Media IndonesiaAvatar border
TS
Media Indonesia
Demokrasi Berarti Militer dalam Kontrol Sipil



BEBERAPA minggu terakhir, menjelang HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia (TNI), langkah kalangan militer dalam beberapa isu krusial, mengusik perhatian publik. Perbicangan publik memusat pada salah satu tema tunggal tentang hasrat politik kekuasaan militer. Sebagian dari diskusi itu sampai pada kecemasan. Diskusi semakin tajam ketika persoalan ini terhubungkan secara langsung dengan pertarungan politik nasional menuju Pilpres 2019. Lantas, masa depan demokrasi di Indonesia menjadi salah satu pertanyaan dan kegelishaan sentral.



Kontrol sipil

Salah satu syarat paling minimal untuk kematangan demokrasi berkaitan dengan kontrol sipil atas militer. Untuk isu ini, Richard H Kohn (1997) mengulas pengelolaan politik demokratik tentang bagaimana mengamankan 'subordinasi' militer dalam konteks otoritas politik.

Pada abad ke-20, kontrol sipil atas militer menjadi perhatian utama Amerika Serikat dan Prancis, sedikit waktu sesudah tirani komunis di Uni Soviet, lalu refleksi atas kediktatoran fasis di Jerman dan Italia. Kontrol sipil atas militer dalam ranah demokrasi memang memiliki arti penting. masyarakat dunia, pascaperang dingin, terus berjuang membangun institusi-institusi demokrasi.



NATO, misalnya, sejak satu dekade yang lalu menyatakan bahwa kontrol sipil merupakan tuntutan fundamental bagi semua anggotanya. Dalam mendorong demokratisasi, kekuatan politik Barat menjadikan 'kontrol sipil' sebagai salah satu ukuran utama kemajuan demokrasi.

Sementara itu, di kawasan lain yang demokrasi dianggap sedang menyebar dengan cepat, seperti di Amerika Selatan (dan Tengah), Asia, dan Afrika, hal ini mendapat belum perhatian utama. Masih dalam studi Kohn (1997), secara teoretik, kontrol sipil sebetulnya sederhana. Semua keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional, harus dibuat atau disetujui pejabat di luar institusi militer. Pada prinsipnya, kontrol sipil mutlak dan mencakup semua hal.



Dengan itu, semua keputusan politik tentang keamanan dan pertahanan ada di ruang kepemimpinan sipil. ahkan keputusan komando seleksi strategi, operasi keamanan, taktik, dan pengelolaan internal militer--sepenuhnya berasal dari otoritas sipil. Hal-hal ini bisa saja didelegasikan kepada militer untuk alasan keamanan, tradisi, efektivitas, pengalaman dan keahlian militer. Namun, ini tidak mengubah substansinya bahwa kepemimpinan sipil menaungi semua proses pembuatan peraturan. Pertanyaan terpenting ialah bagaimana kepemimpinan sipil mampu mengendalikan orang-orang yang memiliki kekuatan tertinggi dalam hal 'pemaksaan fisik', dan memastikan kesetiaan mereka kepada pemerintah yang berkuasa?



Pertanyaan ini menjadi krusial untuk model kepemimpinan politik demokratik Indonesia saat ini. Pertanyaan ini tentu saja tidak hanya tentang apa yang dicantumkan dalam regulasi (UU). Problem ini jauh lebih pelik ketika dikaitkan dengan sejarah kekuasaan dan kultur politik Indonesia selama ini. Domain politik dan pertahanan memang merujuk secara jelas pada kekuatan sipil dan militer, tetapi selalu ada titik persinggungan dan konflik yang rumit.



Tidak mudah

Kontrol sipil atas militer menghadirkan tantangan. Untuk demokrasi yang matang, kontrol sipil memiliki akar historis kuat, lalu militer hanya terfokus pada urusan pertahanan negara, variabelnya ialah apakah kepemimpinan sipil bisa menunjukkan supremasi dalam kebijakan dan pengambilan keputusan seputar urusan militer? Di sini, sipil menentukan diskusi sekaligus membuat pilihan akhir. Namun, tantangan kemudian muncul ketika militer begitu menikmati prestise (privilese) historis yang kemudian memicu mereka meragukan (baca: merongrong) kepemimpinan sipil. Di titik ini, sipil dapat menghadapi hambatan besar dalam menjalankan kewenangan-kewenangan demokratik.



Di Indonesia, tantang ini menjadi lebih rumit dari perkiraan teoretik ini. Senada dengan studi Atef Said (2012), ada wawasan yang penting tentang 'the paradox of democracy' (paradoks demokrasi) ketika sesi transisional politik masih berada di bawah kendali kekuatan militer.

Hal ini logis dan punya basis justifikasi yang kuat karena pada kenyataannya militer memang sudah lama menjadi salah satu sumber kekuasaan paling penting. Demokrasi dalam pengertian adanya kontrol sipil atas militer hampir pasti tidak pernah sepenuhnya menjadi kultur politik di Indonesia untuk beberapa waktu ke depan. Di Indonesia, seperti di beberapa negara lain yang baru meninggalkan kekelaman rezim totaliter-militeristik, jejak-jejak supremasi militer di Indonesia mudah ditemui. Bahkan, hampir dua dekade sesudah reformasi, 'dominasi' militer masih menjadi bagian dari kisah demokrasi dan politik di Indonesia.



Publik menjadi ragu ketika melihat bagaimana para elite militer menunjukkan pergerakan 'politis' dan meluncurkan pernyataan-pernyataan yang memicu ketegangan di area publik. Kecenderungan semacam itu masih cukup jamak terlihat ketika 'hegemoni' militer terhubung dengan kuat ke basis-basis sosial sekaligus birokrasi. Untuk ini, RAND Corporation (2002) melakukan studi penting tentang korelasi militer dan masa depan demokrasi di Indonesia. Reposisi sikap militer di hadapan kekuasaan akan menentukan masa depan demokrasi.



Konsekuensi imperatif

Samuel P Huntington dalam salah satu karya klasiknya The Soldier and the State seperti dikutip Kohn (1997) menganjurkan apa yang disebutnya dengan 'kontrol sipil yang objektif' dengan mendorong munculnya di sisi lain apa yang dinamakan dengan 'ranah independen militer'. Di sini, sipil harus membangun kapabilitas mengorganisasikan politik dan kekuasaan sehingga mereka tidak tergoda melibatkan institusi militer dalam aktivitas kekuasaan. Sipil tidak sepatutnya 'menganggu' militer dengan mengundang mereka ke dalam pertarungan politik di luar urusan keamanan nasional.



Militer, tidak dapat dipungkiri, merupakan satu-satunya institusi paling solid saat ini. Ketika kematangan demokrasi justru tidak ditentukan keterlibatan militer dalam politik, melainkan tentang sipil yang mengendalikan militer, maka ada konsekuensi imperatif yang jelas. Militer harus mengisi kesadaran mereka bahwa demokrasi akan tumbuh menuju kematangan ketika mereka rela menerima prinsip fundamental demokrasi bahwa militer niscaya ada dalam kontrol sipil. Perayaan HUT ke-72 TNI tahun ini semestinya menjadi titik mula kesediaan militer Indonesia menemukan makna penting demokrasi kesediaan mereka ada di bawah kontrol sipil.

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...pil/2017-10-03

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Wonogiri Butuh Ribuan Guru PNS

- Galakkan Gerakan Sedekah Sampah

- Warga Keluhkan Limbah Pabrik Pempek

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan