skydaveeAvatar border
TS
skydavee
Donald Trump, Amerika Serikat dan Retorika Politiknya


Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump terkait status Yerusalem, sukses menyita perhatian dunia.

Ragam opini dari masyarakat luas sontak memenuhi semua media. Baik media lokal, asing, bahkan penulis kelas kambing seperti saya jadi ikutan berpendapat meski nantinya suara saya hanya berhenti didalam batin.

Tak cuma terbatas pada berbagai macam opini, kecaman juga terus berdatangan. Suasana mencekam ditambah dengan aksi bakar-bakar bendera, seruan intifada dan lain sebagainya. Pokok'e ngeri!

Namun, perlu dicatat, pembahasan saya tidak mengulas sejarah tentang zionis. Tidak pula berita tentang asal mula pertempuran antara Palestina dengan Israel, indikasi keterlibatan Amerika, Rusia, ataupun penduduk Meikarta.

Karena jika saya paksa mengulasnya, saya bisa gila. Gak kasian apa? Lagian saya yakin sudah banyak artikel dan thread yang menulis hal yang sama.

Spoiler for Masjid Al-Aqsha, salah satu tempat yg disucikan oleh Umat Muslim:


Membahas, atau tepatnya ngerasaniPresiden nyentrik ini emang gak ada habis-habisnya. Pernyataan dari Presiden Donald Trump, yang bermula dari sebuah pidato pada hari Rabu 6 Desember waktu setempat, adalah awal mula dari berlanjutnya cerita sengketa antara Palestina dan Israel.

Lalu, sudahkan kita membaca dengan jelas, memahami lantas membuat kesimpulan dari pidato Trump?

Berapakah yang sudah membacanya? Baik teks langsung yang berbahasa Inggris? Kenapa bahasa Inggris?

Jelas, soalnya Presiden Trump bukan orang Salatiga. Ya gak bisa bahasa Jawa lah. Atau minimal terjemahannya? Sudahkah kita membacanya?

Diluar kecaman dan hujatan yang ditujukan kepada Presiden Trump, ada kontrak politik yang berhasil dia laksanakan. Dan inilah sebab musabab kenapa saya justru tertarik mengomentari pidato Trump, dan membahasnya dari sisi yang berbeda.

Pada tahun 1995, kongres dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen, sepakat untuk memindahkan kedutaan Amerika Serikat, sekaligus merupakan pengakuan sepihak Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Jika dihitung hingga tanggal 6 desember ketika Trump berpidato, artinya ada jeda waktu sekitar 20 tahun.

Dalam masa itu, semua Presiden yang menjabat sebelum Trump, memberlakukan hukum waiver, atau menolak menjadikan ius constitutum. Wacana yang telah di gol kan oleh kongres, ternyata menjadi mandeg dan bernilai seperti ius constituendum. Makhluk apa pulak ini?

Ius constitutum, artinya hukum positif yang berlaku pada saat ini. Sedangkan ius constitiuendum, adalah hukum yang sedang dicita-citakan.

Contoh, kalau mencuri, maka akan kena pasal 362 KUHP. Hukuman bisa dilakukan sebab peraturan ada dan telah disahkan.

Sedangkan ius constituendum, itu misal wacana bahwa para jomblo yang belum juga kahwin ketika usia telah menginjak 25 tahun akan dipersekusi.

Tapi, karena belum jadi hukum positif, maka para jomblowan hingga hari ini belum diapa-apakan bukan? Selamat ya?

Kira-kira begitulah. Soalnya, kalau gak salah, pas mata kuliah ini saya bolos ke Batu. Cari yang adem-adem karena Malang sudah terlalu panas.

Spoiler for Semoga di waiver:


Kembali ke masalah pidato, Trump ternyata memenuhi janjinya sesuai apa yang pernah diucapkan ketika kampanye pilpres.

Padahal, seringkali pejabat lalai dalam pemenuhan janjinya pada masa kampanye. Bisa juga karena saking banyaknya janji, malah lupa dulu pernah ngomong apa. Dalam hal ini, saya angkat topi buat Trump.

Masih belum selesai, coba ulangi lagi membaca pidato Trump dengan hati yang tenang. Terdapat kalimat yang menggelitik, dan seolah-olah ditujukan buat saya.

Berikut petikannya:
"Akan menjadi kebodohan untuk beranggapan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan hasil yang berbeda atau lebih baik".

Apa kesimpulannya?

Saya sudah mendengar konflik antara Palestina dengan Israel dari semenjak dibangku sekolah.

Bahkan, saya yang pada dasarnya memang suka membuat analisa ngawur, sempat berujar bahwa jika Palestina dan Israel akur, disitulah hari kiamat datang menyapa. Ngawur kan?

Berbagai macam cara diplomasi, bahkan konfrontasi telah mewarnai kehidupan kedua negara ini.

Ketika para elite asyik bernegosiasi, konflik tetap jalan terus. Seperti argo taksi meski kejebak macet. Siapakah yang dirugikan? Rakyat. Sekali lagi yang paling dirugikan adalah rakyat.

Spoiler for Tembok ratapan menjadi tempat suci bagi kaum Yahudi:


Lalu, Trump mencoba dengan cara baru. Toh selama ini perundingan demi perundingan hanya sebatas retorika. Indah didengar, namun jauh sekali dari kenyataan.

Cara yang dilakukan oleh Presiden ini, memiliki dua implikasi.

Pertama, seperti yang kita saksikan, ekskalasi semakin meningkat. Karena masing-masing yang pro dan kontra dengan Trump mempunyai alasan tersendiri.

Dengan demikian, wujud asli posisi Amerika dalam perkara yang sedang terjadi sudah kentara dengan jelas. Bahwa Amerika Serikat adalah pendukung setia Israel.

Kedua, semua pihak, baik yang bersengketa maupun pendukungnya, semakin menyadari bahwa ucapan dari Trump bisa menjadi trigger perjuangan, dan terbukti sukses menyatukan dua faksi yang selama ini menjadi duri dalam daging dalam perwujudan kemerdekaan Palestina.

Ya, Hamas dan Fatah terbukti akan melakukan rekonsiliasi demi menjaga cita-cita negara Palestina yang merdeka. Padahal, selama ini mereka sering bertikai sendiri. Hebat bukan?

Spoiler for Disini pula tempat Umat Kristen menapaktilasi jejak Yesus:


Tentu saja, semua dampak telah dipikirkan secara matang oleh Presiden Trump.

Jika cara yang lama terbukti hanya membuat situasi bagai jalan ditempat, mungkin saja dengan cara mengumumkan Yerusalem sebagai ibukota Israel, bisa memunculkan ide baru terkait kerangka apa yang ideal demi mewujudkan perdamaian abadi di kota tua tersebut.

Atau malah justru kebalikannya? Membuat Amerika Serikat semakin diisolasi secara internasional? Menjadi sasaran kemarahan banyak orang? Tapi, siapa yang berani mengisolasi Amerika Serikat kecuali Korea Utara?

Dan, seperti biasa, penolakan pidato Trump yang berujung pada demonstrasi, bisa saja beraroma dan bercita rasa pilpres. Nanti ada statement begini dan begitu. Pasti ada desakan-desakan tertentu yang ujung-ujungnya menyudutkan.

Semua pihak pasti akan merasa paling nomer satu dalam menentang. Akhirnya dapat ditebak, meraup suara demi kepentingan sesaat. Kita lihat saja nanti.

Lagian, kalau demo itu, mbok ya yang tulus. Kalau temanya bela Palestina, ya gak usah bawa-bawa bendera partai. Gak usah pula mengatasnamakan bani serbet, bani taplak, pasukan kecebong atau punggawa berkuda. Keliatan kalau tendensius. Yang sewajarnya sahaja!

Namun, terlepas dari kontraversi pidato Trump, saya menangkap dua poin sebagai berikut:
1. Pemenuhan janji politik adalah sebuah keharusan, sepahit apapun konsekuensinya.
2. ‎Jika pola yang lama tidak berhasil, gunakan cara baru. Mungkin saja ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan cara dan metode yang baru. Jangan berharap tetap dengan cara lama, hasil akan berlimpah.

Lantas, dengan penulisan ini, apakah artinya saya mendukung Trump?

Kalau saya sih NO...
Gak tau kalo mas-mbak dibawah ini.....



Selamat berakhir pekan!
©Skydavee...


referensi
Diubah oleh skydavee 11-12-2017 01:12
0
14.8K
156
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan