irfantamengAvatar border
TS
irfantameng
Gie, Demonstrasi, dan Pendakian

SPORTOURISM- Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, saya menghadiri sebuah acara diskusi di sebuah gedung bilangan Jakarta Selatan. Sayangnya saya lupa tema diskusi itu mengenai apa, namun satu hal yang masih saya ingat adalah ucapan Goenawan Mohamad, jurnalis senior sekaligus sastrawan, tentang pertemuannya dengan Soe Hok Gie.


"Saya pertama kali bertemu dengan (Soe) Hok Gie, saat kami sedang makan duren di daerah Salemba. Waktu itu saya dikenalkan oleh kakaknya, Arief Budiman," ujar pria yang biasa disapa Mas Goen, saat itu.

Bagi saya, yang cukup mengidolakan Soe Hok Gie, cerita Goenawan Mohamad saat itu adalah sebuah hal (yang barangkali) sederhana namun menakjubkan. Karena persis seperti apa yang selama ini saya bayangkan, Gie adalah sosok yang bersahaja. Ia boleh saja terlihat keras jika sedang menyatakan pendapat, namun kesehariannya siapa yang sangka?


Jika Anda pernah mencermati buku kumpulan catatan harian Soe Hok Gie yang berjudul "Catatan Seorang Demonstran", maka sedikit banyak Anda akan mendapatkan sedikit gambaran seperti apa Hok Gie, dan betapa besar ia mencintai kegiatan mendaki Gunung.

Soe Hok Gie adalah seorang aktivis Indonesia keturunan Tionghoa, yang beberapa hari lalu (17/12) seharusnya berusia 75 tahun jika ia tidak meninggal di Gunung Semeru, sehari sebelum momen pertambahan usianya ke-27. Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah ini, terkenal rajin menentang kediktatoran pemimpin negara saat itu, baik itu Soekarno ataupun Soeharto. Ia bahkan menjadi salah satu arsitek aksi long-march dan demonstrasi besar mahasiswa tahun 1966, yang dikenal dengan Tritura.


Baginya, demonstrasi adalah sebuah upaya menolak kejahatan. Dalam buku "Catatan Harian Seorang Demonstran" ia menulis dengan jelas tentang sikapnya, " Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan."

Dalam catatan pembuka buku tersebut, sang kakak Arief Budiman, menjelaskan sedikit lebih jauh seperti apa sikap Gie terhadap pemerintahan saat itu.

"...Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Di pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang tak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja". Ibu saya sering gelisah dan berkata: "Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang". Terhadap ibu dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, mama tidak mengerti."


Namun, di balik itu semua Gie adalah seorang yang gemar bermesraan dengan alam. Ia bahkan menjadi salah satu pendiri organisasi pecinta alam di lingkup kampus, Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Ada sebuah jawaban bernas meluncur dari Gie dalam artikel yang berjudul "Menaklukkan Gunung Slamet", di sana ia menuliskan tujuan ia dan kawan-kawannya naik gunung.

"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”


Sayangnya kegemaran Gie harus berakhir, sehari sebelum ia memasuki usia 27 tahun. Gie mati muda. Ia menghembuskan nafas terakhir, pada sebuah sore hari Selasa 16 Desember 1969. Tak hanya Soe Hok Gie, Idhan Lubis juga turut wafat karena gas beracun. Orang yang menemani Gie dan Idhan hingga akhir hayat ialah Herman Onesimus Lantang.

"Melihat dia (Soe) seperti itu, saya reflek memangkunya dan memberikan napas buatan. Saat itu saya tidak peduli lagi soal gas beracun. Setelahnya, karena saya pun sudah merasa pusing dan hampir lewat (meninggal), saya habiskan satu veldples (botol minum tentara) air, padahal saya orang yang paling disiplin soal air," ujar Herman Lantang soal kematian sahabatnya, seperti yang dikutip dari agusbudiawan.wordpress.com.


Soe Hok Gie wafat di lokasi yang amat dicintainya, yaitu gunung. Ia seakan menyesuaikan usianya dengan puisi seorang Filsuf Yunani yang pernah disalinnya di buku harian, "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda". Namun satu hal yang bisa dijadikan pelajaran adalah pilihan Gie untuk tetap menjadi manusia merdeka.

"Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka." -Soe Hok Gie. [AR]


Quote:




Ane waktu awal2 seneng naik gunung, sangat terinspirasi dg tulisan2 Gie. Apalagi setelah nonton filmya yg waktu itu ada di Youtube. Tapi sayang udh gak ada filmnya
kalo ada yg punya link filmnya boleh dishare gan. Sangat menginspirasi emoticon-Jempolemoticon-I Love Indonesia
Diubah oleh Kaskus Support 03 05-01-2018 12:15
0
1.2K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan