BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Ikhtiar mengerek akuntabilitas kinerja pemerintah


Kementerian PANRB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) sudah menyerahkan LHE AKIP (Laporan Hasil Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) pada pemerintah kabupaten/kota tahun 2016.

Hasilnya, dibandingkan tahun sebelumnya, rata-rata nilai evaluasi pada pemerintah kabupaten/kota naik 2,95 poin. Rata-rata nilai pada tahun 2015 adalah 46,92, sedangkan tahun 2016 adalah 49,87.

Laporan tersebut didasarkan atas evaluasi Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah -atau biasa disebut SAKIP. Sistem yang berpayung hukum kepada Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 itu dirancang untuk mengukur, menetapkan dan melaporkan kinerja instansi pemerintah. Ini adalah bagian dari bentuk pertanggungjawaban dan metode peningkatan kinerja instansi pemerintah.

Harus diakui, SAKIP merupakan adopsi dari manajemen yang biasa dilakukan oleh kalangan swasta, yang lazim dikenal sebagai manajemen kinerja (performance management). Manajemen tersebut memang diarahkan untuk meningkatkan performa lembaga dan berorientasi kepada hasil.

Lalu, kenaikan rata-rata nilai evaluasi tadi apakah mencerminkan bagusnya kinerja pemerintah daerah dan kota? Ternyata, belum tentu. Bagaimana pun angka kenaikan tadi adalah angka rata-rata.

Menurut Menteri PANRB Asman Abnur seperti dikutip detikcom, "Rata-rata kabupaten dan kota pada tahun 2016 nilai evaluasinya di bawah 50". Itu bukanlah angka yang bagus.

Dalam evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian PANRB, ada tujuh kategori nilai. Kategori AA memiliki skala nilai antara 90 sampai 100. Kategori A memiliki skala nilai antara 80 sampai 90. Kategori BB memiliki skala nilai 70 sampai 80. Kategori B memiliki skala 60 sampai 70. Ketgori CC berskala nilai antara 50 sampai 60. Kategori C berskala nilai 30 sampai 50. Terakhir, kategori D berskala 0 sampai 30.

Dari pengelompokan kategori-kategori tersebut jelaslah bahwa akuntabilitas kinerja 83% pemerintah kabupaten/kota tidak terlalu bagus. Kecilnya angka kenaikan rata-rata nilai evaluasi AKIP pada tahun 2016 menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota tidak terlalu banyak bebenah diri untuk meningkatkan akuntabilitas kinerjanya.

Selain itu, seperti diingatkan oleh Asman, semakin rendah nilai akuntabilitas kinerja maka potensi inefisiensi penggunaan anggaran semakin tinggi. Evaluasi AKIP 2016 memperlihatkan potensi inefisiensi di 530 instansi yang nilainya di bawah kategori nilai B mencapai nilai Rp392,82 triliun. Bandingkanlah dengan nilai APBN pada tahun yang sama, Rp21.213 triliun. Sungguh itu bukanlah angka yang kecil.

Rendahnya akuntabilitas kinerja tersebut terkait dengan beberapa faktor. Salah satu faktor pentingnya adalah faktor orientasi. Untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja, pemerintah kabupaten/kota sudah seharusnya mengorientasikan berbagai programnya kepada hasil; selain, tentu, harus tepat sasaran.

SAKIP sebetulnya merupakan upaya pemerintah di bidang reformasi birokrasi yang patut kita apresiasi. Dengan sistem tersebut pemerintah menggeser orientasi akuntabilitas kinerja. Sebelumnya pemerintah lebih berorientasi kepada besaran dana yang telah dan akan dihabiskan. Sekarang, dengan menggunakan SAKIP, pemerintah menggeser orientasinya ke pencapaian kinerja yang dihasilkan.

Dengan pendekatan itu, seharusnya instansi-instansi pemerintah berfokus kepada pencapaian sasaran. Upaya pencapaian itu tentu bersandar kepada dua indikator penting. Yaitu keluaran yang bisa dihitung serta hasil-hasil yang bisa ditakar fungsinya.

Pendekatan SAKIP memang tidak melulu menyandarkan ukurannya kepada serapan anggaran semata. Serapan anggaran hanyalah salah satu langkah yang harus dilalui untuk memperoleh nilai akuntabilitas kinerja yang baik.

Selebihnya, kinerja akan terus diukur berdasarkan pelaksanaan kegiatannya, terbentuknya produk atau layanan, munculnya manfaat dari produk atau layanan tersebut, yang berujung kepada membuahkan perbaikan.

Salah satu kunci dari keberhasilan SAKIP adalah peran pemimpin di masing-masing instansi. Penyusunan strategi untuk mencapai tujuan bukankah memang berasal dari pemimpinnya?

Di luar itu, dalam konteks pemerintah kabupaten/kota, program-program harus dilangsungkan dalam pendekatan yang terpadu. Sasaran strategis dalam pembangunan daerah ditetapkan bersama oleh seluruh satuan kerja sehingga seluruh kegiatan berlangsung secara terpadu dan terhindar dari ego sektoral.

Hasil evaluasi AKIP tahun 2016 pada pemerintah kabupaten/kota menunjukkan bahwa nilai bagus bukanlah hal yang mustahil. Kali ini Kabupaten Banyuwangi dan Kota Bandung mendapatkan nilai A. Jika kedua pemerintah daerah tersebut mampu mencapainya, mengapa lebih banyak pemerintah daerahnya tidak bisa?

Jika alasannya terkait dengan kapasitas sumber daya manusia dan budaya kerja, sudah selayaknya Kementerian PANRB -yang mewakili pemerintah pusat- bekerja sama secara intensif dengan pemerintah daerah untuk menemukan strategi yang tepat untuk mengatasinya.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...rja-pemerintah

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Standardisasi penceramah bukanlah jalan keluar

- Membajak Dewan Perwakilan Daerah

- Salah kaprah ihwal tentara siber

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
3K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan