BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Razia dan teror menodai perayaan Hari Buku Nasional

Sejumlah buku yang dilarang beredar pada zaman orde baru (14 Mei 2003).
Selasa, 17 Mei 2016, bertepatan dengan perayaan Hari Buku Nasional. Perayaan ini diinisiasi sejak tahun 2002, oleh Menteri Pendidikan Nasional (Kabinet Gotong Royong), Abdul Malik Fadjar --kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Pada 17 Mei, setidaknya ada dua momen yang dianggap penting dalam dunia literasi Indonesia. Pertama, pendirian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), 17 Mei 1950. Kedua, pencanangan pendirian Perpustakaan Nasional (Perpusnas), 17 Mei 1980.

Di media sosial, ucapan "Selamat Hari Buku Nasional" terpantau merajai Tren Twitter Indonesia, Selasa (17/5/2016).

Di luar riuh ucapan itu, momen Hari Buku Nasional juga diwarnai sejumlah kritik atas kondisi terkini duna perbukuan.

Dari Yogyakarta, hadir pernyataan dari Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY), sebuah aliansi yang terdiri dari penerbit, lembaga percetakan, toko buku, pelapak daring, asosiasi buku, pembaca, media komunitas, dan organisasi serta individu yang peduli soal dunia perbukuan.

Mereka yang bergabung dalam aliansi itu, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, LBH Yogyakarta, Muhidin M. Dahlan (Warung Arsip), Fairuzul Mumtaz (Radio Buku), Garin Nugroho (sutradara), Irwan Bajang (Indie Book Corner), Pusham UII, dan INSIST Press.

MLY mempertanyakan, soal aksi teror --mereka sebut menjurus pemberangusan-- terhadap buku-buku yang memuat pandangan-pandangan tertentu. MLY beranggapan, upaya pemberangusan itu mestinya tidak terjadi di dalam masyarakat demokratis.

Organisasi dan individu yang tergabung dalam MLY juga memopulerkan tagar #MaklumatBuku di media sosial, seiring acara orasi dan pernyataan sikap bertajuk serupa, di kantor LBH Yogyakarta. Tagar itu pun terpantau menjajaki Tren Twitter Indonesia, Selasa (17/5).

Ada tujuh butir #MaklumatBuku, seperti yang dikutip akun Twitter @IrwanBajang --pegiat Indie Book Corner.
Ini dia 7 #MaklumatBuku dari Jogja. Silakan dibaca dan disebarkan! @radiobuku [URL="https://S E N S O RD4c6DVJSM8"]pic.twitter.com/D4c6DVJSM8[/URL]
— Irwan Bajang (@Irwanbajang) May 17, 2016
Ihwal teror menjurus pemberangusan

Beberapa pekan terakhir, terjadi aksi razia buku di sejumlah wilayah. Terutama terhadap buku-buku yang dituding memuat ajaran komunisme --kerap diistilahkan "buku kiri".

Boleh jadi karena merasa tertekan, jaringan toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia, turut menahan peredaran sejumlah judul buku, semisal Memoar Pulau Buru (Hersri Setiawan).

"Bukunya masih ada, tapi enggak boleh dipajang dulu. Itu berlaku di semua Gramedia," kata seorang karyawan Gramedia, dikutip CNN Indonesia.

Adapun MLY mencatat teror yang menimpa dua penerbit dan satu toko buku di Yogyakarta. Mereka adalah penerbit Narasi (Deresan), penerbit Resist Book (Maguwoharjo), dan Toko Buku Budi (Caturtunggal). Peristiwa itu berlangsung pada 10 dan 11 Mei 2016.

Dalam teror itu, aparat menanyakan soal buku-buku tertentu, semisal Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula (terbitan Ultimus Bandung), dan Komunisme ala Aidit (Peter Edman). Dari penerbit Narasi, buku macam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adam), dan Sarinah (Soekarno), turut dibawa polisi.

"Tindakan aparat keamanan terhadap penerbit dan toko buku di Yogyakarta, serta sejumlah daerah di Indonesia, merupakan aksi teror yang mengarah pada pembungkaman dan pelarangan," kata Adhe Ma'ruf, dari MLY, dalam rilis pers yang diterima Beritagar.id.

MLY juga berargumen bahwa aksi teror itu bertolak belakang dengan konstitusi yang telah diperbarui sejak Reformasi. Misalnya, dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6-13-20/PUU-VII/2010, yang membatalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang No 4/1963, tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya mengganggu ketertiban umum.

Putusan MK itu, menegaskan bahwa penyitaan buku hanya bisa dilakukan oleh penyidik yang telah mendapat izin pengadilan. Dengan kata lain, aparat (TNI dan polisi) tidak berhak melakukan penyitaan, merazia, apalagi memberangus buku.

Perwakilan MLY lainnya, Muhidin M. Dahlan menyebut teror yang terjadi belakangan telah melukai sejumlah inisiatif dalam upaya penyelasaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

"Apa yang terjadi belakangan ini yang menimpa dunia penerbitan buku telah mengganggu inisiatif-inisiatif penting, baik oleh negara maupun masyarakat sipil, yang sedang berusaha meretas upaya rekonsiliasi nasional dan mengungkapkan kebenaran soal pelanggaran HAM berat. Termasuk peristiwa 1965," kata Muhidin.

Tak hanya di Yogyakarta, kritik keras juga datang dari Aliansi Aktivis Literasi di Jakarta. Jumat (13/5), mereka menggelar pernyataan sikap bersama bertajuk "Stop Pemberangusan Buku" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (13/5).

"Apa yang dilakukan polisi dan tentara itu melawan hukum karena mereka tidak punya kewenangan untuk menyita dan melakukan perampasan," kata penulis Anton Kurnia, dikutip CNN Indonesia, Jumat (13/5).

Di tengah kritik keras, Perpusnas justru melempar pandangan yang berseberangan. Ketua Perpusnas, Dedi Junaedi, mengaku mendukung pemberangusan buku-buku berisi pemikiran kiri.

"Saya setuju. Karena dengan adanya buku-buku aliran kiri ternyata meresahkan. Zaman Orde Baru buku-buku itu dilarang untuk diedarkan. Untuk baca, harus ada izin kejaksaan," kata Dedi, dilansir Tempo.co, Senin (16/5). Ia berdalih buku-buku itu tidak sesuai dengan Pancasila.

Pernyataan Dedi itu langsung disambut sentimen negatif di media sosial.
kontras sekali: di sudut-sudut negeri, kelompok-kelompok kecil berjuang menumbuhkan kegemaran membaca. di pusat, perpusnas memusnahkannya.
— bernard batubara (@benzbara_) May 17, 2016 Dgn data begini, apa ada yg lbh sialan dr statement Ka Perpusnas RI yg mau musnahkan buku saat jelang #HariBuku ? [URL="https://S E N S O RrgD2ofHKAO"]https://S E N S O RrgD2ofHKAO[/URL]
— Budiman Sudjatmiko (@budimandjatmiko) May 17, 2016 Ironi adalah pada hari buku nasional yg jatuh hari ini, Ketua Perpusnas melarang buku.
— Idetopia (@idetopia) May 17, 2016 Hari Buku Nasional, dan PerpusNas melakukan tebang pilih buku kiri yg menurut mrk tak patut. Harus mengucapkan "Selamat" atau "Selamatkan"?
— MartoⒶrt (@MartoArt) May 17, 2016 Pimpinan Perpusnas setuju untuk memusnahkan buku-buku kiri? Kok gue lama-lama berasa kayak di negara ISIS ya?
— tunggal (@tunggalp) May 16, 2016 Bangsa yang besar, adalah bangsa yang senang bakar-bakar.Selamat hari bakar buku nasional.~ perpusnas
— no action tweet only (@tweet_erland) May 17, 2016 Nggak layak jadi ketua perpusnas. Kecewa sekali dgn pernyataan beliau. ???????? [URL="https://S E N S O RSW5zc9x1UK"]https://S E N S O RSW5zc9x1UK[/URL]
— saripati husni (@Husni_KING7) May 17, 2016

Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...-buku-nasional

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.7K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan