sejarawan1945
TS
sejarawan1945
sejarah Hotel Hamon Bandung
Hotel Savoy Homann pada era ini masih berupa rumah bilik bambu yang dimanfaatkan untuk penginapan. Dalam catatan R Teuscher, warga Jerman yang tinggal di Jl Tamblong, pada 1874 hanya ada tujuh bangunan berdinding tembok batu di Bandung. Wajar saja, kota ini pada masa itu masih berupa een kleine berg dessa alias desa pegunungan yang mungil. 

Penduduknya hanya berjumlah 18 ribu jiwa. Orang-orang Eropa yang datang ke tempat ini pun “terpaksa” berbaur dengan masyarakat pribumi. Beberapa tahun kemudian, penginapan Homann berubah menjadi bangunan berdinding setengah tembok dan papan. Selanjutnya, penginapan milik keluarga Eropa ini direnovasi lagi hingga menjadi bangunan berdinding tembok seluruhnya. “Kala itu, penginapan ini sering digunakan para pengusaha gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saat mereka mengadakan pertemuan di Bandung,” tutur Humas Hotel Savoy Homann Malinda Dinangrit. 

Dibukanya jalur kereta api dari Batavia ke Bandung pada 1884 membawa perubahan besar terhadap kondisi sosial masyarakat di kota ini. Kehidupan pariwisata di Bandung pun semakin marak sejak itu. Seiring dengan perkembangan tersebut, penginapan Homann akhirnya berubah menjadi hotel. 

Tempat ini pun kerap dibanjiri turis yang membutuhkan penginapan. Asrama opsir JepangHotel Homann semakin dipercantik dengan sentuhan arsitektur bergaya art deco yang banyak berkembang di Eropa pada 1920-an. Kesan mewah penginapan ini pun kian terpancar dengan pemberian hiasan interior, jendela kaca patri, juga penggantian mebel-mebel dan kap lampu yang semuanya berbau art deco. 

Pada era ini, Hotel Homann dikelola oleh Fr JA van Es, seorang pakar perhotelan yang sebelumnya memiliki pengalaman mengelola Hotel Des Indes di Batavia. Di bawah pengelolaan Van Es, bangunan Hotel Homann diperluas dan dimodernisasi menjadi salah satu hotel paling terkemuka di Asia Tenggara. Renovasi besar-besaran yang dimulai sejak Februari 1937 ini melibatkan dua orang arsitek Belanda, yakni AF Aalbers dan R de Waal. 

Perluasan bangunan dilakukan dengan mengambil tempat pada lahan pekarangan depan hotel, tepat di tepi Grote Postweg (kini Jl Asia Afrika). Tangan dingin Aalbers dan de Waal mampu menghadirkan ritme arsitektur yang elok dan megah dengan memanfaatkan garis-garis horizontal panjang yang diulang-ulang. Gedung baru yang kemudian diberi nama Savoy tersebut akhirnya rampung pada akhir 1939. “Inilah cikal bakal bentuk bangunan Hotel Savoy Homann seperti yang ada sekarang,” kata perempuan yang akrab disapa Linda itu. 

Namun sayang, Perang Dunia II membawa kerusakan cukup parah pada bangunan hotel ini. Tamu-tamu mancanegara yang berkunjung ke tempat ini pun menurun drastis pada masa itu. Pada era pendudukan Jepang, Savoy Homann sempat menjadi asrama para opsir Jepang. Pada 1945, hotel ini diserahkan kepada Belanda dan difungsikan sebagai gedung Palang Mereh Internasional. 

Setahun sesudahnya, barulah Savoy Homann dikembalikan pada JA van Es. Ia mengelola hotel ini sampai wafat pada 1952. Sepeninggal Van Es, Savoy Homann dikelola oleh sang istri. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Nyonya Van Es akhirnya menjual 60 persen saham hotel ini kepada RHM Saddak, seorang anggota DPR RI dan pengusaha yang bergerak di bidang ekspor impor di Jakarta. “Di bawah pimpinan Saddak inilah Savoy Homann menjadi tempat persinggahan para tokoh penting KAA,” terang Linda.

Mantan direktur PT Bidakara Savoy Homann Budi Sasongko menuturkan, daftar tamu KTT Asia Afrika tersebut diabadikan dalam Golden Book yang sekarang disimpan di salah satu ruangan hotel ini. Buku tersebut memuat tanda tangan dan komentar-komentar dari para tamu negara saat itu. “Karena menjadi saksi sejarah, buku ini kita simpan di tempat khusus agar tidak lapuk dimakan zaman,” ujarnya. 

Kini, Savoy Homann masuk dalam daftar bangunan bersejarah di Bandung. Status cagar budaya membuat hotel ini masih mempertahankan sebagian besar desain asli bangunannya. Di antaranya, terdapat sebuah gedung lama di pekarangan belakang hotel yang sekarang berfungsi sebagai kantor administrasi. 

Kamar-kamar yang pernah dihuni oleh Sukarno, Nehru, dan Cho En Lai ditetapkan sebagai kamar paling mewah di hotel ini dan diberi label Presidential Suite Room. Pengunjung yang ingin menginap di kamar-kamar tersebut pun harus merogoh uang yang tidak sedikit, yakni sekitar Rp 4 juta per malamnya. n 
0
2.8K
6
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan