parousia2016Avatar border
TS
parousia2016
Ketika Cinta Terhalang Perbedaan Suku dan Agama, Lanjut atau Berhenti?
aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

(Marcell, Peri Cintaku)



Salah satu pertanyaan yang seringkali muncul dalam sesi konseling adalah, ”Saya sudah cocok dengannya, namun kami berbeda suku atau agama. Apakah sebaiknya hubungan ini kami lanjutkan atau hentikan saja?” Tentu saja ini bukan pertanyaan yang dapat terjawab dengan mudah.

Mereka yang masih remaja belia mungkin belum dapat melihat kompleksitas masalah yang ada. Para remaja menyadari perbedaan ini, tapi mungkin bagi mereka prinsipnya adalah relasi jangan dibuat susah, nanti saja dipikirkan lebih dalam. Namun ketika pada akhirnya kita tiba pada rentang usia tertentu, dimana relasi tidak lagi dilihat sekadar sebagai sebuah jalan untuk happy happy, melainkan pernikahan menjadi tujuan akhir yang diharapkan segera terwujud, maka mau tidak mau pertanyaan ini pun harus menemukan jawabannya.

Seiring dengan pertambahan usia dan pengalaman hidup, kita sampai pada pemahaman bahwa perbedaan suku bukan sekadar soal perbedaan warna kulit, tetapi juga kebiasaan hidup. Perbedaan agama bukan sekadar soal cara berdoa, tetapi lebih dalam dari itu, perbedaan cara menghadapi kehidupan. Jadi, ketika cinta terhalang perbedaan suku atau agama, atau malah keduanya, lanjut atau berhenti?

Saya ingin berbagi tiga pertanyaan untuk dipikirkan secara pribadi dan kemudian didiskusikan bersama oleh pasangan yang menjalani relasi dengan perbedaan suku atau agama.

1. Sejauh Mana Restu Orangtua Kita Anggap Penting untuk Melaksanakan Pernikahan?

Salah satu masalah utama dalam relasi pacaran beda suku atau agama adalah respons dari keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar. Kita hidup dalam budaya di mana suara keluarga tak dapat diabaikan begitu saja. Kita mungkin mampu menerima perbedaan itu, tetapi bagaimana dengan keluarga?Saya sudah menyaksikan relasi pacaran yang sudah berlangsung tahunan, terpaksa bubar di tengah jalan karena tekanan pihak keluarga. Apalagi bila ayah atau ibu sudah berkata, ”Silakan menikah dengannya, tetapi ayah dan ibu tidak merestui. Ayah dan ibu tidak akan hadir di pernikahanmu, dan selanjutnya kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini.” Nah, hati siapa yang tidak hancur mendengarkan perkataan seperti ini? Kita sangat menyanyangi pacar, namun juga tak ingin mendapatkan sebutan anak durhaka.

Beberapa pasangan memutuskan untuk melanjutkan relasi ke pernikahan, walau dengan ancaman dan tekanan dari salah satu atau kedua belah pihak keluarga. Seringkali terjadi dalam pernikahan mereka, orang tua tak hadir. Dalam kasus semacam ini, relasi dengan kekasih mendapatkan legalitas hukum, sementara relasi dengan keluarga terpaksa dikorbankan. Tentu saja setiap relasi dapat dipulihkan kembali, namun luka tak dapat dipungkiri telah hadir. Siapkah kita dengan hal seperti ini?

2. Sejauh Mana Keyakinan Agama Kita Anggap Penting dalam Hidup Sehari-hari?

Mari bicara jujur, setiap orang mempunyai tingkat penghayatan agama yang berbeda-beda. Ada yang hanya sebatas identitas di KTP, ada yang menjalankan ajaran agama hanya di hari-hari raya tertentu, namun ada pula yang secara serius mencoba menghidupi ajaran itu hari ke hari. Perbedaan penghayatan ini akan menghasilkan perbedaan respons terhadap masalah ini.

“Ah, semua agama khan sama baiknya, tinggal tergantung bagaimana menjalaninya saja,” pasti kita sering mendengarkan perkataan seperti ini. Toh, pada kenyataannya orang yang mengatakannya juga belum tentu bisa pindah keyakinan agama dengan mudah.

“Tinggal mengalah saja salah satunya. Tak perlu selamanya, hanya sementara saja untuk memenuhi tuntutan hukum sipil dan agama,” begitu jawaban lain yang pernah kita dengar. Beberapa orang memang akhirnya memilih jalan ini, tentu saja bukan berarti tanpa konsekuensi. Pernikahan beda agama di Indonesia menyimpan beberapa masalah terkait dengan prosedur pencatatan sipil yang tak mudah. Sering terjadi, salah satu pihak mengalah dan mengubah keyakinan. Repotnya, mereka yang meninggalkan keyakinannya demi pernikahan seringkali terlanjur mendapatkan cap sebagai orang yang murtad. Komentar-komentar sinis pun dapat dipastikan akan banyak bermunculan. ”Tuhannya saja ia khianati, apalagi pasangannya nanti!” Sanggupkah kita mendengarkan perkataan-perkataan semacam ini?

3. Sejauh Mana Toleransi Kita terhadap Perbedaan Perilaku Hidup?

Setiap orang tentu saja unik, berbeda satu dengan yang lain, apalagi ditambah dengan perbedaan suku atau agama. Makin banyak perbedaan yang ada, makin banyak tuntutan untuk toleransi, walau tak dapat dipungkiri bahwa ada keindahannya tersendiri.

Misalnya, kita berasal dari latar belakang budaya yang menekankan pentingnya memahami pesan yang tersirat dan bukan tersurat. Orang-orang dalam budaya ini tak pernah mengungkapkan perasaan secara terbuka. Sementara itu, kita berpasangan dengan orang yang berasal dari budaya yang ekspresif dengan kata-kata. Bagaimana proses penyesuaian yang harus terjadi? Tentu saja bukan semata penyesuaian antar dua pribadi, tetapi seringkali juga antar dua keluarga. Setiap penyesuaian menuntut toleransi. Sanggupkah kita bertoleransi?

Bagaimana dengan perbedaan agama? Anggaplah kemudian kita berhasil mendapatkan restu orang tua dan menikah dengan pasangan yang berbeda agama dengan tetap mempertahankan keyakinan agama sendiri. Nah, pertanyaan yang harus dipikirkan adalah: sanggupkah kita menjalani ritual agama sendiri, dan memberikan toleransi bagi pasangan untuk menjalankan ritual agamanya? Ingat, ini bukan sekadar toleransi untuk satu atau dua hari, tetapi tentu seumur perjalanan pernikahan. Bagaimana pula dengan pendidikan agama yang akan diberikan untuk anak-anak kelak? Tentu harus ada percakapan terbuka di awal pernikahan, bukan?

Jadi, bagaimana? Berpacaran dengan pasangan yang berbeda suku atau agama, lanjut atau berhenti? Ambillah waktu berdua untuk memikirkan tiga pertanyaan di atas dalam suatu kurun waktu tertentu, misalnya satu-dua tahun. Berkomunikasilah dengan keluarga terkait dengan perbedaan ini. Berdiskusilah dengan para sahabat.

Lanjut atau berhenti? Apapun keputusan yang akhirnya diambil, tak boleh emosional, mesti matang karena pernikahan adalah sebuah perjalanan panjang.


sumber thread :RibutRukun.com


Diubah oleh Kaskus Support 15 18-04-2016 01:43
0
3.8K
32
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan