BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menolak pemasungan KPK

Ilustrasi: Memasung KPK
Pada mulanya, gagasan untuk menggelar hak angket KPK muncul pada rapat dengar pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan April lalu.

Tepatnya, saat Ketua KPK Agus Rahardjo menolak permintaan sejumlah anggota DPR untuk memperdengarkan rekaman pemeriksaan Miryam Miriani dalam sidang kasus korupsi e-KTP -yang kepada penyidik mengaku pernah diancam oleh koleganya.

Meski pada awalnya banyak pihak meragukan terlaksananya hak angket itu, namun pada gilirannya hak angket itu terlaksana. Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK pun kemudian terbentuk.

Ada yang mengira, hak angket akan mengarah ke intervensi DPR terhadap proses pengadilan E-KTP. Dugaan itu keliru. Sejumlah manuver yang dilakukan Pansus Hak Angket KPK tidak melulu bergerak ke arah perkara e-KTP, yang dalamnya sejumlah nama anggota DPR disebut-sebut.

Awal Juli Pansus Hak Angket KPK menyambangi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tujuannya, untuk mendapatkan pemaparan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap KPK dari 2006 sampai 2016. Pansus merasa perlu menggali pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh KPK.

Selang beberapa hari, Pansus melakukan rapat dengan sejumlah narapidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Pansus mengorek cerita dan pengalaman sejumlah narapidana kasus korupsi mengenai proses hukum yang pernah dijalaninya.

Pansus kemudian juga menyambangi Mabes Polri. Kunjungan itu ditujukan untuk "melakukan komunikasi dan koordinasi soal dukungan dan peran Polri supaya tugas penyelidikan Pansus". Kunjungan itu berlanjut ke Kejaksan Agung. Pansus juga mengundang sejumlah ahli hukum.

Awal September ini Pansus juga mengadakan rapat dengar pendapat dengan umum (RDPU) yang dihadiri oleh Ketua Persatuan Jaksa Indonesia Noor Rachmad -yang juga Jaksa Agung Muda Pidana Umum. Dalam RDPU itu tampak upaya untuk membanding-bandingkan antara jaksa di KPK dengan jaksa di Kejaksaan.

Tidak hanya melibatkan pihak-pihak di luar KPK, Pansus juga melibatkan pihak internal KPK dalam langkah-langkah manuvernya. Pansus berhasil menghadirkan Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Brigjen (Pol) Aris Budiman dalam RDP pada akhir Agustus lalu. Dalam RDP itu, Aris mengungkapkan sejumlah friksi di internal KPK.

Sulit menghindarkan kesan bahwa DPR -lewat Pansus itu- sedang berupaya menghadap-hadapkan KPK dengan lembaga penegak hukum lain, dan mengangkat persoalan internal KPK ke permukaan. Dengan cara itu, kita bisa merasakan, DPR sedang mencari dukungan dari pihak-pihak -termasuk dari publik- yang bisa diajak untuk berseberangan dengan KPK.

Untuk apa?

Arah dari manuver Pansus tersebut tampak menuju kepada pelemahan KPK. Salah satu usulan rekomendasi yang muncul adalah meniadakan kewenangan penindakan KPK.

Tanpa kewenangan penindakan, KPK tidak bisa meyelidik, menyidik dan menuntut kasus korupsi. KPK hanya akan mempunyai kewenangan supervisi dan pencegahan saja.

Inilah arah yang selama ini dicoba lewat upaya revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Rencana merevisi UU KPK mulai terdengar sejak awal 2015. Lewat pernyataan Taufiqurrachman Ruki, yang saat itu menjadi Pelaksana Tugas Ketua KPK, pada pertengahan 2015 Presiden Joko Widodo menyatakan penolakan atas rencana dan usul revisi UU KPK tersebut.

Rencana merevisi UU KPK kembali memanas pada akhir 2015. Sayang sekali, Presiden Joko Widodo saat itu bersikap melunak. Hal itu terlihat dari pernyataannya bahwa pemerintah dan DPR bersepakat untuk menunda pembahasan revisi UU KPK itu.

Kali ini, lewat Pansus Hak Angket, revisi UU KPK kembali mengemuka. Sayang sekali lagi, pemerintah kembali terlihat melunak. Publik tidak melihat Presiden Joko Widodo berupaya keras untuk melakukan pendekatan politik, dengan mencegah partai pendukungnya untuk menggunakan hak angket terhadap KPK.

Kita sangat berharap pemerintah masih konsisten dan memenuhi janjinya untuk tidak memperlemah KPK. Bagaimanapun, para pembayar pajak masih menginginkan KPK yang kuat untuk melakukan tugasnya dalam memberantas korupsi. UU KPK yang ada memungkinkan lembaga antikorupsi itu melakukan tugasnya -yang tidak bisa dilakukan sebelum UU KPK ada.

Jika yang menjadi soal adalah belum optimalnya KPK sebagai trigger mechanism untuk memperkuat kepolisian dan kejaksaan, maka sebaiknya yang kita lakukan bersama adalah dorongan kepada semua pihak agar penguatan tersebut bisa dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah tidak menghadap-hadapkan -bahkan membenturkan- lembaga penegak hukum yang ada.

Kita membutuhkan KPK dengan kewenangan untuk melakukan penindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang pada masa sebelumnya menghambat upaya pemberantasan korupsi. Pada saat yang sama, kita berharap kepolisian dan kejaksaan juga semakin memperlihatkan penguatan dalam pemberantasan korupsi.

Di tengah kegeraman kita terhadap praktik korupsi yang masih terjadi di sana sini, nafsu besar untuk memasung KPK itu sungguh tidak bisa kita terima.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...pemasungan-kpk

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Mewaspadai kekeringan

- Kita dan tragedi kemanusiaan di Rakhine

- Angkat kembali prestasi olahraga Indonesia

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.3K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan