Instrumental selingan untuk didengarkan

Teruntuk Cinta,
seseorang yang ingin kutemui,
seseorang yang telah meluluhkan hati,
dan seseorang yang kupuja.


Dari rasa, untuk cinta,
Untukmu, ku menyapa,
Kepadamu, ku berdoa,
Dan untukmu aku rela, Cinta
Yang paling mengena sekaligus yang paling merona

Untuk pertama kalinya, aku tak bisa menulis apa yang aku pikirkan melainkan hanya melukiskan tumpahan rasa. Aku tak bisa membayangkan hembusan nafas kehidupan melainkan hanya hembusan kemesraan. Aku tak bisa mengalahkan pandanganku ketika merasakannya. Hingga musim yang kian menyemaikan perasaan, kini menggulirkan sesuatu yang sering disebut kerinduan.

Engkau mengetahuinya, Cinta.

Cinta, aku melihat setiap langkahmu, setiap alunanmu, setiap pendengaranmu, tapi tidak hatimu. Aku tak bisa mengejarnya, tak bisa memanahnya, bahkan tak bisa melihatnya, tapi aku bisa memahaminya.
Kamu meledakkan amarah dalam diam sejuta ketajaman, kamu mengguyurkan hujan di dalam keadaan berselimutan, dan kamu membahagiakan rasa di dalam pelukan yang terlarut dalam buaian.

Buaian apakah itu, Cinta?

Aku mencoba mendekatimu, kemudian menanyakanmu, tapi seolah tak mendengarku. Ku rayu waktu, lagu, dan sikapmu. Dan terjawablah, bahwa itulah perjalananmu.

Perjalanan yang kamu tempuh untuk menemukan suatu tempat yang teduh. Sebuah perjalanan sunyi yang kamu lakukan sendiri. Janganlah merasa sepi, tapi kuatkanlah hati.

Aku tahu, Cinta. Kamu telah kehilangan seseorang yang kamu dambakan, seseorang yang ingin kamu anggap sebagai pahlawan, dan seseorang yang ingin kamu jadikan panutan. Dan kini engkau tinggal bersama keluarga yang menjadi kawan dalam suka maupun duka.

Ingatkah engkau kepada alam yang mengikuti perjalananmu?

Ingatkah engkau kepada cahaya yang mengiringi perjalananmu?

Ingatkah engkau kepada sahabat yang menyelimuti perjalananmu?

Cinta, maukah engkau memandangku?

Cinta, maukah engkau merasakan rindu?

Cinta, maukah engkau mendengarkan alunan merdu?

Cinta, ketahuilah. Aku belajar darimu. Kamu benar-benar piawai memainkan rasa. Kamu telah memanah rasa. Kamu mengajarkanku apa itu mesra. Kamu memberiku secercah cahaya.

Ketahuilah Cinta. Kamu menyukai cahaya dalam kegelapan, sekalipun kegelapan itu membencimu. Kamu tak pernah membalas kebenciannya. Justru, menambah cintamu untuknya. Luluhlah dia karena cintamu.

Engkau mengajarkanku mencintai rasa, sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh penglihatan, pendengaran maupun perasa yang berasal dari materi.

Engkau justru mengajari cara merasakannya dengan hati, menerbangkan bubuk mimpi, membelai sekaligus mengikat ikatan janji, dan menembus dimensi kerinduan yang benar-benar sangat manis, sangat menenangkan, dan sangat mendamaikan jiwa sampai aku terjatuh dalam dekapanmu yang hangat.

Betapa tenang jiwaku, bersamamu seperti embun yang menyejukkan hati di kala pagi, seperti keindahan pancaran matahari yang menghangatkan bumi di kala siang, seperti senja yang membayangi rindu di kala sore, dan seperti cahaya sang rembulan yang menghiasi malam.

Cinta, siapakah yang mengajarimu demikian?

Namun Cinta, kamu hanya membalasnya dengan pelangi di bibirmu, terlihat senyum yang tulus merekah darimu.

Aku pun teringat pada serangkaian kenangan yang menggetarkan setiap detakan keyakinan di dadaku.

Semakin lama, semakin berdegup kencang tidak karuan. Semakin meluap-luap, tapi Engkau tahan rasa berlebihanku.



Wajah dan hatiku tersenyum, melihatmu bahagia, melihatmu tak lagi merana. Aku merasakan hangat cintamu.

Terima kasih banyak, Cinta...

Aku sangat ingin bertemu denganmu seperti sedia kala...

Semoga kita berjumpa kembali seperti yang telah dijanjikan...