BeritagarID
TS
MOD
BeritagarID
Utang kita pada lingkungan

Terbebas dari penyidikan kebakaran hutan
Terjadi, terjadi dan terjadi lagi. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memang sudah menjadi peristiwa tahunan. Kebakaran hutan nyaris berulang tiap tahun sejak 1070-an.

Kita menyadari, bahwa karhutla memang tidak mudah dinihilkan. Faktor alam, seperti kemarau, menjadi salah satu pemicu kebakaran. Namun tidak bisa dimungkiri, kebakaran juga sengaja dilakukan oleh manusia. Pembukaan lahan perkebunan dan pertanian dengan biaya murah menjadi alasannya.

Negeri kita memang salah satu pemilik hutan terluas di dunia. Seluas 884.950 km persegi, atau sekitar 46,46 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan hutan. Aneka industri berbasis kehutanan diberi izin untuk mendayagunakan hutan. Dari pulp (bubur kertas), pengolahan kayu, sampai sawit.

Pada 2016, kebakaran hutan terjadi sejak Januari lalu, meski tidak begitu luas. Namun pada Agustus 2016, saat kemarau basah, kebakaran cukup besar kembali terjadi di berbagai wilayah langganan kebakaran, terutama di Sumatera dan Kalimantan.

Di Provinsi Riau misalnya, menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak Januari-Agustus luas hutan yang terbakar mencapai 3.855 hektare. Asap yang ditimbulkan, tak hanya mencemari Riau. Tapi sudah bertamu ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia.

Akibat yang langsung dirasakan masyarakat adalah buruknya kualitas udara. Di Kabupaten Bengkalis misalnya, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) 287 psi. Itu artinya kualitas udara masuk dalam kategori sangat tidak sehat. Batas ISPU Sangat Tidak Sehat adalah 200-299 psi.

Kita tentu tidak ingin, kebakaran hutan pada 2015, yang bisa disebut kebakaran hutan terbesar, terulang. Kebakaran hutan tahun lalu, menghanguskan 261.060 hektare hutan. Ketika itu Presiden Jokowi, sampai turun langsung ke beberapa titik kebakaran. Presiden pun merasa dipermalukan oleh asap dalam pergaulan internasional.

Pemerintah bisa dibilang cukup serius dalam upaya mengantisipasi kebakaran hutan kali ini. Satgas gabungan dari BNPB, TNI dan Polri, melakukan pemadaman. Berbagai peralatan yang memadai dipersiapkan lebih dini. Ada delapan helikopter, dan dua pesawat water bombing untuk pemadaman, serta dua pesawat Cassa untuk membantu membuat hujan buatan.

Memang sampai saat ini, luasan kebakaran hutan dan lahan, masih tidak seberapa dibanding tahun lalu. Sampai Agustus, terdapat 3.855 hektare hutan terbakar. Sedang 2015, hutan yang terbakar seluas 261.060 hektare.

Namun, sejumlah pihak yakin bahwa luasan kebakaran tersebut masih bisa ditekan. Alasannya sederhana, dugaan kuat setiap kali ada kebakaran hutan, ada kesengajaan oleh sejumlah pihak.

Habis terbakar terbitlah kebun sawit, bukan sekadar olok-olok, tapi disaksikan oleh publik. Artinya bila kebakaran yang penyebabnya kesengajaan bisa dihilangkan, maka luasan kebakaran hutan akan berkurang sangat signifikan.

Masalahnya, dalam setiap peristiwa kebakaran hutan secara massal, aparat hukum seperti kesulitan menyeret terduga pelaku kesengajaan membakar hutan. Apalagi bila menyangkut korporasi.

Korporasi selama ini seperti di atas angin. Mereka seolah terlindungi oleh kontribusi yang telah diberikan terhadap perekonomian negara. Pada 2015, sektor pengolahan kelapa/kelapa sawit misalnya, menyumbang ekspor sebesar 20,75 miliar dolar AS.

Memang tidak bisa dimungkiri sawit menjadi primadona ekspor nonmigas. Ia penyumbang devisa tertinggi dibanding 31 komoditas ekspor nonmigas lainnya. Namun semestinya harus diingat pula, kerugian ekonomi Indonesia akibat kebakaran hutan pada 2015, menurut catatan Bank Dunia, mencapai 16 miliar dolar AS.

Kerugian tersebut, belum termasuk kerugian yang bersifat ekologis yang butuh waktu lama untuk mengembalikannya. Selain itu juga kerugian sosial dan kesehatan.

Sebagai negara hukum, semestinya aparat tidak boleh membedakan perlakuan terhadap warga negara, termasuk korporasi. Seberapa pun besarnya kontribusi ekonomi sebuah industri terhadap keuangan negara, bukan berarti bisa lolos dari jerat hukum bila terbukti melanggar.

Selama ini, yang bisa dibawa ke pengadilan kebanyakan adalah masyarakat (individu) perambah hutan. Sedang korporasi ada, namun jumlahnya tidak besar. PT National Sago Prima (NSP) adalah salah satunya.

Hakim PN Jakarta Selatan, memutuskan PT NSP membayar sekitar Rp1,07 triliun atas kasus kebakaran lahan di Riau, pada 2015. Dalam sidang Kamis (11/8/2016), Hakim Effendi Mukhtar mengabulkan sebagian gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melawan PT NSP.

Namun, ada juga korporasi yang lolos dari jerat hukum. PT Bumi Mekar Hijau (BMH), misalnya. Anak perusahaan Grup Sinar Mas ini diduga membakar lahan konsesinya seluas 20.000 hektare. Kementerian Lingkungan Hidup, menggugat secara perdata senilai Rp7,8 triliun.

Tapi, akhir tahun lalu hakim Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan, menolak gugatan gugatan tersebut. Menurut hakim, membakar hutan bukanlah kejahatan merusak lingkungan. PT Palembang memang mengabulkan banding KLHK atas putusan PN Palembang itu, namun nilai dendanya turun drastis jadi Rp78 miliar. Pihak KLHK pun berpikir untuk mengajukan kasasi.

Bila dalam perkara perdata, hakim masih berbeda pendapat dalam menerapkan hukum lingkungan, di bidang pidana, lebih parah lagi. Polda Riau misalnya, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk 15 perusahaan dari 18 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan pada 2015.

Menurut polisi penghentian penyidikan itu harus dilakukan, karena tidak ditemukan cukup bukti. Misalnya saja, perusahaan tersebut memiliki alat-alat pemadam kebakaran seperti dipersyaratkan UU.

Pemerintah dan masyarakat, tidak bisa menerima penghentian penyidikan tersebut. Presiden pun meminta Kapolri dan Kapolda Riau menjelaskan kasus tersebut kepada publik. Aspirasi tersebut, kali ini ditangkap DPR.

Guna mendalami kasus itu, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat resmi membentuk panitia kerja. Dan Polri bergeming. Dia meminta masyarakat, mengajukan praperadilan terhadap SP3 tersebut, agar pengadilan yang memutuskan sah dan tidaknya penghentian penyidikan itu.

Lolosnya para pihak yang diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan pada 2015 tersebut, menimbulkan pertanyaan dalam penegakan hukum lingkungan. Di satu sisi BNPB dan tim gabungan begitu serius dalam memadamkan hutan, bahkan sampai ada korban meninggal. Tapi di sisi lain, penegak hukum terkesan kurang serius menangani dugaan tindak pidana yang dilakukan korporasi.

Kritik Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), yang menyebut penegakan hukum lingkungan masih lemah, menemukan konteksnya. Pelaksanaan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinilai belum bisa menimbulkan efek jera.

Salah satu kelemahan dalam pelaksanaan hukum lingkungan adalah transparansi pengawasan dalam penegakan hukum, khususnya laporan penataan pelaku usaha. Pusat data profil penataan pelaku usaha lingkungan yang akurat dan bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat menjadi kebutuhan mendesak.

Dengan data tersebut masyarakat bisa ikut membantu mengawasi sepak terjang perusahaan yang melakukan pelanggaran lingkungan hidup. Siapa saja yang mengolah, dan mendayagunakan hutan secara legal, dan sebaliknya. Bukan omong kosong, bila data yang selama ini tercatat secara resmi, belum mencerminkan kenyataan di lapangan.

Pelibatan masyarakat menjadi hal penting, sebab dalam terjadinya kerusakan lingkungan, masyarakatlah yang paling depan menjadi korban. Bila kita tidak bisa terlibat dalam pengawasan penindakan kejahatan pembakaran hutan dan lahan, selamanya kita akan berutang kepada lingkungan hidup.

Kepada kemampuannya mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup yang lain.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...ada-lingkungan

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.2K
0
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan