BeritagarID
TS
MOD
BeritagarID
Menakar kekusutan akuntabilitas Pemilu 2019

Pembahasan RUU pemilu: Isu krusial vs isu strategis.
Landasan hukum untuk penyelenggaraan Pemilu 2019, sangat strategis untuk menentukan langkah baru demokrasi di Indonesia ke depan. Betapa tidak, sejak saat itu, Indonesia hanya mengenal satu rezim pemilu nasional. Yaitu pemilu yang menggabungkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.

Para pembuat UU Penyelenggaraan Pemilu sejak semula semestinya sudah disadari bahwa mereka tengah membuat karya besar. Sebuah UU yang tak sekadar menggabungkan UU Pileg dan UU Pilpres, tapi dasar hukum untuk dilangsungkan bersama pada Pemilu 2019, untuk menghasilkan legislator dan presiden yang berkualitas serta memperkuat dan mendewasakan demokrasi.

Namun yang terjadi, saat ini baik pemerintah maupun DPR seperti terlalu santai menyelesaikan UU Pemilu ini. Sekadar perbandingan, UU No 12/2003 selesai 13 bulan sebelum hari-H Pileg 2004. Begitu pula UU No 10/2008 disahkan 13 bulan sebelum pileg 2009 berlangsung. Waktu 13 bulan untuk menyiapkan pemilihan legislatif, ternyata masih dianggap mepet.

Apa yang terjadi dengan penyelenggaraan pemilu dengan waktu yang mepet tersebut? Dua penyelenggaraan pileg tersebut menuai banyak masalah: daftar pemilih tak akurat, kampanye tidak tertib, surat suara belum tersedia atau tertukar, rekapitulasi penghitungan suara salah, dan gugatan hasil pemilu ke MK bertumpuk.

Waktu yang cukup ideal adalah pengesahan UU No. 8/2012, yang terjadi 23 bulan sebelum pemungutan suara Pileg 2014. Memang bukan berarti pemilu 2014 kalis masalah. Namun masalah yang muncul bisa diselesaikan sebelum tahapan pemilu selesai. Dan pemilu 2014 disebut sebagai pemilu pertama yang tidak bermasalah dalam soal daftar pemilih.

Bila diukur dengan pembuatan UU Pemilu sebelumnya, RUU pemilu kali ini sangat-sangat terlambat. DPR dan pemerintah baru membahas RUU ini selama 8 bulan. Bahkan bila dicermati lebih dalam, tahapan pemilu 2019, sudah terlewati.

Sesuai UU No. 8/2012, yang saat ini masih berlaku, tahapan pemilu 2019 dimulai 22 bulan sebelum pemilu. Bila pemilu 2019, berlangsung bulan April, maka semestinya tahapan pemilu berupa verifikas parpol, sudah harus dimulai Juni atau Juni 2017.

Saat ini pembahasan UU Pemilu tengah berlangsung muncul kecemasan beberapa pihak. Kecemasan itu muncul karena yang mengemuka dalam publikasi pembahasan, terkesan hanya hal-hal krusial di mata partai politik. Ini menyangkut ambang batas pemilihan presiden, ambang batas pemilihan legislatif, sistem pemilu, besaran jumlah kursi, sampai cara pembagian kursi.

Pembahasan hal krusial tersebut berlangsung alot, sehingga musyawarah mufakat tak tercapai. Adu kekuatan dalam voting mesti dilakukan. Kamis 20/7/2017, rencananya Fraksi di DPR akan melakukan voting 5 paket krusial yang sudah dirumuskan pekan lalu.

Voting ini dikesankan sebagai sebuah perjuangan pamungkas bagi kekuatan politik yang ada. Emosi publik seperti diajak masuk dalam rivalitas kekuatan partai politik pendukung pemerintah versus partai di luar pemerintahan. Ibaratnya dibangun kesan siapa yang kuat dalam voting ini, merekalah penentu dasar hukum pemilu 2019.

Pertanyaannya benarkan paket krusial itu menjadi isu strategis yang bisa menjamin penyelenggaraan pemilu 2019 lebih baik? Tak ada yang berani memastikannya. Namun yang bisa dipastikan, penyelenggaraan pemilu 2019 akan menjadi lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya bila dasar hukumnya bisa menutup kekurangan penyelenggaraan pada masa lalu.

Kelemahan penyelenggaraan pemilu pada masa lalu salah satunya menyangkut pengawasan dan akuntabilitas dana kampanye. Akibatnya, politik uang dalam pemilu seperti tak terselesaikan dengan baik. Padahal UU Pemilu sudah memberikan aturan, sekaligus ancaman pidana terhadap akuntabilitas ini.

Dalam draf UU Pemilu saat ini, peluang peserta pemilu mendapatkan dana kampanye dari publik semakin besar. Sayangnya, soal akuntabilitas aturannya malah semakin longgar.

Dibanding UU sebelumnya, batasan sumbangan perseorangan untuk dana kampanye pemilu presiden dan pemilu DPR/DPRD dinaikkan dari Rp1 miliar menjadi Rp2,5 miliar. Sedang batasan sumbangan dari korporasi meningkat dari Rp7,5 miliar menjadi Rp25 miliar. Sementara untuk DPD sumbangan perseorangan juga naik dari maksimal Rp250 juta menjadi Rp750 juta. Sedang korporasi dari Rp750 juta menjadi Rp1,5 miliar.

Masalahnya membesarnya dana sumbangan dari masyarakat ini, justru tidak diimbangi dengan aturan yang lebih ketat. Mengutip kritik Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini: Angka sumbangan dana kampanye dinaikkan, tetapi akuntabilitasnya tidak ada perbaikan sama sekali.

Dalam UU Pemilu 2012, ada keharusan bagi peserta pemilu untuk melaporkan sumbangan yang melebihi ketentuan ke KPU. Selanjutnya, wajib menyerahkan sumbangan yang melebihi batasan itu ke kas negara paling lambat 14 hari setelah kampanye berakhir. Jika ketentuan itu dilanggar, peserta pemilu dikenai sanksi.

Sementara, dalam draf naskah hasil sinkronisasi pembahasan bulan Juli 2017, ketentuan kewajiban melaporkan, menyerahkan dana yang berlebih, beserta ancaman sanksinya tidak tercantum. Bila draf tersebut yang lolos menjadi Undang-undang, bisa dibayangkan kekusutan yang terjadi. UU tersebut bahkan bisa menjadi pintu masuk politik uang.

Lukman Edy, Ketua Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu, mengakui sempat ada usulan penghapusan ketentuan tersebut. Namun politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini menjamin, larangan calon menggunakan sumbangan dana kampanye yang melebihi batas tidak akan dihapus.

Baiklah, pembahasan RUU Pemilu memang sangat dinamis, perubahan aturan main bisa terjadi sesuai keinginan para pembuatnya. Namun yang mesti diingat oleh DPR dan pemerintah, pembahasan RUU Pemilu, bukan sekadar memenuhi pelampiasan hasrat kekuasaan partai politik untuk meraih kemenangan dalam pemilu 2019.

UU Pemilu kali ini adalah ujian pertama kedewasaan demokrasi Indonesia. Karenanya kepentingan bangsa harus diprioritaskan. Bangsa Indonesia sudah lama merindukan demokrasi yang dewasa dan matang, demokrasi yang jauh dari permainan politik uang.

Demokrasi seperti itulah yang akan menghasilkan legislator dan presiden yang bermutu. Legislator yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat, serta presiden yang cakap dan bisa menemukan solusi atas berbagai permasalahan bangsa.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...as-pemilu-2019

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Ketua tersangka korupsi, bukan aib bagi DPR

- Reklamasi pascatambang tak bisa ditawar lagi

- Upaya bersama menertibkan impor berisiko tinggi

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.1K
0
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan