BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Mengenang Teddy, seniman liar yang berdiri di luar kebiasaan

Pukul 19.45, Jumat 27 Mei 2016 kemarin, perupa asal Yogyakarta S. Teddy Darmawan menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah Semarang. Raganya takluk setelah digerogoti kanker sejak empat tahunan lalu.

Di Yogyakarta, kabar itu tersiar ke publik setengah jam setelah kematiannya. Di sela pembukaan bursa seni rupa Mandiri Art|JogS E N S O R di Jogja National Museum, Commission Work Artist Venzha Christiawan dalam sambutannya mengatakan dunia seni rupa sedang berduka. Malam itu, Indonesia kehilangan satu seniman besarnya.

Teddy meninggal pada usia 45 tahun. Lahir di Padang, Sumatera Barat tahun 1970, ia menempuh pendidikan seni lukis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Teddy masuk tahun 1992. Garis tangannya menggambarkan ia seniman berbakat, bahkan sejak mahasiswa. "Pemikirannya tentang seni melampaui zamannya," kata Kuss Indarto, mahasiswa ISI Yogyakarta angkatan 1989.

Betapa tidak, Teddy telah membetot perhatian sejak tahun pertama kuliah. Sekitar tahun 1993, Kuss mengingat, Teddy pernah membuat ratusan lembar gambar potret diri. Dibuat dengan cara memfotokopi di atas kertas kuarto, gambar itu ia tempelkan di pintu masuk dan sebagian tembok gedung Seni Murni, tempatnya kuliah. "Nempel-nya malam-malam, lemnya kuat banget," kata Kuss, kini seorang kurator seni.

Sontak, seisi kampus gempar keesokan harinya. Berbagai komentar muncul dengan derasnya, termasuk yang nyinyir. Dari yang menganggap Teddy sekadar mencari sensasi sampai yang jengkel karena harus membersihkan dinding dari tempelan kertas. Menurut Kuss, aksi itu membuktikan Teddy adalah pribadi berani dalam mengeksplorasi gagasan artistik dan estetika seni rupa sejak mahasiswa.

Teddy juga seniman yang berdiri di luar kebiasaan -kalau tak ingin disebut liar. Ia tak ingin terkungkung dalam tatanan dan pagar estetika dalam menentukan kerja kreatif.

Pada 21 April di tahun 1995 atau 1996, Kuss lupa tahun pastinya, serombongan aktivis Yogyakarta menggelar aksi di tengah upacara Peringatan Hari Kartini di Rembang, Jawa Tengah. Teddy adalah satu di antara para peserta aksi. Mereka datang ke kota kelahiran Raden Ajeng Kartini untuk mempertanyakan kembali semangat kepahlawanan tokoh perempuan Indonesia itu.

Beberapa peserta aksi berjalan dengan tubuh telanjang, hanya bercelana dalam, dan berlumuran cat putih menuju alun-alun kota Rembang, tempat upacara peringatan digelar pemerintah. Termasuk Teddy. Ia berjalan cuek dan cengangas-cengenges tak menghiraukan Komandan Kodim berpangkat kolonel yang marah dan menghentikan aksi mereka. "Bibit (liar) itu memang sudah lama hadir dalam dirinya," kata Kuss.

Jiwa liar itu terus berkembang dalam dirinya. Kuliah seni murni dan memilih Program Studi Seni Lukis tak membuatnya berhenti mengeksplorasi media lainnya. Belakangan ia juga menekuni karya patung dan seni instalasi. Pernah ia membuat patung berbentuk televisi dari bahan batu cadas yang didatangkan dari Gunung Kidul. Patung-patung televisi itu, lebih dari sebuah, ia jajar di atas pasir. Baginya, karya itu adalah sindiran betapa orang-orang modern berubah bak patung jika sudah duduk di depan televisi.

Suatu kali, ia juga membuat karya yang pedas mengkritik penguasa. Bentuknya sebuah kursi dengan belasan parang tanpa gagang sambung-menyambung hingga membentuk pohon di atasnya. Kalau tak salah, karya itu berjudul "Kultural Sadis" yang ia buat pada tahun 2000. Teddy menempatkan kursi itu sebagai simbol kekuasaan. Adapun belasan parang yang membentuk pohon merupakan gambaran daftar kasus kekerasan.

Secara umum, karya itu berbicara bagaimana sejarah kekuasaan di negeri ini dibangun dari deretan panjang kekerasan. Kekerasan demi kekerasan, sambung menyambung, membentuk pohon kekerasan.

Teddy juga bukan seniman yang segera puas dengan hanya satu media dan bentuk dalam berkarya. Ia selalu gelisah di saat masuk zona nyaman. Pernah ia melontarkan kritik bagaimana para perupa kebanyakan memilih kursi sebagai simbol kekuasaan. Baginya, kursi bukanlah satu-satunya bentuk simbol dari kekuasaan. Dan para perupa harus mencari bentuk baru untuk menginterprestasikannya. "Dia anti-mainstream dan seperti itulah seni seharusnya, mencari another form of art," kata Kuss.

Begitulah Teddy. Tak pernah lelah mencari kebaruan dalam berkesenian. Seperti sajak pendek yang ia tulis untuk pameran seni rupa "Padi Menguning" di Syang Art Space Magelang, pameran terakhir yang ikuti sebelum menjemput ajal.

Setiap garis bukan garis yang sama

Setiap warna adalah warna yang berbeda

Angin yang berhembus ini bukan yang tadi lewat

***

Teddy dan kawan-kawannya.
Saya berkenalan dengan Teddy pada Juli 2011 dalam sebuah wawancara untuk liputan surat kabar nasional. Saat itu, Teddy sedang menggelar pameran tunggal bertajuk "Reposisi: Art Merdeka!" selama dua bulan, 2 Juli-26 Agustus 2011, di Langgeng Art Foundation, sebuah ruang pamer seni rupa di Jalan Suryodiningratan Kota Yogyakarta.

Reposisi merupakan proyek seni tahunan Langgeng Art Foundation. Proyek ini menjadi semacam pembacaan ulang karya seniman Indonesia yang dianggap memiliki perkembangan eksplorasi yang kaya dari waktu ke waktu. Reposisi untuk Teddy adalah yang kedua kalinya digelar Langgeng. Pada Reposisi pertama, Langgeng memilih membaca karya FX Harsono.

Saya menemui Teddy di rumahnya, di bilangan Kasihan, Bantul pada suatu malam dua pekan setelah pembukaan pameran di Langgeng. Dengan tubuh penuh rajah, rambut gondrong awut-awutan, celana jins belel, penampilannya sungguh berantakan.

"Pernah baca buku Akar Kekerasan yang ditulis Erich Fromm?" ia bertanya pada saya sebelum memulai wawancara.

Saya tergeragap.

"Viva La Muerte ada di buku itu," katanya sebelum saya sempat menjawab pertanyaan.

Mendengar penjelasannya tentang Viva La Muerte, segera terlintas di benak saya, di balik penampilannya yang acak-acakan Teddy bukan seniman sembarangan. Saya berpikir, setidaknya ia telah melahap habis isi buku setebal hampir 800 halaman itu.

Viva La Muerte adalah judul salah satu karya Teddy yang dalam pameran itu. Bentuknya menyerupai hewan berkaki empat. Tubuhnya terbuat dari besi, menggendong empat drum di perutnya, dan empat kakinya terdiri dari dua pasang sepatu lars serdadu. Ujud kepala binatang itu mirip ember tengkurap dengan mata merah menyala. Garang. Sepasang tanduk berbahan parang tajam melekat di atasnya. Mirip tanduk rusa bercabang dua. Secara umum, citraan hewan imajinatif itu menyerupai Barong Bali.

Karya itu lahir setelah Teddy membaca buku Akar Kekerasan. Dalam bahasa latin, Viva La Muerte berarti kejayaan untuk perang. Viva La Muerte, karya Teddy, adalah simbol watak kekerasan pada tiap manusia sejak lahir. Nafsu berkuasa atas manusia lain itu terbawa hingga dewasa. Namun karena terbatasi oleh norma, nafsu menindas ini tersamarkan atau bahkan berhasil dikendalikan. "Ini semacam virus bawaan sejak lahir," katanya.

Selain mengusung tema anti kekerasan dalam Art Merdeka-nya, karya Teddy juga sarat dengan kritik terhadap militerisme. Di ruang pamer itu, ia juga menampilkan karya berjudul "1997". Bentuknya selembar kain loreng seragam tentara ukuran 140 x 100 meter. Kain itu menjadi kanvas untuk lukisannya yang bergambar siluet kepala orang, angka 1997, dan seekor babi. Dibuat pada 1998, karya itu menggambarkan kekerasan yang dilakukan militer pada 1997 pada masyarakat sipil menjelang jatuhnya rezim orde baru.

Boleh jadi bagi seniman penganut faham lama, menggunakan bahan jadi -semisal kain loreng bahan baju tentara itu- dalam berkarya adalah sesuatu yang haram. Tapi tidak bagi Teddy. Bahan jadi, murahan, bahkan benda sederhana di sekitar kita tetap bisa dimanfaatkan untuk berkreasi. Prinsipnya, semua bahan itu ia pilih untuk mempermudah komunikasi dengan penikmat karya.

Tak terasa satu jam saya mewawancarainya. Menjelang pamit, ia meminta saya menerima miniatur tank berbahan fiber. Warnanya merah, mirip mainan anak-anak. Hanya saja, bentuk meriam tank -maaf- ia ganti berbentuk alat kelamin laki-laki.

Menurut dia, ia banyak membuat miniatur serupa untuk dibagikan pada pengunjung pamerannya. Ia ingin menyebarkan semangat anti kekerasan pada tiap orang. "Simpan saja jangan sampai hilang," sembari membubuhkan tanda tangan di bagian bawah miniatur tank.

Jumat 27 Mei 2016 malam di halaman Jogja National Museum saya termangu setelah mendengar kabar Teddy telah pergi. Saya bersyukur pernah mewawancarainya. Tapi saya menyesal karena lupa di mana menyimpan miniatur tank pemberiannya.
WhatsApp Terakhir Teddy untuk Tono
Lukisan berjudul 'Jalan Pelan' karya S. Teddy Darmawan dalam pameran seni rupa bertajuk 'Jalan Gambar' di Galeri Salihara, Jakarta, Rabu, 5 Juni 2013.
Suatu hari pada April 2016 lalu, pemilik Galeri Syang Art Space Magelang Ridwan Muljosudarmo berkunjung ke Art Merdeka, studio seni Teddy di Kasihan, Bantul. Selain Teddy, ada tiga perupa lain di sana. Yustoni Volunteero, Bob Yudhita Agung, dan Tohjaya Tono. Keempat perupa itu telah berkawan lama.

Di sela diskusi kecil mereka berlima, mendadak terlintas rencana menggelar pameran seni rupa bersama. Perupa peserta pameran mereka empat sekawan itu. Adapun lokasinya di Syang Art Space milik Ridwan. "Meski kondisi kesehatannya terus menurun, Teddy tetap bersemangat pameran," kata Tono, Sabtu 28 Mei 2016 sore kemarin.

Beberapa hari kemudian, keempat sohib karib itu kembali berkumpul di Art Merdeka. Di sela obrolan mematangkan rencana pameran di Magelang, Teddy mengusulkan mereka foto bareng. Keempatnya memilih posisi duduk bersama di sofa. Secara berurutan, Tono duduk di bagian paling kanan. Lalu Teddy di sebelah kirinya, disusul Bob dan Yustoni.

Belakangan, foto itulah yang menjadi gambar utama untuk poster pameran mereka. Berjudul "Padi Menguning", pameran yang dikuratori oleh A.Anzieb itu berlangsung selama sebulan di Syang Art Space Magelang, 22 Mei hingga 22 Juni 2016.

Untuk mempersiapkan pameran itu, Teddy mengusulkan agar masing-masing membuat 25 "self potret", karya mini berukuran. Sayangnya tak semua membuatnya. Hingga hanya terkumpul 75 "self potret" dalam pameran itu. Teddy sendiri baru merampungkan 21 karya dari 25 jatah karya yang mesti dibuatnya. "Sebenarnya ia sudah buat 25, tapi yang empat belum ditandatangani," kata Tono.

Agaknya waktu dan kondisi kesehatan yang tak memungkinkan baginya untuk tuntas mempersiapkan pameran itu. Sepekan menjelang pembukaan pameran kondisi kesehatannya terus menurun. Ia minta pulang ke Semarang, tempat tinggal orang tuanya. "Saya sudah lihat sinyal...," kata Tono, tanpa melanjutkan ucapannya tentang sinyal yang ia maksud.

Sejak beberapa tahun terakhir, Teddy memang keluar-masuk rumah sakit untuk mengobati penyakit kankernya. Ia bahkan menjalani perawatan hingga ke sebuah rumah sakit di Singapura. "Pernah dioperasi tapi kankernya tumbuh lagi," kata Tono.

Kamis, 19 Mei 2016 menjelang subuh, atau tiga hari menjelang pembukaan pameran, Tono mengirimkan pesan Whats App pada Teddy. Ia mengabarkan perkembangan persiapan pameran di Magelang sekaligus menyampaikan salam Ridwan pada Teddy.

"Dia pengen kita bareng2 jalan2 ke Madura sambil ngelukis," demikian tulis Tono pada Teddy. Di bawah pesan itu, Tono juga mengirimkan poster pameran mereka.

Lama pesan itu tak mendapat balasan dari Teddy. Baru pada pukul 21.00, telepon genggam Tono berdering menerima pesan balasan Teddy.

"Aku dah gak bisa ngapa2 lagi bro ini yg terakir buat ku ton aku drop ndemam terus. Aku mints di semaranga di kremassi di sini," tulis Teddy dalam pesan singkat pada Tono.

Pesan itu memang tertulis berantakan kata per kata. Menurut Tono, tak hanya kanker yang menggerogoti tubuh, belakangan glukoma juga telah merenggut penglihatan Teddy. Untuk menulis pesan itu, Tono mendapat kabar Teddy harus bersusah payah mengerahkan tenaga yang tersisa. "Sampai pakai senter untuk melihat," katanya.

Toh, Teddy tak putus asa menggapai keinginannya. Bahkan ketika tenaga sedikit tersisa. Di hari pembukaan pameran, Teddy meminta keluarga mengantarnya datang ke Syang Art Space Magelang. Tapi kondisi kesehatan dan jarak tempuh Semarang-Magelang tak memungkinkannya.

Hingga Jumat malam kemarin, pesan singkat mendarat di Whats App Tono.

"Telah berpulang kerumah Bapa di Surga S. Teddy Darmawan jam 19:45 di RSUD Semarang. Dan disemayamkan di Rumah Duka Panti Wilasa Citarum, Jl. Citarum 98, Semarang. Upacara tutup peti hari Minggu, 29 Mei 2016 (untuk jam menyusul). Terimakasih. Tuhan memberkati."

"Teddy disemayamkan di Rumah duka RS Panti Wilasa Citarum, Jl. Citarum 98 Semarang... Upacara hari Minggu tgl 29."

Selamat jalan Bung Teddy....


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...luar-kebiasaan

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.3K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan