Media Indonesia
TS
Media Indonesia
Kaderisasi Gagal,SARA Merebak


KEGAGALAN partai politik melakukan pendidikan politik kepada kader dan masyarakat serta buruknya proses kaderisasi dinilai menjadi penyebab maraknya isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) belakangan ini.



Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Topo Santoso, mengemukakan hal itu dalam diskusi bertema Catatan akhir tahun 2017, tahun politik yang menentukan: Prosedural belum substansial, di Jakarta, kemarin.



"Selain merebaknya isu SARA, kegagalan fungsi parpol itu juga ikut menyuburkan politik uang. Elite parpol kian pragmatis melihat pemilu, bukan memikirkan rekrutmen kader lalu mendidiknya agar mampu menyerap aspirasi. Tetapi justru mengedepankan menang dan kalah," kata Topo.



Menurut Topo, isu SARA dimain-kan karena dinilai paling efektif dalam mendongkrak ataupun menjatuhkan popularitas seseorang.



"Politik SARA terjadi akibat adanya pihak yang berniat melakukan atau memiliki kapabilitas, ada target empuk seperti kelemahan pasangan calon tandingan, dan lemahnya kontrol penegak hukum."



Untuk menimbulkan efek jera, lanjut Topo, penegak hukum dan penyelenggara pemilu jangan lagi bergantung pada hukuman pidana.



"Hukuman pidana hanya mengenai pelaku pelaksana, bukan otak atau dalang di baliknya. KPU, Bawaslu, dan Tim Penegakan Hukum Terpadu harus menjatuhkan sanksi diskualifikasi. Mereka akan berpikir seribu kali karena sanksi diskualifikasi itu paling menakutkan," ujar Topo.



Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengakui pihaknya menolak kampanye menggunakan isu SARA ataupun politik identitas. "Kami berupaya semaksimal mungkin menggunakan jalan kampanye bersih untuk meraih kemenangan. PKS selalu berusaha agar para kader mengedepankan politik bersih dan berintegritas," tandas Mardani.



Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate mengatakan pihaknya mendidik kader untuk mencintai bangsa, NKRI, Pancasila, dan konstitusi.



Munculnya politik identitas dan isu SARA, menurut Johnny, akibat elite politik yang terlalu pragmatis dalam pendidikan terkait dengan penguatan nilai-nilai kebangsaan.



"Identitas digunakan sebagai alat politik dengan memecah belah dan merugikan masyarakat. Inilah tugas partai politik untuk menampilkan calon berkualitas, berintegritas, dan kompeten. Jangan hanya untuk kepentingan elektabilitas, agama dan suku pun dieksploitasi."



Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan agar ajang pilkada dan pemilu serentak di tahun-tahun mendatang tidak lagi memopulerkan atau mengusung isu SARA.



"Kampanye politik berubah menjadi ajang perang isu antarpasangan calon. Orang tidak lagi teriak yel-yel kampanye di lapangan. Sudah berubah perang isu atau melempar isu yang paling hot. KPU sudah bikin batasan, pemerintah bikin batasan agar ditaati," ungkap Kalla, kemarin.



Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mendorong Bawaslu membentuk satgas untuk mengawasi hoaks dan ujaran kebencian yang kental mengandung isu SARA pada Pilkada 2018. Satgas itu diharapkan dapat meminimalkan hoaks dan kampanye SARA saat pilkada.



"Kini, tebaran ujaran kebencian di media sosial sangat bisa menjadi viral dan meluas serta memengaruhi masyarakat. Penyelenggara pemilu belum memiliki sistem untuk mencegah ujaran kebencian menyebar di media sosial," kata anggota DKPP, Alfitra Salam.(FD/Mtvn/X-3)


Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...bak/2017-12-28

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Giliran Pembangunan SDM Digenjot

- Emilia Clarke Ucapan Natal untuk Pekerja Layanan Kesehatan

- Barack Obama Peringatkan Pengguna Medsos yang tidak Bertanggung Jawab

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
413
0
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan