https://finance.detik.com/berita-eko...146.1487818120Jakarta - Pemerintah masih belum memutuskan skema pembiayaan proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek). Kontrak kerja PT Adhi Karya Tbk dengan Kementerian Perhubungan baru teken, namun masalah pembiayaan belum jelas. Karena APBN ternyata tidak sanggup.
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagyo, menuturkan awal mula permasalahan LRT. Mulai dari Adhi Karya menjadi kontraktor walau belum dikontrak, hingga masalah pembiayaan yang hingga saat ini belum ditentukan.
Agus menuturkan, awal mula proyek LRT Jabodebek muncul adalah untuk melanjutkan proyek Monorel yang mangkrak. Akhirnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meminta Adhi Karya untuk melanjutkan pembangunan sementara.
"Saat itu Pemprov DKI minta Adhi Karya bikin dulu lah tiangnya. Selesai mangkrak, enggak ada yang mau ganti kan, duitnya Rp 250 miliar ada di situ. Minta ganti ke pemerintah enggak dapat-dapat. Dari situ, Adhi Karya melobi pemerintah, untuk dibangun LRT saja. Akhirnya diputuskan, jadi harus diselesaikan," ungkap Agus di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (27/2/2017).
Kemudian, sementara aturan perubahan proyek dari Monorel ke LRT membutuhkan waktu, pemerintah tetap meminta Adhi Karya untuk tetap membangun LRT. Adhi Karya pun bersedia mengerjakan proyek tersebut, karena adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 tahun 2015.
"Ya perubahan itu kan perlu. Perubahan itu kan perlu administrasi yang ruwet. Sementara Presiden sudah groundbreaking. LRT kan sudah groundbreaking masa mandek. Akhirnya dibangun saja, tanpa tahu ini sisanya bagaimana, baik itu administrasi juga pembiayaan. Yang penting cepat," kata dia.
Sementara soal pendanaan, Agus menuturkan, mulanya pembiayaan LRT Jakarta berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diberikan ke Adhi Karya sebesar Rp 1,4 triliun. Namun dana Rp 1,4 triliun itu masih belum mencukupi, karena yang dibutuhkan untuk proyek tersebut sekitar Rp 23 triliun - Rp 24 triliun.
Kemudian, pemerintah mencari berbagai solusi alternatif untuk masalah pembiayaan tersebut. Mulai dari PMN dan menunjuk PT Kereta Api Indonesia (KAI), hingga Public Service Obligation. Berbagai alternatif tersebut, menurut Agus belum ada yang cocok.
"Terus coba alternatifnya, negara beri PMN ke PT KAI, nanti PT KAI mengembalikan itu dapat 10 atau 20 tahun, nanti pengoperasiannya kasih PSO. Atau coba lagi kayak bagaimana, tawarkan ke investor, mau enggak? Itu belum juga putus. Karena investor mana yang mau?" kata dia.
"Kenapa investor enggak mau? Karena pembangunan infrastruktur, angkutan perkotaan di seluruh dunia, enggak ada yang untung. Karena terlalu mahal. Jadi di mana pun, di negara mana pun, pemerintah pasti mengsubsidi PSO-nya, yang bangun negara. Karena terlalu mahal, dan kembalinya lama. Jadi artinya mau dijual juga belum tentu laku. Ini belum diputuskan juga ya," sambungnya.
Menurutnya, skema yang saat ini paling baik digunakan adalah dengan menggunakan uang negara. Entah itu, dari APBN Kementerian Perhubungan, atau APBN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun bila menggunakan APBN dari dua kementerian tersebut, bakal ada proyek yang dikorbankan, karena dana dua kementerian tersebut dialihkan ke proyek LRT.
"Jadi paling pakai dana APBN-nya kementerian. Entah Kementerian PUPR, atau Kementerian Perhubungan atau keduanya. Katanya kedua menteri sudah oke. Tapi kan pasti ada yang dikorbankan. Pertanyaannya yang dikorbankan yang mana? Jangan-jangan pelabuhan di ujung sana, di terluar. Nawacita kan membangun dari terluar ke terdalam," tuturnya. (wdl/wdl)