ajengputri08Avatar border
TS
ajengputri08
Dedi Mulyadi; Kandidat Cagub Jabar Yang Tak Dirindukan


Seperti cerita1 novel milik Asma Nadia 2015 lalu yang kemudian diangkat di layar lebar dengan judul "Syurga Yang Tak Dirindukan" yang mengisahkan seorang Istri bernama Arini yang harus (akhirnya) mau dimadu oleh suaminya, Prasetya.

Kehidupan rumah tangga yang awalnya rukun, berubah menjadi pelik, atas keadaan yang menghimpit Prasetya saat dipertemukan dengan sosok Mei Rose, seorang musafir berbadan dua yang hampir bunuh diri dan terselamatkan oleh Prasetya, hingga keadaan memaksa keduanya menikah. Lalu bagaimana nasibnya Arini?.

Kita tak perlu tahu sepertinya kisah akhir novel itu, namun nasib Arini yang menyerahkan hidup sepenuhnya bagi kebahagiaan keluarga dan suami sebagaimana kudratnya seorang istri, harus terbalaskan dengan kenyataan pahit itu.

Demikian pula nasib (saat ini) akan sosok Dedi Mulyadi, yang disebut-sebut kandidat kuat cagub jawa barat 2018 mendatang. Bak Arini dalam politik, Dedi Mulyadi nampaknya tak lebih beda jika dikatakan Cagub Jabar yang tak dirindukan. Pertanyaannya oleh siapa dia tidak dirindukan?.

Inilah yang akan penulis bahas. Bahwa, sepertinya Dedi harus jatuh bangun untuk mendapatkan kepercayaan "keluarganya" di pohon beringin. Ya, kepercayaan sosok Prasetya (baca:Setya Novanto) sebagai kepala keluarga di pohon beringin itu.

Seberapa pun komitmen Dedi Mulyadi yang selama ini terus berjuang keras meningkatkan elektabilitas, bukan hanya pribadinya, tetapi juga partai Golkar itu sendiri di jawa barat. Nampaknya, belum mampu meluluhkan sikap Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai golkar terkait keputusan memberikan rekomendasi tiket calon gubernur jawa barat pada Dedi Mulyadi.

Berbagai spekulasi alasan muncul membayangi internal DPP Golkar dan Dedi Mulyadi. Bagaimana tidak, seorang Dedi Mulyadi yang merupakan ketua DPD Golkar di tingkat provinsi Jawa Barat dengan elektabilitas masuk 3 besar tertinggi figur potensial calon gubernur, seharusnya tak perlu sulit mendapatkan rekomendasi DPP.

Apalagi, awal september lalu saat rapat internal, DPP Golkar telah memberikan rekomendasi kepada calon kepala daerah di pilkada serentak termasuk untuk calon gubernur Riau. Namun rekomendasi ini, lagi-lagi minus Dedi Mulyadi untuk pilgub jabar.

Spekulasi Tarikan kepentingan di tataran elite DPP tentunya membayangi perjalanan Dedi Mulyadi dalam penantian mendapatkan rekomendasi tiket calon gubernur jabar dari partai golkar. Berikut penulis menganalisa beberapa spekulasi yang mungkin terjadi di internal DPP Golkar terkait Pilgub Jabar.

Pilgub Jabar Tabungan Pilpres 2019
Pemilih Jawa Barat yang potensial hingga 31 juta lebih suara dan terbanyak diantara provinsi lain tentu cukup menyedot perhatian elite politik dalam kepentingan Pilpres 2019 mendatang. Ini pula yang dimungkinkan golkar menimang percaturan dalam menentukan calon gubernur pada pilkada 2018.

Golkar berharap, memiliki calon kuat dengan elektabilitas yang tinggi di masyarakat jawa barat. Ini penting untuk memenangkan pilkada jawa barat.

Spekulasi ini memang realistis jika kemudian sekjen golkar, Idrus Marham menyebut partainya tak ingin buru-buru memutuskan siapa yang diusung di Pilgub Jabar. Idrus menilai dinamika Pilgub Jabar masih cair karena menurutnya perlu dilakukan komunikasi intensif baik dengan calon maupun partai politik. Yang ujungnya pada pemetaan politik secara nasional menghadapi pilpres 2019.

Sebenarnya jika konsisten ingin mengutamakan kader golkar yang dinilai bisa memenangkan pertarungan pilgub jabar, DPP tidak mesti pusing memilihnya. Di internal, tentu ada nama Dedi Mulyadi. Walau sebelumnya bersaing dengan nama sekaliber artis senior Nurul Arifin, hingga akhirnya Nurul Arifin harus legowo turun tingkat menjadi calon walikota bandung.

Praktis, kini hanya tinggal Dedi Mulyadi, kader yang menurut dewan pakar Golkar, Agung Laksono sebagai Kader yang matang di pohon. Diluar nama Dedi Mulyadi, penulis kira tidak ada kader golkar yang potensial bisa diusung dalam pilgub jabar.
http://nusantara.rmol.co/read/2017/08/12/302802/Agung-Laksono:-Dedi-Mulyadi-Kandidat-Yang-Sudah-Matang-Di-Pohon-

Pun demikian di eksternal golkar, Dedi Mulyadi tak kalah bersaing. Dibandingkan dengan nama-nama yang sudah ramai terdengar seperti Ridwan kamil dan Deddy Mizwar yang notabene keduanya bukan berangkat sebagai kader partai. Dedi Mulyadi menempati urutan ketiga hasil survei akhir Juli lalu dengan raihan 14 persen elektabilitasnya.

Yang lebih meyakinkan Golkar harus mengusung Dedi Mulyadi dalam Pilgub Jabar adalah pernyataan ketua Umum Setya Novanto sendiri saat mengikuti kegiatan safari politik Dedi Mulyadi di desa Lebak Mekar kec. Greged cirebon. Kala itu dihadapan ribuan warga yang hadir, Setnov menyaksikan langsung kepiawaian strategi Dedi Mulyadi mendekati warga. Dari mulut Setnov pun keluar pernyataan kepada warga bahwa Dedi Mulyadi adalah calon gubernur jawa barat dari Golkar.
http://regional.kompas.com/read/2017/06/19/23214401/setnov.perkenalkan.dedi.mulyadi.sebagai.calon.gubernur.jabar.dari.golkar

Tarikan Kepentingan Ketua Umum.
Namun memang, proses politik tak selamanya mulus, jalannya penuh intrik, tarik menarik kepentingan. Termasuk Spekulasi selanjutnya terkait langkah Dedi Mulyadi dalam penantian rekomendasi cagub jabar dari Golkar.

Spekulasi ini cukup dikatakan mengerikan. Sebabnya, ketua umum golkar, Setya Novanto yang sempat menegaskan Dedi Mulyadi adalah Cagub Jabar dari Golkar, sepertinya pernyataan itu "dikaji ulang". Ada kepentingan pribadi seorang ketua umum yang berstatus tersangka kasus e-ktp. secara pribadi, Setnov butuh perlindungan hukum. Maka, hal mengerikan terjadi dengan dimungkinkannya Setya Novanto menggadaikan posisi ketua umum dalam setiap pengambilan keputusan partai terkait penentuan rekomendasi tiket calon kepala daerah pada Pilkada serentak 2018. Termasuk yang dimungkinkan sekali adalah pilgub jabar.

Lalu, pada siapakah Setnov menggadaikan posisinya?. Tentunya pada elit yang "memainkan" hukum itu sendiri agar setnov bisa terlepas atau minimalnya ditangguhkan dalam jerat hukum.

Beberapa waktu lalu, figur yang santer telah mendeklarasikan dirinya sebagai cagub jabar oleh salahsatu parpol pernah berbicara kalau dirinya memilih partai itu karena punya media dan kejaksaan. Tentu hal ini perlu juga dicurigai sebagai keputusan yang sama oleh setnov agar bisa lepas dari jerat hukum.
Sehingga hal mengerikan terjadi bahwa setnov akhirnya tertawan oleh kepentingan politik dalam memberikan rekomendasi partainya pada pilihan dalam pilkada, sekalipun kepada kadernya sendiri seperti di Pilgub Jabar ini.

Manuver Ridwan Kamil (baca:Nasdem)
Spekulasi berikutnya adalah manuver politik yang dilancarkan pihak luar golkar. Ini berkaitan dengan spekulasi tarikan kepentingan Setnov. Bahwa yang penulis maksud kepada siapakah Setnov menggadaikan posisinya sebagai ketua umum, adalah kepentingan lain dari Partai Nasdem yang ingin "Mengajak Golkar" mengusung Ridwan Kamil.

Nasdem yang posisinya terjepit oleh karena belum mendapatkan dukungan partai lain, tentu berupaya keras bisa meraih dukungan partai lain, terutama Golkar. Kenapa harus Golkar dan bukan PDIP pemilik kursi terbanyak?.

Karena Golkar jika dilihat jumlah kursi, menggenapkan dukungan minimal jumlah kursi antara Nasdem dan Golkar untuk pencalonan Ridwan Kamil sebagai Cagub Jabar. Sementara dari sisi daya tawar, Golkar masih rentan dan dapat dengan mudah diajak merapat oleh Nasdem dengan dalih (bisa jadi) "Ancaman" status hukum sang ketua umum Golkar saat ini.

Nah, jika Nasdem mengajak PDIP untuk bergabung, sepertinya daya tawar Nasdem belum mampu menempatkan Ridwan Kamil sebagai Cagub. Sebabnya, malah PDIP yang memiliki daya tawar untuk memposisikan figurnya sebagai Cagub dan Nasdem Cawagubnya.

Demikian pula, jika Nasdem mengajak partai-partai lain, maka dibutuhkan koalisi yang gemuk. Dan ini tentu tarikan kepentingannya akan semakin rumit bagi Nasdem. Ini bisa dibuktikan ketika PAN yang tadinya sudah merapat ke Ridwan Kamil dengan mensyaratkan Bima Arya menjadi Cawagub, harus putus ditengah jalan karena PKB yang memiliki kursi lebih banyak dan siap bergabung dengan Nasdem, tak setuju cawagubnya dari PAN.

Kembali ke spekulasi, bahwa manuver yang dibuat oleh Ridwan Kamil yang tertarik dipasangkan dengan kader Golkar dari Pantura, membuat internal DPP Golkar menjadi gaduh. Alih-alih menolak manuver itu dengan tetap mengusung Dedi Mulyadi, koordinator bidang pemenangan pemilu Golkar wilayah Jawa dan Sumatera, Nusron Wahid malah menyatakan Golkar masih membuka peluang mengusung Ridwan Kamil.

Tentu ini membuat kader golkar di daerah jawa barat bereaksi menentangnya. Pasalnya, DPD Golkar se jawa barat telah sepakat dalam Rapimda Golkar Jabar di Karawang untuk mengusung Dedi Mulyadi menjadi calon gubernur jawa barat dan meminta DPP mengeluarkan rekomendasi cagub jabar dari golkar kepada Dedi Mulyadi.

Masalah Finansial Dedi Mulyadi
Yang menjadi spekulasi dari manuver Ridwan Kamil (baca:Nasdem) ini adalah besarnya tekanan terhadap Golkar yang memiliki daya tawar yang rentan. Ditambah masalah berikutnya adalah Finansial dari figur Dedi Mulyadi sendiri.

Finansial atau keuangan seorang figur dalam menghadapi pencalonannya dalam pilkada, tentu menjadi hal penting. Bukan hanya saat berkampanye dihadapan konstituen, tetapi yang lebih besar finansial adalah saat mengamankan tiket sebagai calon dari partai politik.

Jadi, BOHONG kalo ada dukungan partai tanpa syarat atau tanpa ada uang didalamnya. Begitupun bagi seorang kader partai sendiri yang berniat maju dan diusung dalam perhelatan pilkada. Demikian pula dengan Dedi Mulyadi.

Apakah Dedi Mulyadi begitu saja akan mendapatkan rekomendasi partainya untuk menjadi cagub. Penulis kira tidak semudah itu. Perlu pundi-pundi rupiah digelontorkan kepada DPP dan fungsionarisnya untuk memuluskan niat Dedi Mulyadi.

Spekulasi inilah yang muncul saat rekomendasi itu belum juga turun. Ya, Dedi Mulyadi tak punya uang rupanya untuk mendapatkan rekomendasi partai golkar. Termasuk belum adanya kesepahaman soal jumlah uang yang harus diberikan Dedi Mulyadi kepada DPP.

Hal ini diperkuat pernyataan Dedi Mulyadi sendiri yang tak memiliki modal cukup. Pernyataan Dedi ini diumumkan ke publik setelah beberapa hari lalu DPP Golkar mengeluarkan pernyataan belum merekomendasikan calon dari Golkar untuk Pilgub Jabar.
http://googleweblight.com/?lite_url=http://jabar.tribunnews.com/2017/09/05/maju-pilgub-dedi-mulyadi-mengaku-tak-punya-uang-besar-juga-tak-punya-relasi-pengembang-raksasa&ei=BhwobboY&lc=id-ID&s=1&m=8&host=www.google.co.id&ts=1504621526&sig=ANTY_L2E6UKpnI7zS1FcoHZgpAjQZR7jKA

Kondisi keuangan Dedi Mulyadi yang tak begitu besar, membuat DPP dan fungsionarisnya terus memperlambat rekomendasi. Terlebih manuver Ridwan Kamil yang meminta tokoh muda pantura dari Golkar, Daniel Muttaqien untuk mendampingi sebagai cawagubnya. Menjadi alasan DPP "menahan" rekomendasi.

Daniel Muttaqien yang tak masuk dalam survei pilgub jabar, sengaja diopinikan Ridwan Kamil untuk bisa menemaninya. Berbekal finansial Daniel yang anggota DPR RI, anak Bupati Indramayu dan anak mantan bupati indramayu terpidana. Tentu antara Ridwan Kamil dan Fungsionaris DPP Golkar setali tiga uang. Mereka, memanfaatkan sosok Daniel Muttaqien baik dari sisi finansial, maupun untuk menggoyang posisi kuat Dedi Mulyadi sebagai Cagub Jabar yang dukungannya datang dari arus bawah.
https://daerah.sindonews.com/read/1223469/21/emil-tertarik-gandeng-daniel-mutaqien-ini-kata-golkar-jabar-1500884137

Sehingga tak berlebihan jika Dedi Mulyadi seperti Arini dalam novel "Syurga Yang Tak Dirindukan".
Wallaahualam Bishawab.
0
4.9K
39
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan