moviegangstaAvatar border
TS
moviegangsta
Insecure, Insecurity, Insecurities


“Sori, tadi kesasar makanya lama. Sebel banget padahal cuma dari Blok M doang ke sini tuh kayak tinggal belok kanan. Tapi maps-nya kok jadi kayak muter-muter!”

Nggak ada kesan kesal dalam keluhan gue itu. Lebih ke malu sebenarnya. Gue baru beberapa hari naik motor di Jakarta dan sedang senang mengeksplor tujuan-tujuan baru selain kosan ke kantor dan kantor ke kosan. Makanya ketika temen gue, sebut saja namanya Dewa, ngajak gue ke Masjid Agung Al Azhar untuk menghadiri sebuah kajian di suatu hari Rabu beberapa waktu lalu langsung gue iyakan. Bukan hanya karena gue pengen sekali-sekali berkendara dari kantor ke tempat lain untuk memperluas wawasan gue soal jalanan Jakarta, tapi juga karena gue tertarik dengan pembahasan kajiannya hari itu. Dan kebetulan gue butuh ke Blok M untuk beli bubble wrap untuk kirim hadiah giveawaysekaligus mampir ke Gramedia buat beli buku titipan temen. Wah banyak ya alasannya. Dan ketika kita berdua mutusin buat keluar dari masjid di akhir acara lalu melipir untuk makan nasi goreng di pinggiran kampus Al Azhar, gue langsung cerita pengalaman gue naik motor ke daerah ini untuk pertama kalinya.

Sebenarnya acara kajian di masjidnya belum selesai ketika kami keluar. Karena Dewa bilang dia kelaperan, jadi gue juga nggak enak kalau harus menunggu sampai acaranya kelar. Beruntung kita sedang ada di areal kampus jadi pasti ada makanan sampai malam juga. Tadinya gue pengen ngajakin Dewa ngopi-ngopi di daerah Kemang. Karena dia tinggal di sekitaran Cilandak sana dan searah jalan pulang jadi biar sekalian gitu. Tapi rupanya rencana itu gagal karena kita keasyikan ngobrol di meja abang nasi goreng.

“Iya sama, aku juga tadi kesasar. Terus muter-muter karena takut kena ganjil-genap,” jawab Dewa.

“Lho kamu sekarang bawa mobil?” gue agak shock sedikit. Nggak banyak teman sepergaulan gue yang ke mana-mana bawa mobil. Kebanyakan dari kami adalah fakir Gojek dan Uber.

“Nggak mobil. Motor,” kata Dewa.

Ingin rasanya mukul meja keras-keras.

“MANA ADA MOTOR KENA GANJIL-GENAP!” kata gue agak kenceng. “KESEL!”

Gue kenal Dewa dari temen gue. Kita pertama kali ketemu bulan Agustus lalu walaupun gue sendiri sudah sering mendengar nama Dewa dari lingkaran permainan gue yang adalah teman-teman sekolahnya Dewa dulu. Kita sama-sama suka Kpop (obviously; karena selain itu kayaknya gue jarang ketemu orang baru lagi. Apalagi temenan karena kita sama-sama main futsal bareng. Gue main futsal aja nggak bisa. Paling banter main bola ya bekel) dan sama-sama suka SNSD. Mendengar cerita teman-teman tentang Dewa dan ketemu dengan orangnya langsung sangat beda banget. Dewa aslinya sangat pemalu. SANGAT PEMALU. Sampai-sampai gue gemes sendiri. Dan menurut dia, dia sendiri bukan tipe orang yang terbuka soal kehidupannya. Apalagi ke orang-orang baru. Dari beberapa pertemuan gue dengan Dewa, kesan pemalu itu memang ada.

Satu hal lagi soal Dewa: he’s supercool. Cenderung dingin. Yang. Kalau lo cerita sesuatu yang heboh dia akan diem aja. Flat.

Ekspresi flat itu juga yang muncul ketika gue teriak soal ganjil-genap itu.

“Aku kira motor juga lho?”

Gue menghela napas.

“Bodo amat Wa.”

Friendly reminder, gue biasanya ngomong Aku/Saya ke orang yang baru gue kenal. Di rumah sejak kecil sampai SMA, gue biasa berkomunikasi dengan Saya-Kamu. Baru ketika di Jakarta gue menggunakan Gue-Lo supaya kayak orang-orang. Tapi ke beberapa orang, beberapa yang dekat dan beberapa yang memang terlalu jarang gue temui, gue lebih suka menggunakan Aku-Kamu.

“Ngomong-ngomong sejak kapan bawa motor? Bukannya kemaren terakhir kita ketemu masih naik TransJakarta?” tanya gue.

“Ih. Nggak liat Insta-Story aku sih!” kata Dewa yang bikin gue langsung melotot yang bermakna ‘halo!!! Memangnya gue harus banget melihat semua update-an Instagram manusia di dunia ini?’. “Oh iya, kak Ron nggak follow Instagram aku sih ya,” katanya dengan nada sedikit mengejek.

Gue sudah mendengar sindiran seperti itu dari puluhan orang. Dari mereka yang dekat sama gue sampai mereka yang baru ketemu gue dua hari yang lalu dan memaksa minta di-follow. It’s ok. Memang kenyataannya begitu. Gue memang tidak mem-follow banyak orang di Instagram. Sorry not sorry. Gue punya alasan untuk itu. Go on and judge me.

Dan buat Dewa, gue tahu jawaban yang paling pas untuk sindiran itu.

“Kalau mau di-follow, update dulu posting-an Instagram-nya. Nih lihat,” gue nunjukin foto terakhir yang dia upload ke akunnya. “Masa update-an terakhir bulan April? Ngapain aku follow kalau nggak pernah nge-post? Malu sama akun kucing populer di Instagram, Wa!”

Dewa tertawa dan malu. Tapi itu memang kenyataannya.

“Kenapa sih nggak pernah update foto? Selfie atau apa gitu? Kan sering jalan, makan, nongkrong. Masa nggak ada yang bisa di-upload ke IG?”

Oke, gue merasa sudah terlalu jauh dan saat gue mengajukan pertanyaan itu gue merasa sangat bersalah. Ya suka-suka Dewa deh, Ron, mau nggak update Instagram berapa bulan. Bukan urusan lo juga buat tahu alasannya kenapa. Nggak usah sok deket (karena pada kenyataannya kita nggak deket-deket banget).

Gue nggak berharap dapat jawaban dari Dewa. Tapi dia menjawabnya juga.

“Aku malu, kak.”

Dan jawaban itu seperti tonjokan keras ke ulu hati gue.

Kalau boleh jujur, Dewa lebih punya tampang yang Instagram-able dibanding gue. Gue merasa sangat hina ketika mendengar pernyataan Dewa itu. Gue yang tampangnya superbiasa kayak gini aja nggak punya malu buat nampilin foto sendiri ke Instagram. Because, hey, that’s my account. Why can’t I post my own picture in my own account? Pernyataan Dewa itu bikin gue kepo banget. Kok bisa ada orang good looking malu mem-posting fotonya sendiri?

“Kenapa malu deh, Wa? I don’t see anything wrong lho. Secara tampang kamu jauh lebih enak dilihat dibanding aku, and that's obvious,” tanya gue. Perut gue mulai kruyukan karena nasi gorengnya belum juga datang.

“Malu aja kalau dikomentarin sama temen-temenku. Aku itu orangnya bener-bener pemalu. Jalan di depan orang banyak aku nggak berani, walaupun itu di deket rumah misalnya. Aku pernah nih ya, jalan di gang deket rumah terus lagi ada orang-orang ngumpul gitu, suka dipanggilin. Suka disiul-siulin. Orang-orang kalau ngeliat aku kayaknya ada aja yang bikin mereka komentar. Ngejelekin. Kayak misalnya pas aku cukur kumis kemarin, aku dipanggil ‘Neng’ sama tetangga. Kan kesel. Makanya jadi suka malu gitu kalau mau pajang-pajang foto di medsos. Malu aja sama komentarnya.”

Again, that hit me so hard. Because hey, I know how it feels. I’ve been there before.

“Bahkan aku mau ganti profile picture aja mikir-mikir dulu tahu, kak. Saking malunya.”

Gue menghela napas. WHAT IS WRONG WITH THOSE PEOPLE?!



Gue nggak punya banyak teman cowok waktu kecil. Kalau ditanya kenapa, jawabannya sederhana aja, gue nggak bisa main bola. Anak laki-laki di SD kan kalau nggak berantem ya main bola. Sementara gue nggak suka berantem dan nggak suka main bola. Jagonya nangis sama hapalin dialog telenovela. Masa-masa SD gue dihabiskan dengan membaca majalah Bobo dan Aku Anak Soleh. Komik Doraemon, Dragon Ball, Sailor Moon, sampai akhirnya gue masuk ke dunia Harry Potter pas kelas empat SD. I’m not into sports. And that’s the beginning of every humiliating moment in my life.

Gue tinggal dan dibesarkan di lingkungan orang-orang yang kalau lo melakukan hal yang berbeda dari apa yang kebanyakan orang lakukan, maka lo akan diberi label. Entah positif, entah negatif. Ketika gue jadi satu-satunya orang yang pakai kaca mata di SD, orang-orang memberi label “mata empat” atau “profesor” atau membuat gestur jari tangan menirukan bentuk kaca mata dan dengan jempol dan telunjuk lalu meletakkannya di depan mata. Ketika tinggi badan gue nggak seperti anak laki-laki kebanyakan, orang-orang memberi label “kocet” (yang secara harfiah dalam slang Bahasa Sasak berarti kecil tapi terkadang juga berarti pendek) atau “cebol”. Ketika gue nggak punya banyak teman laki-laki dan kebanyakan yang main sama gue adalah teman-teman perempuan, orang-orang memberi label ... ah ... yang satu ini agak mengungkit luka lama. But you got the idea, right?

Bagus kalau misalnya ada orang yang nggak terlalu mikirin perkataan orang dan nganggep itu sebagai sebuah lelucon yang yah besok juga akan dilupain. Tapi bagaimana kalau parahnya justru itu malah jadi sesuatu yang buruk yang bikin mereka malah melihat diri mereka seperti apa yang orang lain katakan? Karena, hey, ada lho orang yang benar-benar mempermasalahkan ini dan memikirkannya sampai pusing. Sampai stres. Ada orang yang sampai nggak berani keluar rumah untuk bergaul hanya karena dia takut orang-orang akan memanggilnya dengan nama-nama itu. Dan gue adalah salah satunya. Itulah kenapa gue berharap cepat-cepat lulus SD waktu itu dan pindah ke SMP. Berharap semua akan beda dan gue akan memasuki sebuah dunia yang baru.

But you know what, that new world didn’t really happened. I faced the exact same shit again in middle-school. They got even more label for me.

Dalam masa-masa puber, gue mulai mengalami perubahan suara. I was that boy with sonorous voice when in elementary school.Sebagai gambaran, gue bisa nyanyi ‘Laksmana Raja di Laut’ dengan nada tinggi yang tinggi banget itu atau niruin nada tinggi lagu-lagu Krisdayanti. FCK. HAHAHAHAHANJERRRRRRR. But then puberty strike and my voice become so weird in middle-school. Karena ketika suara gue pecah, pitch-nya nggak berubah jadi berat banget. Tapi nanggung. Jadinya kalau ngomong terdengar seperti apa yang orang-orang sebut dengan cempreng (walaupun gue rasa ini sebutannya agak gak pas sih). I don’t know how and why but some of these b*st*r*s keep saying that my voice sounds like a girl.

Dude. THAT’S MY PUBERTY, WHAT’S YOUR F***** PROBLEM?!

I wish I could say that back then but I can’t.

Gue cuma anak cupu yang bahkan kalau gerak sedikit aja pasti deh ada orang yang ngatain. Persis seperti apa yang Dewa bilang di ceritanya. Pasti deh ada orang yang ngejek. Pasti deh salah di mata anak-anak SMP yang paling gaul sejagat raya Kota Mataram ini. I don’t even know why was I applied to that school back then. Is it because “Oh! I want to be in this popular school!”? Shit. Besok-besok gue nggak akan encourage orang-orang untuk masuk ke sekolah favorit. Mending masuk ke sekolah yang biasa-biasa aja tapi manusia-manusiaya beradab daripada masuk sekolah favorit tapi jadi bahan caci maki.

#drama

(bersambung ke bawah)
0
17.6K
73
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan