BeritagarID
TS
MOD
BeritagarID
Waspadai keterlibatan militer dalam politik

Kader bela negara butuh jiwa kebangsaan, dalam kehidupannya di masyarakat. Bukan sebaliknya.
To defend nation, Indonesia to give weapons training to Bali "gangsters". Begitu judul berita kantor berita Reuters, yang kemudian dikutip berbagai media.

Pelatihan senjata bagi para preman dalam rangka bela negara? Apakah negara menghadapi ancaman hebat atau premannya yang hebat? Entahlah.

Yang pasti, Komando Daerah Militer (Kodam) IX Udayana, Bali, berencana merekrut 100 orang dari ormas, pengangguran bahkan juga preman sebagai kader bela negara. Pelatihan semi militer juga dilengkapi pengenalan senjata. Latihan akan dimulai Juli mendatang.

Bela Negara merupakan program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Program ini juga merupakan salah satu Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2015-2019.

Program Diklat Bela Negara bersifat "Soft Power" atau kekuatan lunak dalam mendayagunakan potensi pertahanan yang dimiliki bangsa Indonesia dengan memanfaatkan SDM. Yaitu seluruh warga negara Indonesia, baik di lingkungan pendidikan, pemukiman maupun lingkungan kerja.

Itulah yang disampaikan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, saat meluncurkan situs bela negara, Februari lalu.

Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Timbul Siahaan, menjelaskan dalam praktiknya, program bela negara bukanlah wajib militer. Sama sekali tidak menggunakan alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Materi dalam program bela negara ini terbagi menjadi 70-80 persen teori, dan 20-30 persen praktik di lapangan. Adapun, untuk praktik di lapangan, hanya semacam kegiatan di ruang terbuka (outbond).

Program bela negara dirancang sebagai respons Kemenhan dalam mewujudkan program revolusi mental yang digagas oleh Presiden Joko Widodo. Harapannya dengan program ini masyarakat mendapatkan kesadaran akan konsep bela negara yang terdiri dari nilai-nilai cinta tanah air, rela berkorban, dan yakin dengan ideologi Pancasila.

Masalahnya, program bela negara di Kodam Udayana terkesan memprioritaskan preman dan ormas. Apalagi menurut juru bicara Kodam IX/Udayana, Kolonel Inf. J.Hotman Hutahaean, dalam pelatihannya dilakukan secara semi militer. Diberikan pengenalan senjata, pelatihan menembak dan latihan fisik.

Targetnya memang bisa merangkul ormas sebanyak-banyaknya. Setelah dilatih mereka akan dibuatkan kartu anggota bela negara. Dalam kartu anggota nanti, akan disertakan nomor institusi Kodam IX/Udayana.

Tujuan akhirnya anggota Ormas tersebut menjadi pemuda yang berguna untuk bangsa dan negara, bertanggung jawab ikut mengamankan wilayah NKRI, sehingga dapat bersinergi dengan TNI untuk menanggulangi ancaman di masa yang akan datang.

Mengapa pelatihan bela negara di Bali diarahkan untuk menanggulagi ancaman? Inilah yang menggiring pemikiran untuk mencari benang merah dengan berbagai peristiwa politik belakangan ini.

Setidaknya ada dua isu sosial besar yang kemudian berkembang menjadi isu politik bahkan berikutnya sejumlah pihak menganggap sebagai ancaman nasional.

Pertama isu soal LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender). Isu semula adalah diskriminasi yang didasari pada orientasi seksual. Sejumlah pihak meminta praktik diskriminasi itu dihilangkan.

Namun kemudian isu digeser ke aspek moralitas, dan bahkan kemudian dianggap ancaman nasional. Tudingan di balik teriakan antidiskriminasi itu ada kepentingan asing (liberalisme) bermain di belakangnya.

Isu berikutnya adalah soal peristiwa 1965. Pemerintahan Joko Widodo memang berjanji menyelesaikan berbagai dugaan pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk peristiwa 1965. Simposium peristiwa 1965 pun diselenggarakan. Rekonsiliasi, seperti mengerucut menjadi pilhan penyelesaian.

Namun ada penolakan sekelompok masyarakat terutama kalangan militer yang dipelopori oleh para pensiunan Jenderal. Mereka menganggap rekonsiliasi bila dilakukan adalah bentuk legaliasasi komunisme.

Padahal paham itu jelas dilarang di Indonesia. Sejumlah purnawirawan siap menggalang kekuatan masyarakat untuk menolak rekonsiliasi. Bahkan menuding simposium yang dilakukan pemerintah adalah bukti bangkitnya komunisme di Indonesia.

Di sisi yang lain sejumlah masyarakat mendukung rekonsiliasi sebagai bentuk penyelesaian. Sebuah pengakuan bangsa yang ksatria, tentang perjalanan kelam di masa lalu dan berjanji tidak mengulangi di masa mendatang.

Nah apakah kelompok masyarakat yang memperjuangkan antidiskriminasi dan rekonsiliasi itu yang kini dianggap sebagai ancaman bangsa? Bila iya, tentu sangat menyedihkan. Apalagi bila mereka kemudian harus dihadapkan dengan para kader bela negara yang dilatih secara semi militer.

Skenario seperti itu, tentu mengingatkan kita pada peristiwa 1998. Setelah Presiden Soehato mundur, pemerintahan Presiden Habibie didukung militer mengagendakan Sidang Istimewa (SI) MPR.

Kelompok kritis dan mahasiswa menolak SI, karena tidak percaya dengan pemerintahan Habibie, yang dianggap hanya akan mengakomodasi kepentingan Soeharto.

Situasi kritis mulai terlihat penolakan SI oleh masyarakat begitu massif. Militer seperti tidak mau dihadapkan langsung dengan masyarakat. Karenanya Menhankam Pangab, Jenderal Wiranto, memerintahkan Panglima Kostrad Letjen TNI Kivlan Zein untuk menggalang kekuatan massa.

Akhirnya dibentuk Pam Swakarsa, setidaknya seperti itu pengakuan Kivlan. Puluhan ormas bergabung dalam Pam Swakarsa, jumlah anggotanya konon mencapai 30 ribu orang di seluruh Indonesia.

Tugasnya untuk mengamankan SI. Pembiayaannya diambilkan dari dana non budgeter Bulog sebesar Rp10 miliar.

Masyarakat jengah dengan kehadiran Pam Swakarsa. Deklarasi Ciganjur, yang disampaikan oleh empat tokoh: Gus Dur, Megawati, Sultan Hamengkubuwono X, dan Amien Rais, agar pemerintah membubarkan Pam Swakarsa tak digubris Wiranto.

Dengan dukungan militer, Pam Swakarsa yang dipersenjatai dengan bambu runcing dan senjata tajam, cukup efektif melawan masyarakat dan mahasiswa penolak SI. Pam Swakarsa berkali-kali terlibat bentrokan dengan para pengunjuk rasa yang menentang SI.

SI pun berlangsung aman, hasilnya percepatan pemilu disepakati. Tapi korbannya tidak sedikit. Sebanyak 17 anggota masyarakat tewas, dalam peristiwa yang kemudian disebut sebagai tragedi Semanggi I.

Kehadiran Pam Swakarsa adalah bentuk keterlibatan politik milter dalam pemerintahan. Sebuah praktik terlarang dalam demokrasi. Militer bertugas mempertahankan keamanan negara termasuk rakyat di dalamnya.

Bukan berpolitik menghadapkan kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya, agar terhindar dari tudingan pelanggaran HAM.

Alih-alih pelatihan bela negara, lalu menggalang kekuatan masyarakat sebagai garda depan militer seperti dilakukan di Kodam Udayana, tidak perlu dilanjutkan. Pam Swakarsa 1998 sudah cukup memberi contoh buruk.

Kader bela negara yang sesungguhnya, bukanlah anggota ormas dan preman yang dilatih semi militer selama dua minggu, dan mengenal senjata. Kader bela negara butuh jiwa kebangsaan, dalam kehidupannya di masyarakat.

Kembalikan materi bela negara ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Dengan begitu semua warga Indonesia akan paham tentang kewajiban bela negara dalam kehidupan sehari-harinya atau dalam menjalankan profesinya.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...-dalam-politik

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
5.1K
7
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan