AGUS Sujana berjualan di pinggir Jalan Raya Lembang, Desa/Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin 6 Februari 2017.
KETIKA orang-orang ingin menjadi pegawai negeri sipil, bahkan banyak yang kemudian dimanfaatkan dalam modus penipuan, Agus Sujana (54) justru rela menanggalkan seragam dinasnya. Agus mengundurkan diri sebagai abdi negara, kini menjadi pedagang gorengan sekaligus penjual koran.
"Makanya, saya di sini dibodoh-bodoh, dibilang PNS bodoh. Orang lain habis ratusan juta biar diangkat jadi PNS, saya yang sudah PNS malah berhenti," kata Agus, saat menunggu kios gorengan dan koran di pinggir Jalan Raya Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin 6 Februari 2017.
Meski begitu, pada wajahnya tidak terlihat rasa penyesalan. Pria yang memiliki tiga anak itu sepertinya sudah mantap melanjutkan hidup dengan berjualan gorengan dan koran. "Yang penting bagi saya adalah kenyamanan batin, tidak ada tuntutan, beban, atau konflik perasaan seperti ketika menjadi PNS," katanya.
Bukan tanpa alasan Agus memutuskan berhenti sebagai PNS. Persoalan prinsip, katanya, sulit untuk ditawar lagi. Sejak diangkat sebagai PNS pada 2005, Agus tahu bagaimana bobroknya mekanisme penganggaran di pemerintah daerah. Jengah akan peredaran "uang panas" di sekelilingnya, dia akhirnya mengundurkan diri sebagai PNS.
"Waktu itu penghasilan sebagai PNS cuma Rp 2,3 juta, tapi ada uang 'sampingan' setiap tiga bulan. Kalau dikumpul-kumpul, tiap tiga bulan itu saya bisa mendapatkan Rp 10 juta. Uang itu imbalan buat saya, karena sudah menggolkan kegiatan atau program di satuan kerja," kata pria kelahiran Cirebon, 19 Agustus 1962,itu.
Agus menjelaskan, awal kariernya sebagai PNS bermula ketika dia mengerjakan proyek konstruksi baja di Provinsi Lampung. Karena dianggap mampu menyusun perencanaan pembangunan, dia ditawari menjadi pegawai honorer di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di suatu kabupaten.
Dia kemudian diangkat jadi PNS di kabupaten tersebut pada 2005.
"Waktu perencanaan APBD, semua satuan kerja minta di-up anggarannya. Saya sudah katakan kepada atasan, azas manfaat buat masyarakat mana, karena rata-rata anggaran yang dialokasikan itu setengahnya bukan buat masyarakat. Setelah bilang begitu, saya malah dipindah ke kabupaten lain di Lampung, tapi tetap ditempatkan di Bappeda," katanya.
Ternyata, pemda di kabupaten yang lain juga menerapkan pola yang sama, selalu ada "uang panas"-nya. Seluruh perencanaan pembangunan, dari tingkat desa sampai satuan kerja, dimatangkan di Bappeda. "Karena itu, semua orang di Bappeda bisa dapat 'uang proyek' juga, kalau kegiatannya disetujui dewan. Dewan baru akan ketok palu, kalau saya juga bawa uang," tuturnya.
Tidak nyaman dengan kondisi yang seperti itu, Agus lantas mengakhiri pekerjaan sebagai PNS. Kembali ke Lembang pada awal 2014, dia sempat mendirikan koperasi simpan pinjam bagi masyarakat tak mampu. Dia tidak tega banyak tetangganya yang meminjam uang lewat bank keliling atau rentenir.
"Jalan sekitar delapan bulan, koperasinya lalu tersendat karena banyak nasabah macet. Sempat bergabung dengan koperasi syariah di Cisarua, tapi managemennya ternyata enggak sesuai dengan saya. Akhirnya, sejak hampir setahun lalu, saya jualan gorengan dan koran di sini," ucapnya.