rifqi.habibiiiAvatar border
TS
rifqi.habibiii
Gula Rafinasi Bocor Karena Ada Kongkalingkong Dengan Pejabat


Pemerintah dinilai lamban dalam menyelesaikan masalah tata niaga produk gula nasional. Rencana pemerintah untuk mengantisipasi peredaran gula rafinasi ke pasar atau langsung masyarakat di kota-kota besar di Indonesia tak berjalan.

Lemahnya pengawasan dan pencegahan ini membuat petani tebu dan industri gula nasional terpukul. Gula rafinasi impor yang seharusnya untuk industri dan berharga lebih murah dari gula Kristal putih diketahui telah membanjiri beberapa kota.

“Terbukti memang masih ada gula rafinasi yang bocor dan langsung beredar di pasaran. Padahal gula rafinasi ini adalah gula yang diperuntukkan industri dan tak bisa langsung dikonsumsi,” kata Sahat M. Pasaribu, agricultural economist dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Namun bukan tahun 2016 ini saja gula rafinasi itu bocor ke pasaran. Bolah dibilang bocornya gula rafinasi ke pasaran itu adalah cerita lama yang terulang kembali. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat telah menerima 185 laporan dari masyarakat terkait persoalan gula selama periode 2004 sampai 2015.

Menurut KPK laporan tersebut bermacam-macam. Misalnya seperti penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan aset seperti perkebunan gula dan pabrik gula, penyalahgunaan subsidi tebu, mark-up harga gula, perbuatan curang penentuan rendemen, dan penyalahgunaan prosedur importasi gula.

KPK sendiri telah melakukan kajian mengenai masalah gula di Tanah Air. Salah satu hasil kajian menyebutkan bahwa ada kelemahan pada tata niaga impor gula, pengawasan terhadap peredaran gula rafinasi lemah sehingga rentan disalahgunakan. Pada tahun 2014, KPK menemukan banyak gula rafinasi merembes ke pasar tradisional.

Persoalan tersebut secara tidak langsung berimbas ke produksi gula nasional. Tahun 2008 sampai 2012 produksi gula turun 1,73 persen, dan impor justru meningkat 202,11 persen. Tahun ini impor gula rafinasi diperkirakan juga terus meningkat.

Salah satu anggota Komisi VI DPR RI, mengkiritis cara pemerintah dalam hal ini Kemendtria Perindustri, Kementrian Perdagangan yang tidak terlihat kerja nyatanya, terutama dalam menghentikan kebocoran gula rafinasi di pasaran. Belum lagi upaya untuk mengurangi impor gula rafinasi ini tidak terlihat.

“Pemerintah bisa dikatakan lalai dalam melindungi industri gula nasional. Kebijakannya tidak berpihak kepada petani tebu atau pengusaha nasional yang bergerak di bidang industri gula,” Muhammad Suryo Alam, anggota Komisi VI DPR RI.

Suryo Alam, anggota Komisi VI DPR RI meminta, impor gula rafinasi dipantau dengan ketat. Apalagi, gula masuk dalam program swasembada pangan dan menyangkut kebutuhan pokok masyarakat.

“Pemerintah harus bergerak cepat. Selama ini terdapat banyak sekali perusahaan fiktif yang berikan hak izin impor gula rafinasi yang akhirnya bocor ke pasar tradisional. Ulah mereka ini bukan saja meresahkan para petani tebu, tetapi juga telah merusak perdagangan gula nasional dan mengancam swasembada gula nasional dengan cara membanjiri produk gula murah yang tidak seharusnya berada di pasar tradisional,” kata Suryo Alam.

Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen meminta, masalah rembesan gula rafinasi segera diselesaikan. Karena, masalah itu telah menyebabkan petani mengalami kerugian mericapai triliunan rupiah.

Dia menilai, gula rafinasi bocor disebabkan izin impor raw sugar (bahan gula rafinasi) yang diberikan pemerintah kepada pengusaha melebihi kebutuhan. Bahkan pada tahun 2014 terdapat data 5 perusahaan mengajukan permintaan impor raw sugar untuk pabrik yang sudah tidak produksi sebanyak 775 ribu ton.

Soemitro mengatakan, akibat banyaknya gula rafinasi merembes ke pasar umum, harga lelang gula di tingkat petani anjlok setiap tahun. Tahun 2012 harga lelang tertinggi kita Rp 11.800 per kilo gram (kg) terendah Rp 9.250 per kg. Tahun 2013 harga lelang tertinggi tianya Rp 10.250 per kg, terendah Rp 8.200 per kg. Tahun 2014 harga lelang tertinggi makin merosot, hanya Rp 8.250 per kg dan terendah Rp 7.500 per kg.

Harga gula seharusnya Rp 11 ribu, tetapi pemerintah menetapkan harga pokok produksi (HPP) sebesar Rp 8.500. Jika ditotal, potensi kerugian yang dialami petani mencapai Rp 5 triliun.

Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) mendesak pemerintah segera melakukan audit penggunaan gula rafinasi terhadap seluruh industri makanan dan minuman (mamin). Upaya tersebut dilakukan untuk memastikan agar stok gula rafinasi tidak sampai berlebih, sehingga dijadikan alasan bagi para produsen untuk melepasnya ke pasaran konsumsi.
Diubah oleh rifqi.habibiii 10-03-2016 08:23
0
769
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan