh aparat keamanan. Karena pengawasan yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta sendiri sangat lemah.

Kini, trotoar di Jakarta berubah layaknya restoran pinggir jalan. Bukan hanya gerobak, pedagang juga membuka meja dan kursi.

Misalnya, di Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Hampir seluruh trotoar di sepanjang dua jalan tersebut berubah menjadi tempat makan. Meja dan kursi terjejer di sepanjang sarana umum itu.

Pada era Gubernur sebelumnya, program revitalisasi trotoar gencar dilakukan. Trotoar-trotoar dilebarkan, pedagang dan parkir liar ditertibkan.

Namun sekarang, trotoar kembali dijarah. Trotoar kini dijadikan tempat berdagang PKL tanpa ada penertiban apapun.

Padahal, anggaran untuk perbaikan trotoar itu sangat besar setiap tahunnya. Misalnya, tahun lalu mencapai Rp. 412 miliar.

Uang sebesar itu untuk melebarkan trotoar menjadi 1,5 meter, dilengkapi ubin pemandu penyandang disabilitas yang biasanya berwarna kuning, dan dilengkapi penerangan, kursi, serta tanaman.

Dengan adanya penguasaan trotoar oleh PKL seperti di atas, pada dasarnya pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan itu sedang menggeser hak-hak masyarakat untuk menikmati anggaran tersebut.

Karena anggaran itu ditujuka untuk kenyamanan pedestrian dan penyandang difabel. Bukan untuk para PKL yang harusnya ditata di tempat lain.

Begitulah bila suatu kota diatur oleh mereka yang bukan ahlinya. Hanya bermodalkan kata-kata, tak mungkin bisa mengubah kota menjadi lebih baik. Semoga kita cukup sabar untuk lima tahun ke depan.
Diubah oleh greetel 21-02-2018 05:45
0
4.5K
33
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan