ghieetaAvatar border
TS
ghieeta
Siapakah Kartinimu?
♪♫……..
Hidup jaya pkk.. ..♪♫
Aku melihat ibu – ibu bernyanyi lagu itu bersama, mereka bernyanyi sambil berdiri. Dan salah satu dari mereka adalah ibuku. Kemudian salah satu ibu yang merupakan ibu dari teman bermainku, Agil, mulai memberikan sambutan.
Aku bermain dengan teman – temanku di halaman rumah yang empunya hajatan ini, jika mulai bosan dengan acara didalam rumah. Dan hanya ibu –ibu di ujung pintu masuk yang sesekali memperingatkan untuk tidak main sampai ke jalan.
Aku tak begitu mengerti apa yang mereka bicarakan hanya sekelebat mengenai uang kas dan jumlahnya. Itu hasil curi dengar yang aku tau. Aku hanya fokus pada tumpukan jajan yang berada di piring dan teh hangat yang disiapkan oleh ibu – ibu di bagian belakang. Dimana ini merupakan tradisinya bahwa diakhir acara akan ada beberapa suguhan makanan. Aku menikmati sekali acara ini.
Itulah sepenggal ingatan 20 tahun lalu yang muncul saat hari ini ak dengar lagu itu di dekat kamar kosku. Memang rumah yang aku tempati sebagai tempat kos ini sangat dekat dengan balai warga yang biasanya digunakan dalam acara – acara khusus.
Sekarang, aku merindukan saat itu, dimana yang aku lakukan hanya bermain dan belajar. Rasanya ingin kembali ke saat itu dan memeperbaiki apa – apa yang perlu diperbaiki.
Bukan suatu kenangan manis memang, mengingat 20 tahun lalu ayah dan ibuku masih bersama. Kami hanya keluarga sederhana, karena saat itu ayahku sudah bekerja sebagai PNS tetapi sepertinya pekerjaan ayahpun belum cukup untuk menghidupi keluarga kami. Hingga ibuku harus bangun pagi setiap hari, membuat manisan dan makanan kecil dari kelapa yang selalu beliau jajakan ke sekolah – sekolah.


“Bu.. berangkat sekolah dulu”
“Iya hati-hati” akupun mencium tangan ibuku.
“Pak pamit nggih”
“Ini uang sakumu”seraya ayahku mengeluarkan uang lembaran kertas 100 rupiah favoritku. Dengan senangnya aku berangkat sekolah.
Tiga seperempat jalan kutempuh menujusekolah, kulihat dari jauh ibuku bersusah payah mengayuh sepeda dan di kanan kirinya sudah menenteng tas manisan yang siap beliau baikpkan ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolahku memang tidak jauh, hanya sekitar 15 menit. Tapi karena tempat kami tinggal berada di bawah lereng gunung, medannya lah yang lebih sulit, karena bisa dibilang sekolahku berada diatas bukit.
Aku yang hanya menenteng tas sekolah pun kadang merasa lelah berjalan dari rumah ke sekolah, karena memang tanjakan yang dilewati memiliki kemiringan 30 derajat. Sedangkan rumahku terletak di titik 0 derajatnya.
Walaupun begitu, ibuku tetap menjalaninya sebagai rutinitas pagi yang wajib beliau lakukan untuk membuat dapur tetap ngebul. Dan ketika kulihat beliau menyeka keringatnya ketika sampai di sekolahku. Dalam hatiku berkata “Ya Allah, ijinkan aku besok meringankan beban ibuku”.
Hanya kadang ketika sepulang sekolah kulihat beliau masih sibuk berkutat untuk memasak makanan untuk makan siangku dan ayahku. Aku selalu lahap makan, karena aku tahu, susah payah ibu mencari sesuap nasi itu. Tapi di umurku yang saat itu belum genap 5 tahun, aku tak pernah mengerti kenapa ayahu selalu menyuruhku mengambilkan lauk dan sayur dai tempat mbah buyutku yang rumahnya berada di samping rumahku.
Aku selalu bilang “ Pak kan ibu udah masak”
“Uwis tho, sana jupukke sayur e mbahmu”
(“sudah sana ambilkan sayur yang dibuat eyangmu”)
Ak terasa lemas setiap kali melakukan hal itu, kulihat mata ibuku, beliau hanya mengangguk dan mengiyakan apa yang dikatakan ayahku. Sedangkan aku tahu sendiri bagaimana beliau bersusah payah menyajikan makanan itu ditengah waktunya yang tak banyak.
Aku kembali dengan membawa sepiring lauk dan semangkok sayur yang sudah ditata oleh mbah buyut sehingga aku dapat membawanya sekaligus. Kuletakkan pesanan ayahku tersebut di meja makan. Aku kembali ke tempat bermainku di belakang dapur. Kulihat dari jauh, ayahku tak menyentuh lauk dan sayur yang dibuat ibuku, ayahku lahap menyantap masakan embah buyut, dan kulihat ibuku. Beliau sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya membuat manisan.
Oh..ak tak mengerti semua ini. Sembari bermain kadang kutengok ibuku, baik – baikkah beliau? atau beliau sedang menahan tangis sambil mengerjakan tumpukan jajanan gula kacang?. Ibuku pun tak pernah berucap mengeluh tentang hal itu kepadaku. Akupun belum punya keberanian untuk memepertanyakannya.
Dan hal ini pun terjadi setiap hari,terkadang aku berfikir, tak tergoreskah hati ibuku dengan sikap ayahku yang keras itu?.

Bersambung.
Based on true story, 2016

Beliau lah kartini dalam hidupku yang masih tersenyum kepada semua orang yang bertemu dengannya mesipun didalam rumah beliau menyimpan seribu perih.
Dari beliau lah aku belajar menjadi wanita mandiri. Terima kasih ibu

0
688
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan