l4d13putAvatar border
TS
l4d13put
Penyebab Mundurnya Bung Hatta Sebagai Wapres
Penyebab Mundurnya Bung Hatta Sebagai Wapres




1956:Bung Hatta Mundur

MOHAMMAD Hatta, atau Bung hatta, resmi meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada tanggal 1 Desember 1956. Sebelumnya, pada 1955, Bung Hatta telah mengumumkan apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden (Wapres).

Niatnya mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Parlemen, Mr Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno.

Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi.

Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Makassar memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi.

Universitas Indonesia juga memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul Menuju Negara Hukum.


Sumber: http://www.mediaindonesia.com/news/r...dur/2015-12-01

Hatta tidak menyetujui politik Presiden Soekarno yang mulai merintis jalan ke arah demokrasi terpimpin dengan sokoguru Nasionalis Agama Komunis (Nasakom)

Dulu jelas belum ada Twitter atau media sosial lain. Saat Mohammad Hatta, separuh dari dwitunggal itu, tak lagi di pemerintahan, ia mengkritik Sukarno lewat esai terkenalnya: Demokrasi Kita.

Quote:


Setelah pengunduran dirinya pada 1 Desember 1956, Hatta segera angkat kaki dari Istana Wakil Presiden di Merdeka Selatan. Dia pindah ke Jalan Diponegoro 57, memilih jadi orang biasa ketimbang terus menerus bersilang jalan dengan Sukarno.

Hatta kembali menggantungkan hidupnya dari menulis dan mengajar. Dengan gelar doktorandus dari Belanda dan doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada itu, ia juga akhirnya mengajar di Universitas Gadjah Mada dan beberapa kampus lain. Hatta menulis sebagai wahana kritik terhadap Sukarno.

“Pada tahun 1956 Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak menyetujui politik Presiden Soekarno yang mulai merintis jalan ke arah demokrasi terpimpin dengan sokoguru Nasionalis Agama Komunis (Nasakom),” tulis Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (2002).

Menurut Rosihan, Nasakom “berarti bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).” Beberapa tahun setelah Hatta mundur dari kursi Wakil Presiden, Demokrasi Liberal yang bercorak parlementer kemudian berganti menjadi Demokrasi Terpimpin dengan sistem presidensial setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996), Hatta memilih mundur dari kursi wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter. Pemikiran-pemikiran Hatta tidak sejalan dengan pemikiran Sukarno. Akhirnya, dwitunggal Soekarno-Hatta telah menjadi dwitanggal.

“Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara Idealisme dan Realita. Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realitas dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya,”tulis Hatta dalam Demokrasi Kita, yang ditulisnya untuk mengkritisi Demokrasi Terpimpin yang dianggapnya otoriter.

Hatta bahkan menulis “pemerintah dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima saja oleh parlemen dengan tidak menyatakan keberatan yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden dengan dalil keadaan darurat. Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat...”

Hatta mengkritik kerja pemerintah soal kesejahteraan rakyat, seperti yang menjadi tujuan negara. “Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja. Sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya irosi dan lain-lain.”

Hatta yang dinilai sebagai sosok politikus pendukung federalisme sangat peduli dengan masalah daerah. Pembangunan di daerah yang sangat tertinggal adalah salah satu penyebab munculnya gejolak. Tak lama setelah Hatta mundur sebagai Wakil Presiden, pergolakan daerah pun bertambah dengan adanya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi.

Menurut Hatta, pembangunan demokrasi terlantar karena percekcokan politik.

“Demokrasi bisa tertindas sementara, karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan,” tulis Hatta, yang meyakini Demokrasi Terpimpin sebagai kesalahan Sukarno yang fatal dan akan berakhir dengan penyesalan. Demokrasi Terpimpin membuat Sukarno tak disukai mahasiswa Angkatan 1966, yang belakangan berperan aktif melengserkan Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup.

Demokrasi Kita pertama kali dimuat di majalah Pandji Masjarakat pimpinan Buya Hamka pada 1960. Tak lama, majalah itu pun kemudian dilarang.

“Penilaian politik yang dikemukakan oleh Bung Hatta ini mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik di dalam atau di luar negeri,” tulis Hamka dalam pengantar Demokrasi Kita yang diterbitkan Pustaka Antara pada Juni 1966.

Tebal Demokrasi Kita hanya 35 halaman, dengan foto Hatta di halaman-halaman depan. Ia terbit hampir bersamaan dengan serangan bertubi-tubi terhadap rezim Sukarno oleh angkatan 1966.

Quote:


Setelah Sukarno tumbang dan Soeharto memimpin Orde Baru, Hatta yang menua pernah diberdayakan Soeharto. Hatta dijadikan Penasehat Presiden untuk pemberantasan korupsi dalam Komisi Empat. Komisi ini hanya bekerja sebentar setelah hanya mengawal dua kasus korupsi, karena dibubarkan Soeharto.

Di masa Orde Baru, sikap kritis Hatta tak begitu menonjol. Namun, Hatta terlibat dalam kehebohan memberi tandatangan dukungan terhadap Sawito Kartowibowo. Nama terakhir ini mengaku mendapat wangsit untuk menggantikan Soeharto sebagai penguasa pada 1976. Tak hanya Hatta, beberapa tokoh nasional lain seperti Tahi Bonar Simatupang, Buya Hamka, Kardinal Yustinus Darmoyuwono, dan lainnya, juga memberikan tandatangan. Kasus Sawito ini membikin heboh karena dianggap makar.

Belakangan, para penandatangan tersebut disebut khilaf dan terbujuk oleh Sawito.

“Bung Hatta tertipu,” kata Taufik Abdullah kepada Tempo (31/02/2001). “Bung Hatta sangat sakit hati kepada Sawito karena merasa dipermainkan,” kata Meuthia Hatta, juga kepada Tempo.

Lepas cerita soal Sawito, menjelang akhir hidupnya Hatta masih dikenal publik sebagai sosok yang hidup sederhana. Bahkan ia kesulitan membayar air PAM bulanan.

“Beliau mendapat kesulitan mengenai pembayaran (air) PAM.... Begitu sederhananya hidup pemimpin kita pada waktu itu," kata Ali Sadikin dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH, Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 (1992). Akhirnya, Hatta dijadikan Warga Kota Jakarta Utama dan dibebaskan dari membayar uang listrik dan air PAM.

Sumber: https://tirto.id/cara-legendaris-ala...k-sukarno-ciyQ


Hentikan Fitnah kepada Bung Hatta!

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Proklamator RI Mohammad Hatta, yang juga wakil presiden ke-1 RI, diharapkan dapat menghentikan segala bentuk fitnah yang ditujukan kepadanya. Semasa hidup, Bung Hatta selalu mencurahkan waktunya untuk kemajuan bangsa.

Demikian hal ini disampaikan putri mendiang Bung Hatta, Meutia Hatta, kepada Kompas.com di Studio Kompas TV, Jakarta, Rabu (8/11/2012). "Dengan adanya penganugerahan Pahlawan Nasional, saya berharap beliau dilihat sebagai sosok yang berjuang untuk kepentingan bangsa," kata Meutia seusai hadir pada acara dialog di Kompas TV.

Meutia mencontohkan salah satu fitnah tersebut, yakni Bung Hatta hendak menurunkan mendiang Presiden Soeharto dari jabatannya.

"Ini tidak masuk akal. Saat itu, beliau sudah lanjut usia, yaitu 74 tahun. Bagaimana beliau bisa dituduh mau menjatuhkan Presiden Soeharto?" kata Meutia.

Ada pula persepsi di masyarakat yang keliru soal pengunduran diri Hatta sebagai wakil presiden. Dikatakan, pengunduran itu dilakukan semata-mata lantaran Bung Hatta tak merasa cocok dengan Bung Karno.

"Itu bukan satu-satunya alasan beliau mengundurkan diri. Ini juga dipicu sikap DPR yang tidak menetapkan keduanya sebagai presiden dan wakil presiden dengan peranan seharusnya dalam kabinet presidensial," katanya.

Jalan Protokol

Pada kesempatan itu, Meutia mengutarakan, belum ada jalan protokol di kota-kota besar yang menggunakan nama Bung Hatta. Meutia mengindikasikan adanya harapan nama Moh Hatta digunakan sebagai nama jalan protokol di kota-kota besar.

"Belum ada jalan yang menggunakan nama Soekarno dan Hatta secara terpisah," katanya.

Kendati demikian, Meutia menekankan, nama jalan hanyalah sebuah identitas. Hal yang terpenting adalah meneladani prinsip-prinsip yang digagas oleh pahlawan nasional tersebut.

"Prinsip-prinsip ini, misalnya, bagaimana Indonesia dapat menjadi tuan di negeri sendiri, bagaimana ada kemandirian, dan kebersamaan gotong royong," kata Meutia. Hal lainnya adalah soal adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memperoleh hidup yang layak dari segi kemanusiaan.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin upacara penganugerahan gelar pahlawan yang berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/11/2012).

Keputusan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Bung Karno tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 83/TK/2012, sedangkan keputusan bagi Bung Hatta tertuang dalam Keppres No 84/TK/2012. Kedua Keppres ini ditandatangani Presiden Yudhoyono pada 7 November 2012.

Penganugerahan ini menjadi tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, gelar ini tidak hanya bermakna sebagai pengakuan dan penghargaan pemerintah atas jasa dan pengabdian pendiri bangsa, tetapi terutama juga menandai dihapuskannya stigma negatif atas diri Bung Karno.

”Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini menegaskan bentuk pengakuan, penghargaan, penghormatan, dan ucapan terima kasih atas perjuangan dan pengorbanan beliau-beliau. Kita patut mengenang dan melestarikan nilai-nilai kejuangan yang telah diteladankan Bung Karno dan Bung Hatta,” kata Presiden Yudhoyono.

Ada ajakan menarik yang disampaikan Yudhoyono dalam sambutannya, yakni segenap bangsa diajak untuk meninggalkan stigma negatif yang mungkin masih melekat terhadap kedua Bapak Bangsa itu. Dalam pandangannya, jasa, perjuangan, pengorbanan, serta pengabdian keduanya jauh melampaui dan lebih besar dibanding kekurangan dan kelemahan keduanya.

Stigma negatif, kalaupun masih ada, sejatinya lebih tertuju kepada Bung Karno. Stigma itu muncul berkaitan dengan adanya Ketetapan MPRS No XXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno. MPRS yang saat itu diketuai Jenderal TNI AH Nasution dalam pertimbangan ketetapan itu menyebutkan, pidato Presiden Soekarno di hadapan Sidang MPRS tidak jelas memuat pertanggungjawaban kebijaksanaan Presiden atas pemberontakan kontrarevolusi G 30 S.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012...ada.Bung.Hatta

Cara Legendaris ala Hatta Mengkritik Sukarno

Diubah oleh l4d13put 03-10-2017 18:45
0
68.9K
214
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan