gatra.comAvatar border
TS
gatra.com
Kesalahan Penerbitan SKL BLBI Harus Diuji Lewat Peradilan TUN

 

Jakarta, Gatra.com - Penyelesaian kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak bisa dipidanakan. Sekalipun ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SKL, maka dari sisi administrasi negara hal tersebut harus diuji terlebih dahulu lewat peradilan Tata Usaha Negara (TUN).

 
 
Hal itu dikemukakan praktisi hukum Administrasi Negara Irman Putra Sidin terkait upaya hukum yang saat ini sedang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seputar penerbitan SKL terhadap para debitur BLBI.
 
 
Irman menyatakan, sejatinya SKL merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah guna memberikan kepastian hukum terhadap debiturnya. Kebijakan yang bersandar pada untung-rugi bagi negara ini, dikeluarkan dengan tujuan memberikan kepastian hukum di sektor usaha maupun negara.
 
 
“Kita sering salah kaprah, sebuah tindak pidana tidak berdiri sendiri, melainkan terikat pada hukum lain. Seperti halnya kasus korupsi, bila yang diindikasikan adalah penyalahgunaan wewenang atas suatu kebijakan, maka ranahnya masuk ke dalam peradilan TUN,” ujar Irman dalam keterangannya kepada Gatra.com, Jumat (15/12).
 
 
Menurutnya, hal tersebut harusnya diuji dulu di TUN karena hukum pidana bukan superior terhadap hukum lain. “Kalau menyangkut penyalahgunaan kewenangan maka ranahnya TUN. SKL itu kalau kebijakan negara maka itu tidak bisa dipidana,” imbuh Irman.
 
 
Lebih jauh Irman menuturkan, penyelesaian kasus terhadap bank atau pemilik bank yang tersangkut kasus BLBI tak dapat dipenjara karena termasuk ke dalam ranah piutang negara. Hal itu menurutnya telah diatur oleh hukum HAM internasional yang menyebutkan tak boleh adanya pemenjaraan dalam kasus piutang.
 
 
“Hukum HAM internasional, menyatakan tidak boleh orang dipenjara karena utang. Kalau piutang di atas Rp 100 milyar bisa dihapuskan dengan persetujuan presiden dan DPR, namanya SKL itu. Piutang negara itu sudah ada mekanismenya, tidak boleh dipenjara,” ujarnya.
 
 
Hal senada disampaikan Pakar Hukum Pidana Univesitas Islam Indonesia (UII) Prof. DR. Mudzakir. Ia menekankan tanggungjawab korporasi tidak serta merta beralih kepada pemegang saham mayoritas. Sebagai subjek hukum, korporasi semestinya yang tanggung jawab korporasi.
 
Dalam penyelidikan kasus SKL, KPK menurut Mudzakir seharusnya terlebih dahulu memintai pendapat dari sejumlah ahli hukum pidana maupun ahli perbankan sebelum bergerak lebih jauh. “Misalnya kalau korporasi itu pailit, semestinya alihnya adalah tagihan sebagai likuidasi. Kalau itu menjadi tagihan likuidasi artinya apa yang menjadi kewajiban debitur itu sudah selesai, bayarnya sudah selesai.
 
 
Di manapun, menurut Mudzakir,  kredit macet itu dialihkan tagihannya, bukan menjadi tanggung jawab pribadi. "Semua ahli perbankan menyatakan itu (kredit) kewajiban korporasi bukan pribadi. Kalau mau disita, seluruh harta kekayaan itu sudah diserahkan, termasuk juga tagihan itu kepada BPPN,” ucap Mudzakir.
 
 
Mudzakir mengingatkan penyidik KPK harus dapat memahami kapan sebuah perkara ditanyatakan perdata dan pidana.  Seperti halnya dalam kasus penerbitan SKL, KPK disebut Mudzakir selalu mengatakan hal tersebut inisiatif Syafrudin Tumenggung. Sementara sebagai kepala BPPN, Syafrudin wajib melakukan inisiasi itu.
 
 
“KPK sebaiknya mengundang ahli dulu yang netral, obyektif, kalau kasus seperti ini tanggung jawab siapa. Itu yang belum terjawab. Penyidik jangan berpendapat dulu, tanyakan dulu prinsip-prinsip perbankan seperti apa,” imbuh Mudzakir.
 
 
Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah, di kesempatan berbeda, menilai negara harus terus berupaya untuk mengejar para obligor BLBI yang hingga kini belum memenuhi kewajibannya. Upaya tersebut penting dilakukan demi memberikan kepastian hukum.
 
 
“Kalau menurut saya ini masih bicara tentang kepastian hukum. Bahwasanya mereka harus membayar, dan kalau pun bayar itu akan ditindaklanjuti, itu adalah kepastian hukum,” ujarnya.
 
 
Kepastian hukum menjadi salah satu kunci penyelaian kasus ini. Hal ini juga misalnya terkait dengan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan oleh BPPN kepada sejumlah obligor. “Kepastian hukum bahwa dia sudah membayar lunas, kemudian dia diberi keterangan lunas, itu harus ditegakkan,” ucapnya.
 
 
Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) II, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Suparyanto mengakui, terkait dengan SKL yang sekarang dipermasalahkan kembali oleh penegak hukum, pada prinsipnya memang merupakan kebijakan dari pemerintah.
 
 
Menurutnya, ada inpres No 8/2002 terkait dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham  yang memang secara prosedural sudah dilakukan. “Pengeluaran surat lunas sudah melalui prosedur tadi, di mana untuk SKL-nya BDNI misalnya, itu skemanya adalah MSAA (Master Settlement Acquisition Agreement) di mana antara kewajiban obligor itu dibayar dengan sejumlah aset milik obligor yang diserahkan,” ucapnya, beberapa waktu lalu.
 
 
 

 
Reporter: Didi Kurniawan
Editor: Hendri Firzani

Sumber : http://www.gatra.com/hukum/299634-ke...-peradilan-tun

---


- Hampir 20 Tahun, DJKN Terus Buru Aset 22 Obligor BLBI
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
404
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan