distrubiaaAvatar border
TS
distrubiaa
Pemerintah Jokowi Terbitkan Paket 12, Ini Catatan CORE Indonesia
jurnalekonomi.co.id

Spoiler for CORE Indonesia:


Tak henti pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) ‘memoles’ perekonomian nasional agar menarik bagi para investor dan pelaku usaha. Terakhir,pada tanggal 28 April 2016 lalu Pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan ke-12 yang bertujuan memangkas sejumlah perizinan, prosedur, waktu dan biaya untuk memberikan kemudahan berusaha di Indonesia.

Paket kebijakan ini sejalan dengan paket-paket kebijakan yang ditujukan untuk mendorong investasi baik dalam maupun luar negeri. Diluncurkannya paket ini merupakan jawaban dari pemerintah bagi sulit dan mahalnya mengurus prosedur perijinan terkait usaha, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan mikro (UMKM).

Namun, paket tersebut bukannya diterima tanpa catatan. Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, memberikan beberapa catatan penting merespon kebijakan terbaru itu.

Salah satunya terkait pemangkasan waktu proses mendapatkan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) serta pemberian diskon untuk biaya pengurusan IMB sebesar 50 persen untuk UMKM. CORE memandang kebijakan itu perlu diikuti dengan pemantauan dan penegakan implementasinya di daerah. Sebab, selama ini, informasi mengenai persyaratan pengajuan izin usaha di daerah masih belum jelas, disamping masih maraknya praktik pungutan di luar biaya resmi serta pemberian IMB di lokasi-lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukan lahannya.

“ Tanpa ada pemantauan dan penegakan implementasi, akan sulit terjadi perubahan secara signifikan terhadap iklim usaha di level daerah,” demikian tertuang dalam siaran pers CORE Indonesia yang diterima Jurnal, Senin (2/5).

Catatan lain dari CORE adalah upaya untuk mendorong peningkatan investasi dari kebijakan ini semestinya tidak mengesampingkan faktor sosial dan kelestarian lingkungan. Sebagai contoh, penghapusan izin lingkungan seperti Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), serta pencabutan syarat izin gangguan (HO) berpotensi memicu permasalahan sosial dan lingkungan.

Sedangkan catatan lainnya terkait proses perizinan di Satuan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah-daerah yang perlu ditunjang dengan sistem berbasis internet yang terintegrasi, sehingga proses pengurusan izin menjadi lebih efisien.

“Sebagai contoh, Singapura yang telah menggunakan sistem serupa mampu memangkas waktu proses registrasi bisnis baru di negara itu hingga menjadi hanya 15 menit,” demikian ditegaskan CORE.

CORE juga memperingatkan perihal investasi asing pada sektor-sektor strategis yang melibatkan penggunaan teknologi tinggi. Investasi asing itu harus diiringi pemberian berbagai fasilitas kemudahan berusaha serta upaya alih pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge & technology) secara konkrit melalui mekanisme kemitraan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik. China, contohnya, dalam menguasai teknologi kereta cepat tidak terlepas dari kebijakan investasi negara tersebut yang dibarengi dengan langkah -langkah konkrit untuk melakukan alih teknologi.

“Dengan demikian, selain dapat menarik investasi, penguasaan teknologi untuk keperluan pembangunan dalam jangka panjang khususnya untuk sektor-sektor atau proyek-proyek strategis juga dapat diperoleh,” tegas CORE.

Terakhir, CORE juga mengingatkan bahwasanya paket kebijakan kali ini cenderung didorong oleh keinginan untuk mendongkrak posisi Indonesia dalam pemeringkatan Ease of Doing Business (EODB) yang dilakukan oleh Bank Dunia.

Terkait hal itu, CORE memberikan tiga catatan khsusus. Pertama, survey EODB sendiri hanya dilakukan dengan mengambil sampel responden di kota-kota terbesar di setiap negara, seperti Jakarta dan Surabaya di Indonesia. Dengan demikian, meskipun hasil survey ini bisa dipakai untuk membandingkan iklim usaha antar negara, namun sebenarnya tidak bisa merepresentasikan kondisi real kemudahan berbisnis di Indonesia yang lebih kompleks dan berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya.

Catatan kedua adalah memasang target peringkat EODB Indonesia hingga ke posisi 40 merupakan target yang ambisius. Mendongkrak peringkat hingga naik lebih dari 60 akan terlalu sukar dicapai dalam waktu 2-3 tahun. Apalagi, perbaikan peringkat EODB suatu negara selain ditentukan oleh perbaikan iklim usaha di negara tersebut juga akan sangat bergantung pada perubahan yang terjadi di negara-negara lain, yang tentunya berada di luar kontrol pemerintah.

Ketiga, peringkat EODB suatu negara juga tidak serta merta menggambarkan besarnya investasi yang masuk ke negara tersebut. Contohnya, nilai investasi asing yang masuk ke Malaysia dan Thailand lebih kecil dibandingkan dengan yang masuk ke Indonesia, padahal kedua jiran tersebut memiliki peringkat EODB yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

“Nilai investasi asing yang masuk ke Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 22,3 Miliar, sementara yang masuk ke Malaysia dan Thailand masing-masing hanya mencapai USD 10,7 Miliar dan USD 11,5 Miliar. Padahal di tahun tersebut Indonesia hanya berperingkat 114, sementara Malaysia peringkat ke-18 dan Thailand ke-26,” pungkas lembaga yang didirikan oleh Hendri Saparini ini.
0
963
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan