Purbalingga, GATRAnews – Seringnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga memecahkan rekor Musium Rekor Indonesia (Muri) mulai menuai kontroversi di tengah masyarakat. Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Purbalingga (Gemalingga) mempertanyakan esensi pemecahan rekor Muri yang kini, berdasar catatan Gemalingga, selama kepemimpinan Bupati Tasdi, telah dilakukan sebanyak 20 kali.

 
Ketua MPK Gemalingga, Dihimas Agung Ramadhan, mengatakan Bupati Purbalingga, H Tasdi SH MM menarget memecahkan rekor Muri 70 kali dalam 10 tahun. Ia pun mempertanyakan dari mana sumber biaya pemecahan rekor Muri itu.
 
“Apakah Proses pendaftaran Muri gratis? Segala sesuatu persiapan untuk MURI tidak memerlukan biaya? Berapa waktu yang harus dikorbankan oleh para PNS hanya untuk mengurusi MURI?,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (25/9).
 
Dia berpendapat, lebih baik jika anggaran yang digunakan dapat dimanfaatkan untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa Purbalingga untuk kuliah dengan jaminan mereka harus kembali lagi untuk membangun Purbalingga. Pasalnya, dari data BPS tahun 2016 IPM (Indeks Pembangunan Manusia) berada di peringkat 27 dari 35 kabupaten di Jawa Tengah.
 
 
Menurut Dhimas, jika melihat dari sudut pandang lain pemecahan rekor MURI sebenarnya memiliki sisi positif, yaitu mampu menambah semangat kebersamaan masyarakat Purbalingga. Namun hal itu harus diimbangi dengan kualitas program yang ingin dipecahkan dalam rekor MURI serta mampu memberikan dampak serta bermanfaat bagi masyarakat Purbalingga.
 
“Jika unsur itu tidak terpenuhi pemerintah tidak perlu lagi menyelenggarakan acara demikian sehingga pemerintah dapat lebih fokus dengan program pemerintah yang lebih penting dari sekedar pemecahan Rekor MURI,” imbuhnya.
 
Menjawab pertanyaan Gemalingga terkait esensi kegiatan rekor Muri itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, Trigunawan Setyadi mengklaim pemerintah daerah sudah  memikirkan dampak rekor Muri secara cermat dan tepat. Rekor Muri merupakan wahana agar masyarakat bisa nyengkuyung bersama kegiatan pemerintahan daerah sebagaimana visi misi Purbalingga, yang akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berakhlak mulia.
 
"Contohnya rekor muri yang telah kita laksanakan waktu dekat ini yakni rekor Muri penanam pohon suren terbanyak dan makan nasi penggel terbanyak. Kalo kita cermati bersama efek dari rekor Muri, kita bisa menggerakkan masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan yakni adanya penanaman pohon secara serentak yang dilakukan oleh ribuan orang," ujarnya.
 
Contoh lainnya, nasi penggel. Menurut Trigunawan ada kearifan lokal yang hadirkan dalam acara itu, yakni bungkus penggel yang terbuat dari daun aren dan tidak menggunakan stereoform dan sejenisnya hal tersebut menandakan adanya kepedulian terhadap lingkungan. Yakni bungkus bisa terurai dengan baik dan bisa menjadi salah satu pupuk organik.
 
"Kemudian penggel, dan lauknya sudah jelas-jelas makanan tradisional Purbalingga yang perlu kita lestarikan agar anak cucu kita mengetahuinya. Dan yang lebih penting, nasi penggel merupakan varian makanan pokok selain beras sehingga masyarakat tidak ketergantungan terhadap beras. Dan hal tersebut menjaga ketahanan pangan Purbalingga yang berdampak pada ketahanan pangan Nasional," katanya.
 
Terkait dengan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada Muri, menurut Trigunawan  bukan menjadi persoalan yang serius jika kita ambil manfaatnya dari rekor Muri tersebut,  manfaatnya lebih besar dari mudaratnya. Coba bisa kita hitung dari kegiatan rekor Muri tersebut, yakni roda perekonomian masyarakat bisa berputar dari pedagang kaki lima sampai yang menyediakan penggel, bibit , serta distribusi baik baik barang maupun orang. “Akhirnya uang yang telah dikeluarkan akan kembali ke masyarakat, memutar perekonomian masyarakat,” pungkas Tri Gunawan.
 

 
Reporter: Ridlo Susanto
Editor: Rosyid

Sumber : http://www.gatra.com/nusantara/jawa/...am-mahasiswa-p

---


- Filosofi dalam Sedekah Larung Sungai Gintung Purbalingga