BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Kembalikan kemandirian dan kedaulatan KPU

KPU tidak mandiri dalam membuat peraturan dan pedoman teknis pelaksanaan pilkada.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya memenuhi janjinya untuk mengajukan uji materi (judicial review) Pasal 9 (a) Undang-Undang No. 10/2016 tentang Pilkada. Ketua KPU, Juri Ardiantoro, menuturkan permohonan tersebut sudah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (22/9/2016).

Polemik soal Pasal 9 (a) UU Pilkada ini sudah sejak lama diduga akan mengebiri kemandirian KPU. Pasal tersebut berbunyi:

"Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. Menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) yang keputusannya bersifat mengikat."

Frasa keputusannya bersifat mengikat, ini menunjukkan ada ketergantungan KPU kepada DPR dan Pemerintah dalam membuat PKPU. Dengan kata lain KPU tidak mandiri dalam membuat peraturan dan pedoman teknis pelaksanaan pilkada. Bila dalam RDP, DPR dan Pemerintah tidak setuju dengan keputusan atau peraturan yang dibuat KPU, maka KPU tak punya kekuatan lain selain mengakomodasi keinginan DPR dan Pemerintah.

Ini terjadi pada peraturan tentang syarat calon kepala daerah: Tidak berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal ini sesungguhnya bukan karangan KPU. Lembaga penyelenggara pilkada itu hanya menafsirkan Pasal 7 (g) UU Pilkada, yang menyebutkan: Syarat calon kepala daerah, antara lain calon tidak pernah dipidana berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam hukuman lima tahun penjara.

Namun, Pemerintah yang diwakili Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono, bersama Komisi II DPR, meminta terpidana hukuman percobaan dikecualikan dari PKPU. Alasannya, terpidana hukuman percobaan, belum berkekuatan hukum tetap.

Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarulzaman, menafsirkan hukuman percobaan berkekuatan hukum tetap bila terpidana sudah dieksekusi masuk bui, karena sebuah kesalahan, pada masa hukuman percobaan tengah berjalan. Selain itu menurut politisi Golkar ini hukuman percobaan dinilai tak menghilangkan hak politik seseorang. Pemerintah pun sepakat dengan tafsir Komisi II itu.

Apa yang dilakukan DPR dan Pemerintah dalam RDP PKPU ini sebenarnya menunjukkan, lemahnya proses legislasi dan inkosistensi kedua lembaga tersebut. Ketika membuat UU Pilkada, keduanya sepakat terpidana tidak boleh maju sebagai calon kepala daerah. Namun dalam aturan turunan, mereka mengingkari hal tersebut dan minta KPU membolehkan terpidana (hukuman percobaan) ikut pilkada.

Tafsir soal terpidana percobaan yang kontroversial tersebut, sempat mengundang reaksi Fraksi PDIP dan Hanura. Kedua Fraksi tersebut meminta hal itu dibahas ulang. Komisi II mengabaikan keinginan dua fraksi tersebut. KPU yang semula ngotot tak menginginkan terpidana hukuman percobaan bisa jadi calon kepala daerah, akhirnya harus mengakomodasi pendapat Pemerintah dan Komisi II DPR.

Perubahan PKPU tersebut, tentu saja akan memperlancar niat politisi Golkar, Rusli Habibie, untuk kembali mencalonkan diri. Rusli adalah inkamben Gubernur Gorontalo, saat ini ia menjadi terpidana hukuman percobaan selama satu tahun, dalam perkara pencemaran nama baik mantan Kapolda Gorontalo, Komjen Budi Waseso.

Pengalaman RDP tentang PKPU No. 5 tersebut menjadi bukti nyata bahwa kemandirian KPU sudah hilang. KPU dalam pembuatan peraturan tidak berdaulat dan tidak mandiri. Lebih tepat disebut KPU sebagai subordinasi DPR dan pemerintah. Padahal UUD 1945 Pasal 22E butir ke-5, menyebutkan "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri."

Kemandirian KPU, juga diamanatkan oleh Pasal 3 ayat 3 UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasal itu menyebutkan, dalam menyelenggarakan pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Karenanya langkah yang ditempuh KPU dengan melakukan uji materi Pasal 9 (a) UU No. 10/2016 tentang Pilkada yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UU tentang Penyelenggara Pemilu, sudah tepat. KPU menggunakan hak konstitusionalnya untuk berikhtiar meraih kembali kedaulatan dan kemandiriannya dalam membuat peraturan dan pedoman pilkada. Penyelenggara pilkada yang mandiri, tidak boleh dipengaruhi siapapun dalam membuat keputusan.

Keberadaan RDP yang keputusannya mengikat dalam pembuatan Peraturan KPU, bila diteruskan cepat atau lambat bisa mengakibatkan kualitas buruk dalam penyelenggaraan pilkada. DPR dalam hal ini, bisa dikatakan bukan dalam kapasitas sebagai wakil rakyat, tapi merepresentasikan kepentingan partai politik. Padahal dalam pilkada parpol adalah bagian dari peserta kontestasi.

Apa yang bisa diharapkan dalam sebuah pilkada, bila para pihak yang berkepentingan dalam kontestasi membuat aturan main sendiri? Ibaratnya, bila pilkada dianggap sebagai sebuah permainan bola, maka para pemainnya juga sebagai pengatur pertandingan, masing-masing membawa peluit. Lalu apa fungsi kemandirian KPU, sebagai wasit yang sesungguhnya dalam pilkada?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sesungguhnya bukan kegundahan KPU sebagai penyelenggara pilkada. Namun pertanyaan tersebut juga mewakili masyarakat yang ingin demokrasi dibangun dengan nilai universal, bukan untuk kepentingan kelompok atau parpol tertentu.

Keputusan DPR dalam RDP memang bisa disebut sebagai keputusan demokratis, karena melibatkan Fraksi dalam DPR, Pemerintah dan KPU. Namun harus juga diingat, keputusan demokratis bisa pula membunuh arti demokrasi itu sendiri, bila keputusan tersebut ternyata hanya untuk kepentingan segelintir politisi dari parpol tertentu.

MK memang tak punya waktu yang panjang untuk menyelesaikan uji materi ini. Waktu menuju pilkada serentak 15 Februari 2017, tinggal 4 bulan lagi. Sementara berbagai peraturan dan pedoman KPU dibutuhkan dalam aneka tahapan menuju hari pilkada.

Semakin lama kepastian tafsir kemandirian KPU tidak diputuskan, semakin mengambang pula kualitas hasil peraturan yang dibuatnya. Buntutnya tentu memengaruhi kualitas demokrasi yang dihasilkannya.

Kita berharap MK akan bijak memutuskan uji materi UU Pilkada ini. Betapa pun, MK memiliki visi yang sama dalam mewujudkan negara demokrasi. Yaitu meluruskan aturan hukum agar tidak tumpang tindih. Juga menegakkan kemandirian dan wewenang antarlembaga pemerintah, agar tidak terjadi intervensi antara satu lembaga dengan lembaga yang lain.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...kedaulatan-kpu

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Upaya KPAI mempersoalkan Awkarin dan Anya Geraldine

- Mutasi Krishna Murti bukan karena kasus penganiayaan

- Agus Yudhoyono dan status tentara yang bakal lepas demi pilkada DKI

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.3K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan