kangjatiAvatar border
TS
kangjati
Mengulik sosok Pidi Baiq si penulis novel Dilan

Hayooo...Hayooo
emoticon-Selamat
Penggemar Dilan dan Milea tentunya tengah bersuka cita nihh karena sebentar lagi novel laris karya Pidi Baiq tersebut akan difilmkan.
Nahh sebelum nonton filmnya, kangjati mau ajak agansista mengenal sosok Pidi Baiq si penulis novel Dilan, Yuk disikat artikel nya gan
emoticon-Wow



Baginya, berkarya adalah bersikap apa adanya. Tanpa ambisi dan ekspektasi.


Aku bukan seniman," katanya. "Mungkin lebih baik jadi orang gila tapi menyenangkan ya daripada serius tapi menyebalkan."

Kami tertegun, lalu tersenyum dengan perkataannya itu. Pidi Baiq memang bukan manusia yang punya sekat dalam bicara. Ia bersikap apa adanya, persis ketika kami berbincang dengannya pada Rabu (06/12/2017).

Selama dua jam lebih, perbincangan itu banyak diisi dengan guyon. Pidi kerap mengucapkan kalimat yang filosofis. Ia seperti tahu bagaimana membuat lawan bicaranya betah duduk berlama-lama.

Saat kami tanya pernahkah ia serius dalam hidupnya. "Pernah, saat salat dan kasih zakat," ujar bapak dua anak itu. Lagi-lagi, ia membuat kami tertawa.

Sedikit manusia di bumi ini yang punya berbagai macam keahlian. Pidi salah satunya. Ia pintar menggambar hingga menghasilkan karya lukis, ilustrasi buku, dan gambar prangko.

Ia bisa bermusik dan menciptakan ratusan lagu untuk grup musiknya, The Panasdalam Bank. Pidi juga pandai menulis. Keahlian yang satu ini membuat namanya melambung di kalangan anak remaja sekarang.

Mereka menggilai buku trilogi karya Pidi, yaitu Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990, Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991, dan Milea: Suara Dari Dilan. Ketiganya menjadi bestseller di tanah air.

Kisahnya soal percintaan sepasang remaja bernama Dilan dan Milea yang duduk di bangku sekolah menengah atas. Pidi mengambil latar Bandung, kota kelahiran dan tempat tinggalnya, pada era 1990an.

Semua karyanya ia jalani apa adanya. Tak ada target, apalagi niat ingin membuat ini-itu. Baginya semua mengalir dari dalam sehingga ia mengaku tak pernah terjebak dengan isu ketenaran dan kesuksesan.

"Jika manusia itu harus ambisius, maka aku bukan manusia yang benar," kata Pidi.

Ia mengucapkan itu sambil menghisap rokok putih ditemani korek api cap Tiga Durian. Terdengar absurd awalnya. Tapi kami bisa mengamini maksud perkataannya itu. Di atas meja ia letakkan telpon seluler Nokia seri dua yang jauh dari kata canggih.

Kalau sedang berkarya, energi dalam tubuhnya bisa begitu besar hingga masuk dalam fase trans. Ia kerap beberapa kali kaget dengan apa yang ia tulis. "Kok saya bisa menulis kayak gini ya?" ujarnya.

Mungkin karena selalu totalitas dalam berkarya, ia pun sulit berkompromi dengan orang lain. Ia sempat kecewa kala menyutradarai film untuk buku pertama trilogi Dilan-Milea. Pidi mengatakan harus banyak kompromi. Pada akhirnya film tersebut ia selesaikan dengan perasaan tidak puas.

"Bukan karena isi ceritanya," ujar Pidi kepada Fajar WH, Sorta Tobing, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo. "Lebih karena saya berkarya tidak sepenuhnya di wilayah saya."

Kami bertemu dengannya di Rumah The Panasdalam, Jalan Ambon Nomor 8A, Citarum, Bandung, Jawa Barat. Letaknya di sisi selatan Gedung Sate pada sore hari. Suasana kafe merangkap tempat pertunjukan dan ruang diskusi masih sepi pengunjung.

Pidi asyik mengobrol dengan empat orang temannya di bagian kafe yang agak tersembunyi. Kehadiran kami seolah mengganggu aktivitas sorenya. Tapi Pidi tetap menyambut kami dengan gembira. Berikut kisah hidupnya.

Pendiri negara 80 meter persegi
Sebagai penulis, Pidi mengaku jarang membaca buku atau novel. Terakhir ia melakukannya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Penyebabnya pun sepele. Gara-gara tak ada kegiatan, Pidi suka berbaring di sofa ruang tamu rumahnya pada sore hari.

Lalu, ia melihat rak di sampingnya yang berisi deretan buku-buku. Ia ambil beberapa buku karangan Sutan Takdir Alisjahbana, Taufik Ismail, Iwan Simatupang, dan WS Rendra.

"Ibu dan kakak perempuan saya guru Bahasa Indonesia. Mereka yang minjem buku itu," kata Pidi.

Lama-kelamaan ia jadi keasyikan membaca buku sastra. "Saya terkondisikan sebetulnya, bukan suka sastra," ujar pria berusia 45 tahun itu.

Dari situ, ia mulai membuat puisi. Karya tersebut ia bagikan ke teman-temannya di sekolah. Responnya? "Pasti buruk ya karena mereka enggak suka," kata Pidi. Tak ada yang memberi komentar bagus, malah ada yang menyebutnya aneh dan sulit dimengerti.

Pidi kala itu memang sudah berfilosofi. Seperti puisinya berikut ini:
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ya Tuhan, maafkan aku membiarkan nama-Mu dimakan rayap

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Satu kalimat sederhana yang ia dapat dari pengalamannya ketika melihat Al Quran tak kunjung tersentuh. Kitab suci itu malah habis dimakan rayap.

Ia juga suka membaca cerita pendek karangan psikolog Sarlito Wirawan Sarwono di majalah Gadis. "Saya juga tertarik dengan tulisan Goenawan Muhamad. Karena ayahku langganan Tempo," ujarnya.

Tapi hal itu tak serta-merta membuatnya langsung ingin menjadi penulis. Saat kecil, ia kalau ditanya cita-citanya menjadi apa, Pidi akan menjawab menikah. "Aku pengen menikahlah," kata Pidi.

Jawaban itu ia ucapkan karena tak mau sama dengan teman-teman sebayanya. "Aku bosan mendengar jawaban ingin jadi dokter dan pilot," ujarnya.

Dari kegiatan membaca Pidi juga menemukan keasyikan yang lain, yaitu menggambar. Ayahnya, yang seorang tentara, berlangganan Bobo. Ilustrasi di majalah anak-anak itu kadang Pidi tutup dengan ilustrasi buatannya.

Lepas sekolah menengah atas, ia mengambil jurusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.

Di kampus, sifat memberontak -- kalau tak bisa disebut absurd atau kegilaan -- Pidi semakin muncul. Ia mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik The Panasdalam seluas delapan kali sepuluh meter di ruang seni rupa kampus berlambang Ganesha tersebut pada 1995.

"Itu semacam bentuk perlawanan lokal terhadap rezim Orde Baru," katanya. "Ngapain demo. Ya udah kita bikin negara saja."

Daripada ikut campur urusan pemerintah, menurut dia, lebih baik bikin pemerintahan sendiri saja. "Saya tidak punya hak untuk ikut campur dengan Suharto (Presiden RI yang ke-2). Jadi terserah Indonesia mau ke mana kek," ujar Pidi.

Penduduknya ada 18 orang. Pidi menunjuk diri sebagai Imam Besar negara tersebut. Ia tak menampik sistem pemerintahannya otoriter.

"Kalau saya bawa CD (cakram padat) Rolling Stones ke ibu-ibu mah pasti mereka milih Kangen Band," katanya. "Masa kita harus ngikutin selera mayoritas?"

Negara rekaan ini memiliki pasang-surut layaknya yang sungguhan. Pada 1998, ketika rezim Orde Baru tumbang, The Panasdalam melakukan muktamar pertama dan memilih bergabung lagi dengan Indonesia.

Setelah itu, Pidi pergi ke Belanda pada 2000. "Ada lah, rahasia saya ngapain di sana," katanya. Pulang dari sana, Pidi mengaku tak ada kerjaan. Jadi, ia membuat beberapa lagu.

Tema-tema dalam lagunya ada yang soal kehidupan waria ("Cita-Citaku") . Ada pula soal makhluk halus ("Rintihan Kuntilanak"). The Panasdalam kemudian berubah menjadi grup musik bernama The Panasdalam Bank.

"Kami mau bikin 10 album karena sudah ada 400 lagu," kata Pidi.

Pada 2005 sempat terjadi perpecahan di band ini. Pemicunya, The Panasdalam Bank masuk televisi nasional. Perdebatan sengit terjadi, hingga Sang Imam Besar harus turun tangan dan memutuskan The Panasdalam tidak akan masuk televisi lagi.

The Panasdalam sekarang berubah menjadi komunitas yang memiliki beberapa unit. Ada Front Pembela Islam Kristen Hindu Buddha, The Panasdalam Movie (bekerja sama dengan Maxima Pictures menggarap film Baracas), Pengadilan Musik, dan lainnya.

Pidi berencana membuat stasiun radio. "Pengennya Radioactive, tapi udah dipake sama band lain. Mungkin namanya Radiologi biar keren tapi belum sepakat dengan yang lain," ujarnya.

Di Rumah The Panasdalam kegiatan komunitas itu terjadi. Ada kafe yang selalu menjadi tempat nongkrong anak muda Bandung. Di pojoknya terdapat panggung untuk tempat bermusik atau berdiskusi.

Yang pernah memakai panggung itu dari Lesbian Club Bandung sampai Hizbut Tahrir Indonesia. Front Pembela Islam pernah berada di sana berdiskusi.

Kalau sudah musim kampanye, sudah tentu Rumah The Panasdalam tak pernah sepi. Pendukung dan nonpartisan memakai panggung tersebut untuk berbincang-bincang.

"Siapa saja boleh pakai tempat ini asal enggak berantem," katanya. "Kebijaksanaan Imam Besar seperti debt collector. Terserah apa yang mau kau sembah. Mau air, sapi, sungai, atau pun kambing. Yang penting bayarlah hutang kau."

Latar belakang panggung itu adalah lukisan Pidi dengan cat putih di atas kanvas hitam. Ia mengisi latar itu dengan gambar dan tulisan yang tampak kekanak-kanakan. Ada pesawat alien, putri duyung, ikan, bintang yang jauh dari kata indah.

Sepertinya lukisan ini memang bukan untuk memanjakan mata. Orang yang memandangnya akan terpicu untuk berpikir dan memaknai tulisan Pidi.

Gaya lukisan ini mengingatkan karya pelukis asal Amerika Serikat Jean-Michel Basquiat. Pidi tak menampik adanya pengaruh itu.

Menulis buku tanpa konsep
Pidi awal menulis pada 2003, saat seorang teman membuatkan blog untuknya. Ia tak memikirkan mau menulis apa saat itu. Apa saja yang ada di kepalanya ia tulis.

Beberapa tahun kemudian, teman lainnya membuatkan akun Twitter. Di media sosial ini, Pidi lumayan aktif merespon pertanyaan para pengikutnya.

Ia mengaku tak punya gawai canggih untuk mendukung kegiatannya itu. Barang elektronik yang ia miliki hanya ponsel dan komputer di rumahnya. "Saya pinjam tablet dari teman saja kalau mau membalas Twitter," katanya.

Penerbit Mizan membukukan beberapa kutipan Pidi di Twitter berjudul at-Twitter: Google Menjawab Semuanya, Pidi Baiq Menjawab Semaunya.

Trilogi bukunya yang laris-manis di kalangan remaja merupakan persembahan Pidi untuk kawan-kawannya di Twitter. "Mereka yang menemani saya selama ini. Yang menstimulus saya untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran saya," ujar Pidi.

Cerita Dilan berawal ketika Pidi baru saja pulang dari Rusia selama tiga bulan. Lagi-lagi ia merahasiakan tujuan kepergiannya itu. Ia ingin menulis kisah teen lit (literatur remaja) yang tidak picisan.

Pada 2014, penerbit Mizan memintanya membuat cerita remaja. Pidi setuju, dengan syarat menuliskannya lebih dulu di dalam blognya.

"Waktu ceritanya sudah 50 persen, Mizan teriak suruh saya stop. Tapi saya lanjut saja soalnya kasihan pembaca yang enggak punya uang," katanya. Pidi baru berhenti ketika ceritanya sudah hampir 80 persen dari isi buku.

Ia sudah menyangka buku ini bakal menjadi bestseller, mengingat buku-buku karangannya sebelumnya juga demikian. Tapi ia sama sekali tidak merencanakan untuk membuat cerita Dilan menjadi trilogi.

Bahkan ia tidak menutup kemungkinan membuat serial cerita Dilan itu menjadi tetralogi. "Sangat mungkin," katanya. Kadang ia bahkan merasa rindu dengan tokoh-tokoh di dalam buku tersebut.

Baginya, menulis adalah proses yang mengalir alami. Ia tak pernah berpikir tentang konsep, gaya penulisan, apalagi membuatnya menjadi karya yang bagus. "Kalau bagus mah enggak bakal saya jual (buku itu)," katanya. Kami tertawa mendengarnya.

Sampai sekarang Pidi tak pernah menyebut siapa sebenarnya Dilan. Ia hanya mengatakan itu tokoh asli. Ia juga tak menjawab dengan jelas apakah Dilan, yang namanya terambil dari penyanyi favorit Pidi, Bob Dylan, adalah dirinya.

"Enggak pentinglah siapa Rasulullah sebenarnya. Yang penting apa yang disampaikan," ujar Pidi, lagi-lagi berfilosofi.

Sosok ibu memberi pengaruh kuat kepada Pidi. Dari ibunya, ia mengenal Rolling Stones dan Bob Dylan. "Terima kasih kepada ibuku karena membuat saya menjadi sedikit rebel, daripada mainstream," kata pria dengan panggilan akrab Ayah ini.

Soal panggilan ini, Pidi mengatakan, sudah mendapatkannya sejak usia 26 tahun. Ketika itu ia sudah memiliki satu anak. Di antara kawan-kawannya, Pidi-lah yang pertama menikah dan memiliki keturunan.

"Mungkin akhirnya jadi panggilan khusus. Kebetulan saya juga imam besar kan," ujar Pidi. "Saya imam besar tahun 1995 loh, bukan ikut tren sekarang."
Spoiler for Biodata Pidi Baiq:



Youtube/Falcon


Quote:


Quote:



0
79.3K
145
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan