BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Politik pangan mengendalikan sapi jelang lebaran

Presiden Jokowi meminta harga daging sapi harus bisa di kisaran Rp87 ribu per kilo, sementara di pasaran berkisar Rp100-120 ribu per kilo.
Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang setiap menjelang hari raya Idul Fitri, disuguhi akrobat lonjakan harga pangan. Setidaknya, itulah yang dicermati oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Suharso Monoarfa.

Lonjakan harga bahkan dimulai menjelang puasa Ramadan dan mencapai puncaknya seminggu sebelum lebaran. Peristiwa seperti itu sudah berulang puluhan tahun. Banyak faktor menjadi penyebab. Misalnya, ada unsur permainan harga di rantai pemasaran mulai dari produsen (petani), pedagang besar sampai ke pedagang eceran di pasar.

Namun tidak bisa dimungkiri, lonjakan harga adalah realitas pasar. Ketika permintaan tinggi, sedang ketersediaan barang kurang, sudah menjadi hukum pasar, harga akan membumbung tinggi.

Bisa dimaklumi, di Indonesia ada fakta paradoks. Saat puasa yang semestinya konsumsi menurun, tapi yang terjadi sebaliknya. Kebutuhan pangan justru meningkat. Penyebabnya tentu saja karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Jumlah umat muslim di Indonesia kurang lebih 85 persen dari jumlah 250 juta penduduk. Meningkatnya volume kebutuhan pangan mereka, akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan volume kebutuhan pangan nasional.

Presiden Joko Widodo, sudah sejak awal April mengantisipasi hal tersebut. Dalam rapat itu, presiden meminta para menterinya agar bisa menstabilkan harga pangan. Daging sapi misalnya, ia meminta harus bisa di kisaran Rp87 ribu per kilo. Saat itu harga daging sapi di pasar berkisar Rp100-120 ribu per kilo.

Bahkan dia meminta menteri berani mencopot pejabat yang menghambat penurunan harga daging sapi. Berbelitnya perizinan, menjadi salah satu hal yang menghambat kebijakan pemerintah menekan harga daging sapi.

Peringatan dini presiden, sepertinya tidak sepenuhnya mendapatkan perhatian. Sampai sepekan menjelang Ramadan, ada beberapa komoditas yang masih melambung tinggi. Daging sapi misalnya di pasar masih Rp120-130 ribu. Sedang bawang merah mencapai Rp40 ribu per kilo. Padahal idealnya harga bawang merah adalah Rp20 ribu.

Akhirnya presiden pada 30 Mei lalu, meminta agar harga daging sapi bisa ditekan menjadi Rp80 ribu per kilo. Penentuan harga tersebut, bukan tanpa alasan.

Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Australia, New Zealand, India dan beberapa negara lainnya bisa mendatangkan daging dengan harga sampai di konsumen Rp80 ribu per kilo gram. Di Australia harga daging sapi hanya sekitar Rp58 ribu per kilo, sementara di Malaysia atau Singapura bisa dijual Rp70-75 ribu per kilo.

Nah untuk mencapai harga yang diinginkan presiden, Kementerian Pertanian segera mengimpor 10.000 kilo gram daging sapi. Meski pun sebelumnya pemerintah sudah punya patokan kuota tahunan sebesar 700.000 sampai 800.000 ekor per tahun.

Sementara untuk bisa menekan harga bawang merah dari Rp40 ribu per kilo gram menjadi Rp25 ribu, pemerintah melalui Perum Bulog membeli bawang merah dari petani. Bulog pun merencanakan memborong 40 ton bawang merah petani di Brebes. Patokan harga beli Bulog sebesar Rp22 ribu per kilo. Lalu Bulog akan menjual Rp25-26 ribu.

Pembelian Bulog tak hanya di Brebes, setra bawang merah di Jawa Timur, Nganjuk, juga dilakukan hal yang sama. Namun di kota itu, Bulog akhirnya batal melakukan pembelian, setelah tahu ada permainan. Stok bawang merah di petani, tiba-tiba menumpuk.

Hasil investigasi yang dilakukan menunjukkan ada spekulan yang bermain di belakang petani. Bawang yang ada di tangan petani ternyata tak hanya hasil panenan sendiri, tapi banyak yang didatangkan dari daerah lain. Mereka melakukan hal tersebut karena tahu stok bawangnya akan diborong Bulog.

Melejitnya harga bawang merah saat ini, sebenarnya memang sebuah anomali. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir produksi bawang merah sudah melebihi kebutuhan. Indonesia bahkan sudah surplus. Pada 2014-2015 produksinya mencapai 1,2 juta ton dan pada 2015-2016, sebanyak 1,1 juta ton. Sedangkan kebutuhan per tahun sebesar 975 ribu ton.

Apakah keinginan presiden soal stabilisasi harga pangan saat Ramadan dan Idul Fitri akan berjalan efektif? Kita akan bisa melihat buktinya pada Juli mendatang. Apapun, presiden sudah berusaha memacu para pembantunya untuk merespon keluhan masyarakat soal harga pangan setiap kali menjelang lebaran.

Selanjutnya presiden juga semestinya mengingatkan hal yang lebih besar. Yaitu politik pangan nasional. Peningkatan beberapa bahan pangan saat menjelang lebaran sesungguhnya menjadi bagian dari politik pangan.

Politik pangan butuh perencanaan jangka panjang dan berkelanjutan, dalam tahapan-tahapan yang jelas. Dengan begitu, kemandirian pangan, kedaulatan pangan dan swasembada pangan, tak boleh berhenti hanya di wacana.

Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia masih punya ketergantungan tinggi terhadap impor bahan pangan. Pada 2015, setidaknya ada 8 komoditas impor dengan nilai cukup tinggi. Komoditas itu: Beras 225.029 ton dengan nilai USD97,8 juta; Jagung 2,3 juta ton dengan nilai USD522,9 juta, dan Kedelai 1,52 juta ton dengan nilai USD719,8 juta.

Selanjutnya Biji gandum dan meslin 4,5 juta ton dengan nilai USD1,3 miliar; Tepung terigu 61.178 ton dengan nilai USD22,3 juta; Gula Pasir 46.298 ton dengan nilai USD19,5 juta; Gula tebu (Raw Sugar) 1,98 juta ton dengan nilai USD789 juta; serta Garam 1,04 juta ton dengan nilai USD46,6 juta

Total nilai impor 8 komoditas pangan tersebut mencapai USD3,5 miliar, atau sekarang sekitar Rp51 triliun.

Politik pangan diperlukan, agar pelaku di sektor pangan paham apa prioritas pemerintah dalam mencapai kemandirian pangan, misalnya. Apa strategi untuk mencapainya? Juga di mana posisi pelaku usaha di sektor pangan bisa ikut berperan serta?

Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan, politik pangan semestinya juga bisa menjawab industri pertanian secara keseluruhan. Selain teknis pertanian dan komoditas unggulan, mesti juga diselesaikan persoalan yang menyertainya.

Misalnya distribusi dan panjangnya mata rantai pemasaran. Dua hal inilah yang selama ini menjadi faktor penyebab tingginya harga pangan di tangan konsumen, tapi tidak menambah kesejahteraan petani.

Dengan politik pangan yang jelas, kita bisa dengan bangga mengatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Selanjutnya, pada lebaran-lebaran tahun mendatang, pemerintah tidak perlu lagi menggunakan jurus impor daging dadakan, hanya sekadar untuk menekan harga di pasar.


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...jelang-lebaran

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
4K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan