BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Produksi dunia berlebih, OPEC ingin Indonesia kembali

Gedung OPEC, Vienna, Austria.
Indonesia mendapat tawaran untuk kembali bergabung dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Pemerintah, yang diwakili Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengaku sudah menjawab tawaran tersebut dengan melayangkan surat ke markas besar OPEC di Wina, Austria, tertanggal 24 Mei 2017.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, surat balasan yang dikirimkan oleh kementeriannya itu bukan berisi jawaban persetujuan pun penolakan, melainkan sejumlah prasyarat Indonesia untuk mau kembali dalam organisasi tempat berkumpulnya kartel-kartel minyak terbesar dunia itu.

Persyaratan yang diajukan, sebut Arcandra dalam Liputan6.com, tidak berbeda dengan alasan yang membuat Indonesia menonaktifkan keanggotannya di OPEC--untuk yang kedua kalinya--itu.

"(Misi OPEC) harus sesuai dengan strategi nasional. Kita ingin meningkatkan produksi, tapi kesepakatannya malah dipangkas (cut off)," ujar Arcandra.

Dalam sidang ke-171 OPEC di Wina, Austria, pada November 2016, negara-negara OPEC memutuskan untuk melakukan pemangkasan produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari (bph), di luar konsentrat.

Kesepakatan ini juga diikuti oleh sekutu OPEC atau yang sering disebut pihak non-OPEC, Rusia, dengan pemangkasan produksi harian menjadi 600.000 barel.

Indonesia pun turut diminta untuk memangkas produksinya sebesar 5 persen, atau sekitar 37.000 bph. Padahal, dalam APBN 2017, pemangkasan yang bisa dilakukan pemerintah adalah sebesar 5.000 bph.

Tujuan OPEC adalah menstabilkan volume suplai dengan tingkat permintaan, sehingga mengembalikan penguatan harga global.

Sementara bagi Indonesia, negara net importir minyak, pemotongan kapasitas produksi ini jelas tidak menguntungkan, karena harga minyak secara teoritis akan naik. Kebijakan ini yang akhirnya membuat Indonesia membekukan keanggotannya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan melihat hal ini sebagai tawaran posisi yang baik bagi Indonesia. Sebab, meski produksi minyak Indonesia di bawah standar OPEC, keanggotannya masih diinginkan.

"Tentu mereka melihat bahwa kehadiran Indonesia punya pengaruh di sana, kita sedang menghitung untung rugi masuk kembali ke sana," sebut Luhut dalam Metrotvnews.com, Selasa (11/7/2017).

Tawaran OPEC boleh jadi berlatar karena kegagalan negara-negara anggotanya untuk mengurangi persediaan minyak meski mereka sepakat untuk melanjutkan pembatasan produksi hingga Maret 2018 mendatang.

Hal itu tercermin dari survei yang dilakukan Bloomberg (dipublikasikan Selasa, 4/7/2017), yang menunjukkan volume produksi OPEC pada Juni 2017 mencapai 32,55 juta bph, naik 260.000 bph atau 0,81 persen dibandingkan Mei 2017 yang sebesar 32,29 juta bph.

Menurut hasil analisis, sekitar 50 persen kenaikan produksi (sekitar 160.000 bph) berasal dari dua negara, yakni Libya dan Nigeria. Kondisi ini kemudian memunculkan kekhawatiran atas suplai minyak dunia pada masa mendatang.

Sebagai catatan, selain Indonesia, Libya dan Nigeria juga tidak mengikuti perjanjian yang disepakati dalam sidang OPEC, meski tidak membekukan keanggotaannya.

Ulah dua negara tadi membuat harga minyak malah tetap terkoreksi karena suplai masih melimpah. Amerika Serikat pun menambah keriuhan dengan turut andil dalam produksi minyak yang berlebihan.

Tak ayal, pada 25 Mei 2017 OPEC dan non-OPEC kembali menyepakati untuk memperpanjang periode pemangkasan produksi hingga 1,8 juta bph hingga kuartal I/2018.

Mengutip data Pusat Informasi Energi AS yang dikutip dari Reuters, rerata produksi minyak AS pada 2017 mencapai 9,3 juta bph, meningkat dari 8,9 juta bph pada 2016. Tahun depan, volume pemompaan diprediksi akan menuju rekor tertinggi, yakni 10 juta bph.

Sebetulnya pemangkasan produksi di level 31,9 juta bph OPEC pada Januari 2017-Mei 2017 cukup memuaskan. Namun, kondisi fundamental minyak yang masih lemah belum memberikan perubahan signifikan terhadap harga.

Pada saat bersamaan, Arab Saudi pun memutuskan untuk mengalah dengan menurunkan kembali produksinya hingga mencapai di bawah 600.000 bph untuk menyeimbangkan kondisi ini. Tapi agaknya pengorbanan Arab Saudi tetap tidak bisa meredakan keriuhan.

Sejauh ini, rerata kepatuhan OPEC (tidak termasuk Libya dan Nigeria) sudah mencapai 102%. Faktor penopang utama ialah kepatuhan Arab Saudi yang berkisar 131 persen. Sedangkan kepatuhan yang kurang memuaskan datang dari Irak (65 persen) dan Uni Emirat Arab (69 persen).

Lalu, bagaiman pemangkasan produksi OPEC dan non-OPEC bisa mengimbangi suplai dari AS, Libya, Nigeria, dan negara penghasil minyak lainnya? Setidaknya mereka dapat berhitung dari sejumlah proyeksi.

Menurut survei Reuters, volume suplai Nigeria masih akan meningkat, setidaknya mencapai 2 juta bph pada Agustus 2017. Sementara volume produksi minyak Libya pada Juni 2017 sudah mencapai 1,005 juta bph (level tertinggi sejak 2013).

Melihat masih gencarnya suplai dari pihak lain, dalam hal ini termasuk Indonesia, OPEC dan non-OPEC perlu memutar otak mencari strategi baru. OPEC dan non-OPEC pun berencana untuk menggelar pertemuan kembali pada 24 Juli 2017 di Rusia.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...onesia-kembali

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Pengeroyok Hermansyah ditangkap dan pupusnya spekulasi

- Lowongan CPNS di tengah beban kerja

- Penyesalan terdakwa e-KTP seturut intervensi proyek

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
920
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan