margosaAvatar border
TS
margosa
Menag Tak Setuju UU Penodaan Agama Dihapus
VIVA.co.id – Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menilai, Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, masih diperlukan saat ini. UU itu pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi agar dibatalkan, tetapi Mahkamah menolak permohonan tersebet.

Terkait usulan dari antropolog saat bertemu Presiden Joko Widodo Senin 16 Januari 2017 kemarin, untuk mencabut undang-undang ini, Lukman menjelaskan kalau saat ini beleid itu masih diperlukan.

"Saya menangkapnya bukan menghilangkan tapi bagaimana agar undang-undang itu didudukkan secara semestinya, begitu. Jadi tidak kemudian digunakan untuk menghukum orang, dalih menista atau menoda," ujar Lukman, usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Selasa 17 Januari 2017.

Menurut dia, perlu dipelajari lagi bagaimana UU Penistaan Agama itu diberlakukan pada 1965. Ketika itu banyak yang mengaku-ngaku sebagai tokoh agama, ahli agama dan menyebarkan ajaran mereka padahal bertolak belakang dengan agama. "Itulah kenapa kemudian muncul UU itu untuk bagaimana agar ajaran pokok setiap agama tidak boleh dinodai, tidak boleh dinistakan," katanya.

UU Penistaan Agama, kata politisi PPP itu, lahir untuk menjaga prinsip-prinsip pokok ajaran agama. Agar, tidak boleh dihina dan perlu dijaga oleh siapapun. "Dan itu perlu diuji di MK, dan MK memutus UU itu masih sangat relevan untuk konteks ke-Indonesia-an kita," katanya.

Menurut Lukman, yang diinginkan adalah menempatkan persoalan penistaan agama itu pada tempatnya. Tidak dijadikan alat untuk menghukum orang dengan dalih melakukan penistaan terhadap agama.

Namun harus dibawa pada persoalan, bagaimana masing-masing ajaran pokok agama yang ada itu terjaga. "Khususnya yang terkait dengan pokok-pokok atau isi pokok dari ajaran agama itu tidak lalu kemudian disimpangi oleh siapapun juga. Sehingga malah itu lalu menimbulkan kerawanan sosial yang tidak semestinya. Jadi harus dilihat UU itu dari sisi preventif," jelas Lukman.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), juga terdapat pasal yang mengatur tentang penistaan atau penodaan agama. Seperti Pasal 156 dan 156a KUHP.

Sebelumnya, para antropolog mengusulkan agar undang-undang mengenai penistaan agama dicabut. "Ada beberapa peraturan hukum yang perlu ditinjau termasuk berpikir ulang UU Penistaan Agama. Ini bukan persoalan sederhana atau dari perspektif antropologi ini menjadi sangat begitu relatif dan sangat berbahaya ketika itu dipolitisasi," ujar salah satu antropolog, R.Yando Zakaria kemarin.

Pihaknya beralasan, persoalan penistaan agama sudah tidak relevan lagi saat ini. Makanya, banyak negara-negara yang sudah tidak memberlakukan pasal penistaan agama tersebut. "Di banyak negara demokrasi di dunia ini, UU penistaan agama dicabut dan Indonesia sedikit dari negara demokrasi yang masih mempunyai UU ini. Ini yang kami imbau ke Presiden jangan ragu mengambil tindakan-tindakan konkrit untuk mengatasi masalah intoleransi," ujarnya menambahkan.

Untuk itu, pihaknya meminta Presiden Jokowi serius untuk mengambil tindakan terhadap kasus intoleransi. Mereka khawatir, Indonesia tidak akan bertahan lama kalau persoalan ini tidak diselesaikan. "Kami khawatir kalau kita terlambat mengurus masalah ini mungkin mimpi kita menjadi Indonesia berakhir. Kalau kita gagal mengelola keberagaman ini, usia Indonesia mungkin hanya akan sepuluh tahun lagi, ini yang kami garis bawahi ke Presiden.”

(mus)


http://m.news.viva.co.id/news/read/8...-agama-dihapus


antropolog g tahu sejarah atau main politikemoticon-Amazed


0
722
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan