BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Dahulukan kepentingan publik dalam revisi UU Penyiaran

Ilustrasi: Frekuensi penyiaran harus dikuasai negara
Perhatian mereka, yang tinggal di perkotaan dan intim dengan Internet, lebih tertuju kepada konten media online. Penyebaran konten pornografi, kabar bohong, dan ujaran kebencian menjadi isu yang terasa lebih penting ketimbang persoalan konten di media yang lain.

Celakanya, para pengelola isu publik tampak lebih berpihak kepada kelompok warga negara perkotaan yang beruntung itu. Isu warga perkotaan -yang dianggap mewakili peradaban terbaru- itu menjadi terasa lebih dominan dalam wacana publik.

Padahal isu tersebut bukanlah pengalaman yang dimiliki oleh lebih banyak warga negara kita di berbagai pelosok Indonesia. Warga negara yang tidak memiliki akses internet yang memadai masih jauh lebih banyak ketimbang mereka yang sudah sangat intim dengan media online -baik media sosial maupun pers online.

Survei Nielsen Consumer Media View, yang dilakukan di 11 kota di Indonesia, menunjukkan bahwa penetrasi Internet berada di posisi ketiga saja. Lebih lengkap, survei itu memperlihatkan bahwa penetrasi televisi (96%) berada di peringkat teratas; berturut-turut disusul kemudian media luar ruang (53%), Internet (44%), radio (37%), koran (7%), tabloid dan majalah (3%).

Hal itu mengingatkan kita bahwa seharusnya konten televisi mendapat perhatian yang lebih saksama ketimbang konten media lain. Evaluasi tahunan terhadap stasiun televisi yang memperoleh perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, misal, seharusnya dilakukan dengan lebih jelas dan transparan.

Tahun lalu, terkait dengan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, 10 stasiun televisi menandatangani sejumlah komitmen untuk meningkatkan kualitas layanannya. Salah satu di antaranya adalah bersedia dilakukan evaluasi tahunan.

Evaluasi itu terkait dengan komitmen-komitmen lain seperti
Melaksanakan seluruh ketentuan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program SiaranMenjalankan fungsi media informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol dan perekat sosialMenjaga independensi dan keberimbangan isi siaran program JurnalistikMenjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan UmumMenghormati ranah privat dan pro justicia yang mengedepankan asas praduga tak bersalah secara proporsional dan profesionalMemberikan penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis saat itu menyatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menyiapkan perangkat hukum serta mekanisme evaluasi tahunan terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Perihal evaluasi yang seharusnya dilakukan oleh KPI itu pun mendapat sorotan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Namun, menjelang akhir tahun 2017 ini, hasil evaluasi tahunan itu tak kunjung terdengar kabarnya. Hal inilah yang menjadi sorotan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP). Namun Wakil Ketua KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin mengaku bahwa pihaknya telah menyampaikan hasil evaluasi tersebut kepada Komisi 1 DPR pada November lalu.

"Yang kami evaluasi tidak hanya 10 televisi swasta, tetapi 14 televisi swasta. Laporan evaluasi kami susun dalam bentuk buku. Semoga minggu ini bisa dicetak untuk kemudian dipublikasikan kepada masyarakat," katanya seperti dikutip Kompas.

KPI memang seharusnya lebih transparan terkait hasil evaluasi tahunan itu. Publik berhak tahu evaluasi atas komitmen-komitmen stasiun TV yang sangat bersinggungan langsung dengan kepentingan publik.

Terkait dengan kepentingan-kepentingan publik dalam hal penyiaran, kita juga sedang menantikan penyelesaian revisi atas Undang-undang Penyiaran. Penyelesaian dan pembahasan rancangan undang-undang tersebut terlihat sangat alot dan memakan waktu. Dalam proses itu kita bisa melihat ada pertarungan dari tiga kepentingan. Yaitu kepentingan pemilik modal, kepentingan politik, dan kepentingan publik.

Pertarungan tiga kepentingan itu tampak sejumlah isu terkait dengan iklan, pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, penguasaan dan pengelolaan frekuensi, serta penetrasi kepentingan politik lewat apa yang disebut sebagai lembaga penyiaran khusus.

Pertarungan kepentingan dalam penguasaan dan pengelolaan frekuensi itu terlihat pada perdebatan mengenai pelaksana proses migrasi dari analog ke digital. Ada dua opsi dalam proses itu.

Pertama, dilaksanakan oleh multiplekser tunggal (single mux). Kedua, dilaksanakan oleh multiplekser jamak (multimux)

Dengan single mux, frekuensi dikuasai dan dikelola oleh operator tunggal yang mewakili negara. Sedangkan multimux mengandaikan bahwa keterlibatan banyak operator swasta yang mengelola frekuensi. Perdebatan ini belum menemukan titik temu.

Para pembayar pajak pasti berharap, dalam merumuskan revisi Undang-undang Penyiaran tersebut, para legislator akan lebih berpihak kepada kepentingan publik. Frekuensi, yang merupakan sumber daya alam terbatas, harus dikuasai oleh negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Revisi Undang-undang Penyiaran seharusnya lebih bisa memastikan tak ada jalan sekecil apa pun yang bisa dipakai sekelompok orang untuk menguasai frekuensi publik. Revisi ini harus menjadi momentum untuk menghentikan praktik penggunaan frekuensi publik demi kepentingan politik dan ekonomi pemilik modal lembaga penyiaran.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...i-uu-penyiaran

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila mau kemana?

- Cegah mahar politik dalam Pilkada 2018

- Menyembunyikan limbah medis adalah menyemai bencana

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
832
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan