BeritagarID
TS
MOD
BeritagarID
Korupsi adalah kejahatan terencana dan terorganisasikan


Beberapa hari menjelang dimulainya sidang perkara korupsi e-KTP Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Agus Rahardjo sempat berharap tidak ada guncangan politik yang besar sehubungan sidang kasus korupsi itu. Harapan Agus itu sulit terwujud.

Korupsi e-KTP melibatkan uang sangat banyak, dan nama-nama tokoh politik di negeri ini. Beberapa orang yang disebut dalam dakwaan kasus tersebut, kepada media, membantah keterlibatannya. Juga kepada media, ada partai politik yang akan segera menyikapi dakwaan tersebut karena nama partai itu disebut secara eksplisit dalam surat dakwaan.

Memang, hingga saat ini baru dua orang yang menjadi terdakwa. Mereka adalah (1) Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia; dan (2) Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.

Wajar saja bila yang lain segera membantah. Apakah masyarakat akan mempercayai bantahan-bantahan itu? Mungkin saja. Tapi itu sangat sulit. Di mata masyarakat, KPK adalah lembaga yang sangat teliti dalam memproses dakwaan terhadap seorang tersangka. Sampai hari ini, belum pernah ada terdakwa dalam kasus yang ditangani KPK lolos dari jerat hukuman.

Selama ini masyarakat hanya menduga-duga cara para koruptor itu memangsa uang rakyat. Namun dari dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut KPK Kamis (9/3/2017) lalu, masyarakat mulai mengetahui seluk beluk korupsi yang melibatkan lembaga eksekutif maupun legislatif. Surat dakwaan itu mementahkan beberapa anggapan yang lazim beredar di tengah masyarakat kita.

Kita sangat terbiasa mengira korupsi adalah kejahatan yang terjadi karena pelakunya dalam kondisi khilaf ketika melihat tumpukan uang. Kita membayangkan koruptor itu bagai seorang maling yang kebetulan melintas sebuah kantor bank yang terbuka tanpa pengaman dan tergoda untuk mengambil sebagian uang yang ada di dalamnya.

Keliru. Anggapan kita itu salah. Korupsi bukanlah kejahatan yang muncul karena perilaku impulsif sang koruptor. Dakwaan dalam kasus korupsi e-KTP menunjukkan bahwa korupsi adalah kejahatan yang terencana, bahkan sebelum uang rampokannya sungguh-sungguh ada di depan mata sang koruptor.

Korupsi dalam proyek e-KTP, menurut surat dakwaan itu, sudah dimulai sejak proses penganggaran. Perihal cara korupsi terkait dengan proses penganggaran, surat dakwaan itu pertama-tama menyebut permintaan Gamawan Fauzi, yang saat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, meminta kepada Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mengubah sumber pembiayaan proyek e-KTP pada November 2009.

Sumber pembiayaan proyek e-KTP sekitar Rp5,9 triliun, yang rencananya menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri, diminta untuk diubah bersumber dari APBN murni.

Selang tiga bulan sejak surat permintaan Mendagri itu, Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu meminta sejumlah uang kepada Irman--terdakwa pertama--agar usulan anggaran proyek e-KTP dapat segera disetujui oleh Komisi II DPR.

Meski saat itu permintaan Burhanuddin tak bisa disanggupi, namun dalam perkembangan berikutnya muncul sejumlah kesepakatan dan kesanggupan untuk menyetor uang ke Komisi II DPR itu.

Adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang sering disebut-sebut sebagai pengusaha yang biasa menjadi rekanan di Kemendagri, menyanggupi untuk menyetor sejumlah uang untuk memuluskan proyek e-KTP.

Surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut KPK itu menyebutkan serentetan kejadian yang memperlihatkan persekongkolan antara pihak swasta, birokrasi pemerintah, dan sejumlah orang dari lembaga legislatif untuk membagi-bagikan sebagian uang negara tersebut.

Secara eksplisit surat dakwaan itu menyatakan bahwa Andi Narogong membuat kesepakatan tentang rencana penggunaan anggaran proyek e-KTP dengan Setya Novanto --yang dianggap perwakilan dari Fraksi Partai Golkar, dan Anas Urbaningrum serta Muhammad Nazaruddin--yang dianggap mewakili Fraksi Partai Demokrat.

Mereka bersepakat, setelah dipotong pajak, anggaran proyek itu hanya 51 persen saja yang benar-benar dipakai untuk pembiayaan proyek. Selebihnya, dibagi-bagi untuk sejumlah pihak.

Dua pejabat Kementerian Dalam Negeri mendapat Rp365 miliar, atau setara dengan 7 persen. Anggota Komisi II DPR RI mendapat jatah Rp261 miliar atau setara dengan 5 persen. Setya Novanto dan Andi Narogong mendapatkan sejumlah Rp574 miliar atau setara 11 persen. Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin, Rp574 miliar atau setara 11 persen. Adapun pelaksana proyek akan mendapatkan keuntungan Rp783 miliar atau setara 15 persen.

Surat dakwaan lalu memperlihatkan aliran uang suap dan korupsi ke berbagai pihak. Tidak hanya kepada pihak swasta, Komisi II DPR, dan orang-orang di Kemendagri. Uang juga mengalir ke orang di Badan Pemeriksa Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Sekretariat Kabinet.

Jelas sekali surat dakwaan itu memperlihatkan bahwa korupsi adalah kejahatan yang terencana dan terorganisasikan secara rapi. Bukan kejahatan yang diakibatkan oleh kekhilafan yang impulsif.

Surat dakwaan dalam kasus korupsi e-KTP juga mengonfirmasi persepsi masyarakat bahwa DPR adalah lembaga terkorup di negeri kita. Meski bukan pihak pengguna anggaran, bukan berarti DPR bisa diasumsikan bersih dari korupsi yang melibatkan uang yang telah dianggarkan.

Hak penggunaan anggaran memang milik pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Namun DPR mempunyai fungsi anggaran dan pengawasan, yang mengandaikan memiliki kuasa besar atas rancana-rencana anggaran negara. Penyalahgunaan kuasa yang dilakukan secara terencana dan terorganisir itulah cara menggelar korupsi di lembaga legislatif.

Pengadilan atas kasus korupsi e-KTP memang baru saja dimulai, namun itu sudah mengguncang kita. Kegaduhan di antara para politisi dan elite politik negeri ini--seperti yang dikhawatirkan Ketua KPK--tidaklah seberapa menakutkan ketimbang guncangan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tiga pilar demokrasi: lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dakwaan dalam kasus korupsi e-KTP memperlihatkan bagaimana orang di dalam lembaga legislatif dan eksekutif merampok uang rakyat. Satu bulan sebelumnya, dengan penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, KPK memperlihatkan betapa pejabat di lembaga yudikatif pun bisa terlibat korupsi.

Tantangan besar bagi bangsa ini adalah memulihkan kepercayaan rakyat kepada pilar-pilar demokrasi itu. Penegakan hukum yang tanpa pandang bulu dan penerapan hukuman maksimal atas kejahatan terencana dan terorganisir ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh untuk membangun kembali kepercayaan kita dalam hidup bernegara.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...rorganisasikan

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Mari sudahi kericuhan angkutan online vs tradisional

- Tak salah masyarakat menilai DPR sebagai juara korupsi

- Pasal makar bukan untuk mengada-ada

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
821
0
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan