Pengadilan Singapura memerintahkan penangkapan atas Direktur salah satu perusahaan Indonesia karena kasus asap pembakaran hutan. Sebabnya, direktur itu tak datang buat wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Nasional (National Environment Agency/NEA) Singapura.

Direktur yang tak disebutkan namanya itu, telah diundang untuk menghadiri wawancara dengan NEA soal asap terkait aturan Transboundary Haze Pollution Act (THPA). Namun ia tak datang juga. NEA telah memperoleh surat perintah pengadilan untuk mengamankan kehadiran ketika ia memasuki Singapura, yang sesuai dengan ketentuan hukum THPA tersebut. "Jika direktur itu memasuki Singapura, ia bisa ditahan oleh petugas NEA untuk tujuan investigasi, "kata seorang juru bicara NEA dalam sebuah pernyataan, Rabu (11/5) yang dilansir oleh Singapuraterkini.com.

NEA, dalam siaran persnya September lalu memanggil empat perusahaan Indonesia untuk dimintai keterangan. Mereka diduga berkontribusi atas kebakaran lahan yang membuat negara Merlion itu berasap sejak 10 September 2015. Keempat perusahaan itu adalah PT Rimba Hutani Mas, PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, PT Bumi Sriwijaya Sentosa, dan PT Wachyuni Mandira.

April lalu, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air, Masagos Zulkifli, telah memanggil mereka yang terlibat dalam kebakaran lahan gambut di Indonesia yang menyebabkan negara kecil itu disesaki asap. Perusahaan itu diundang untuk dimintai informasi bagaimana perusahaannya mengurangi kebakaran lahan.

Atas perintah tangkap ini Indonesia melayangkan protes keras. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir, protes itu dilayangkan lewat duta besar Indonesia.

"Jangan sampai merugikan perdagangan dan kerja sama yang baik saat ini khususnya perusahaan kita," kata dia seperti dipetik dari Detik.com, Kamis (12/5). Menurut Arrmanatha, Pemerintah Indonesia sejak awal menyampaikan keberatan dari aturan yang rencananya diterapkan di Singapura.

Singapura mengesahkan undang-undang Transboundary Haze Pollution Act pada 2014. Dalam beleid itu, perusahaan yang terbukti terlibat dalam praktik yang menyebabkan kabut asap dapat dijatuhi dengan maksimal Sing$100 ribu (sekitar Rp970 juta) untuk setiap hari terdapat kabut asap di Singapura.

Jika terbukti bahwa ketika kabut asap terjadi, perusahaan gagal menaati langkah pencegahan terkait polusi asap, maka denda ditambah Sing$50 ribu (sekitar Rp485 juta) setiap hari perusahaan gagal menaati aturan tersebut.

Singapura ngotot meminta bukti dan daftar nama perusahaan pembakar lahan itu. "Kami telah meminta secara berkala nama dan detail perusahaan yang diduga terlibat dalam hal ini, sehingga kami dapat bertindak sesuai hukum kami," kata dubes Singapura, Anil Kumar Nayar, kepada wartawan BBC Indonesia.

Namun Indonesia bergeming. Saat itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan Singapura sebaiknya fokus pada perannya dan menahan diri untuk berkomentar tentang upaya Indonesia dalam mencegah kebakaran hutan.

Singapura disesaki asap pada periode September-Oktober 2015. Indeks Pencemaran Udara di Singapura mencapai 341, tertinggi sepanjang tahun, melampaui standar yang aman bagi kesehatan, 300. Saat itu, Jaringan supermarket terbesar di Singapura, NTUC FairPrice sampai-sampai menarik tisu dan produk lain buatan perusahaan asal Indonesia, yang diduga menyebabkan asap yang menyelimuti hidup mereka.

"Kami berinisiatif bertemu dengan berbagai pihak terkait untuk membahas langkah atas sejumlah perusahaan karena otoritas menengarai perusahaan tersebut berkontribusi terhadap terjadinya kabut asap," ujar CEO NTUC FairPrice, Seah Kian Peng, seperti dilansir Kompas.com. Singapura, saat itu menawarkan bantuan untuk memadamkan api dan meredam asap. Namun Indonesia menolak bantuan itu. Belakangan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mempersilakan Singapura untuk ikut campur tangan memadamkan kebakaran hutan itu.

https://beritagar.id/artikel/berita/...haan-indonesia